Kamis, 26 Februari 2009

Transparansi perhitungan DBH Migas

Naskah ini disusun berdasarkan wawancara tertulis dengan Majalah Energi Antarnusa yang diterbitkan oleh Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM), yang kemudian dimuat dalam Laporan Khusus, Edisi 04 Januari 2008, dengan judul pokok “Departemen Keuangan Menjawab”. Paparan berikut ini menampilkan terlebih dahulu sub judul yang mewakili substansi pertanyaan agar pembaca dapat lebih mudah memahami permasalahan yang ditanyakan.

Terdapat 7 (tujuh) sub judul yaitu:
1. Dana Bagi Hasil Migas - grant atau revenue sharing?
2. Transparansi Perhitungan DBH Migas Vs perhitungan DAU dan DAK
3. Rekonsiliasi PNBP/DBH Migas sebagai alat transparansi
4. Perhitungan PNBP Migas dan DBH Migas oleh 2 unit yang berbeda, swemakin baikkah:.
5. Rakyat tidak ikut menanggung Subsidi BBm, benarkah?
6. Pengunaan dana Cost Recovery
7. Tantang Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM)

(1)
Dana Bagi Hasil Migas – grant atau revenue sharing.

PERTANYAAN:
Eksistensi filosofi dari apa yang disebut dengan bagi hasil pusat dan daerah khusus untuk migas, apakah itu grand atau real share? Kita ingin tahu menurut Bapak filosofinya itu seperti apa?

JAWABAN:
Secara normative terdapat dua pengertian dana bagi hasil (DBH) yang satu sama lain saling melengkapi. DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu. Definisi yang pertama setelah rangkaian kalimat tersebut masih ditambahkan dengan frase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, sedangkan definisi yang kedua ditambahkan dengan frase dengan memperhatikan potensi daerah penghasil

Pertanyaan khusus untuk migas apakah itu grant atau real share, kiranya perlu diluruskan, bahwa DBH secara harafiah sudah jelas adalah dana bagi hasil, baik untuk migas maupun sumber daya alam (SDA) lainnya sama – dana bagi hasil. Pengertian dana bagi hasil dicerminkan dari frase “yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu”. Prinsipnya adalah memperhatikan daerah penghasil atau by origin , bahwa daerah yang menghasilkan SDA (atau daerah penghasil) mendapatkan porsi yang lebih besar dari pada daerah yang bukan penghasil dan pembagiannya berdasarkan realisasi penerimaan dari sektor SDA yang disetorkan oleh kontraktor.

Dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, DBH adalah salah satu instrument dana perimbangan dalam rangka perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah agar bersama-sama dengan dana perimbangan yang lain dapat digunakan oleh daerah untuk mendanai sebagian kewenangan yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah (money follows fuction).

DBH dimaksudkan untuk mengurangi baik vertical imbalance (kesenjangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah) mapun horizontal imbalance (kesnjangan antar daerah). Vertical imbalance diwujudkan dengan pembagian dengan porsi yang wajar antara pemerintah pusat dengan daerah penghasil, sedangkan horizontal imbalance diwujudkan dengan pembagian secara merata bagi daerah bukan penghasil yang berada di dalam wilayah provinsi yang sama dengan daerah penghasil.

Pembagian dengan porsi pemerintah yang lebih besar dari porsi daerah dapat dipahami karena pemerintah harus mendanai kewajiban dan kewenangan yang lebih besar yang tidak dapat dilimpahkan kepada daerah antara lain di sektor pertahanan, sektor keamanan, sektor keuangan dan moneter (antara lain membayar utang dalam maupun luar negeri), sektor hukum dan peradilan, dan sektor agama.

(2) Transparansi perhitungan DBH Migas vs perhitujngan DAU dan DAK

PERTANYAAN:
Terkait dengan transparansi, apakah yang tidak transparan hanya khusus bagi hasil migas saja, mengingat hitung-hitungannya yang rumit, bagaimana dengan perhitungan dana perimbagan yang lain seperti DAU dan DAK?

JAWABAN:
Adanya pendapat bahwa terjadi perhitungan yang tidak transparan dalam DBH Migas tidak relevan jika dikaitkan dengan perhitungan yang rumit, apalagi dalam zaman dengan teknologi informasi yang tinggi hampir tidak ada yang rumit. Transparansi lebih relevan dihubungkan dengan keterbukaan dalam perhitungan, yang ditandai dengan (a) penetapan porsi yang wajar untuk masing-masing pihak yang telah disepakati dalam peraturan perundang-undangan, (b) kewajiban untuk melaksanakan rekonsiliasi untuk menghitung penerimaan dari setoran SDA antara pemerintah pusat dengan daerah sebelum maupun sesudah melakukan pembagian dana, (c) data setoran disediakan oleh institusi yang berwenang, yaitu pihak yang menerima dan menatausahakan setoran (yang mewakili fungsi kas Negara), pihak yang akan menerima pembagian (pemerintah pusat dan daerah), dan data dari pihak yang melaksanakan setoran. Hasil perhitungan DBH SDA adalah obyek audit oleh BPK dan Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan

Perhitungan DAU didasarkan pada data yang disediakan oleh lembaga pemerintah yang berwenang melaksanakan fungsi statistik. Departemen Keuangan melakukan perhitungan DAU berdasarkan data masing-masing daerah yang disediakan oleh BPS, Departemen Dalam Negeri bersama Bakosurtanal, dan Departemen Keuangan sendiri, bahkan data dari daerah sendiri yang sudah diaudit oleh BPK. Pemerintah melakukan perhitungan berdasarkan fornula DAU yang telah ditetapkan dengan undang-undang dan peraturan pemerintah, serta kebijakan tahunan yang disepakati antara pemerintah dengan DPR dalam rangka pembahasan RUU APBN. Seperti yang terjadi dalam perhitungan DBH SDA Hasil perhitungan DAU adalah obyek audit oleh BPK dan Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan.

Sebagai analogi dengan perhitungan yang dilakukan dalam DBH SDA dan DAU, dalam perhitungan DAK-pun pemerintah melaksanakan dengan mekanisme yang jelas dan terbuka berdasarkan data yang disediakan oleh lembaga yang berwenang menyediakan data statistik, serta data teknis yang disediakan oleh kementerian/ lembaga yang terkait dengan pengelolaan DAK.

(3)
Rekonsiliasi PNBP/DBH Migas sebagai alat transparansi

PERTANYAAN :
Bagaimana Bapak mensiasati agar transparansi dalam bagi hasil ini dapat dikontrol, karena peran Bapak ada di ujung dari rangkaian perhitungan bagi hasil, apakah menurut Bapak rapat rekonsiliasi dirasa sudah cukup ?

JAWABAN :
Dari uraian sebelumnya sudah cukup jelas bahwa kedudukan Departemen Keuangan yang diwakili oleh DJPK adalah sebagai Unit Pengguna Data yang disediakan oleh lembaga pemerintah yang berwenang. Mekanisme rekonsiliasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor SDA adalah salah satu mekanisme pengendalian transparansi. Selama ini pembahasan yang dihadiri hampir semua stakeholders setiap triwulan barangkali dinilai inefficient, time consuming, maupun energy consuming, oleh karena itu mulai tahun 2008 DPR bersama pemerintah telah menyepakati bahwa penyaluran DBH SDA dapat dilakukan dengan pentahapan Triwulan I 20%, Triwulan II 20% dari alokasi DBH SDA masing-masing daerah yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK), keduanya tanpa didahului dengan rekonsiliasi PNBP SDA, baru Triwulan III dan Triwulan IV masing-masing melalui mekanisme rekonsiliasi sebelum dilakukan penyaluran, dengan memperhitungkan penyaluran yang sudah dilakukan pada triwulan sebelumnya.

Langkah penyederhanaan ini disamping akan memberikan kepastian pemasukan dana ke rekening Kas Daerah juga akan memberikan kesempatan bagi penyedia data untuk menyiapkan data dengan waktu yang lebih longgar, sehingga kualitas rapat rekonsiliasi akan menjadi meningkat. Rapat rekonsiliasi ini akan lebih meningkat kalitasnya dan cukup dapat dipakai untuk perhitungan DBH SDA sepanjang semua stakeholders yang berkompeten menyediakan data dapat secara jernih dan terbuka saling mengkoreksi dan melengkapi data, sehingga DJPK sebagai pengguna data untuk melakukan pembagian dapat mempertanggungjawabkan tugasnya yang merupakan ujung dari mekanisme rekonsiliasi.

Perlu kiranya dikemukakan kembali bahwa penyaluran DBH SDA bukan merupakan tahap akhir dari rekonsiliasi karena proses rekonsiliasi juga akan diaudit oleh Inpektorat Jenderal Departemen Keuangan, dan pada kesempatan yang berbeda juga oleh BPK. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa rekonsiliasi adalah salah satu cara untuk mewujudkan transparansi.

Transparansi juga diwujudkan dengan mengakomodasikan setiap dokumen setoran tahun lalu yang baru dapat diidentifikasi peruntukannya atau daerah penghasilnya dalam tahun berjalan, sehingga hak daerah yang belum dipenuhi pada tahun lalu tetap dapat dibayarkan dalam tahun berjalan. Demikian juga apabila terbukti adanya kekurangan salur atau kesalahan salur selalu dapat dikoreksi pada tahun berikutnya, bahkan kalaupun belum tersedia anggarannya dalam APBN tahun berjalan, maka diupayakan untuk mendapatkan persetujuan DPR pada pembahasan APBN-Perubahan.

(4) Perhitungan PNBP Migas dan DBH Migas oleh 2 Unit yang berbeda, semakin baik kah?

PERTANYAAN :
Sebagaimana diketahui sejak tahun 2007, penyaluran DBH SDA Migas dilaksanakan oleh Ditjen Perimbangan Keuangan, sementara perhitungan DBH SDA Migas tersebut sampai memperoleh hasil PNBP masih tetap dilaksanakan oleh Dit. PNBP Ditjen Anggaran. Menurut Bapak apakah cara ini lebih baik atau malah kemunduran. Mohon pendapat Bapak.

JAWABAN :
Tahun 2007 adalah masa transisi pelaksanaan tugas DJPK yang merupakan unit yang terpisah dari Direktorat Jenderal Anggaran (DJA). Ide dari pemisahan ini antara lain adalah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan transparansi. DJA yang diwakili oleh Direktorat PNBP berwenang atas kebijakan PNBP dan penyediaan data perkiraan PNBP termasuk PNBP SDA, Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB) berwenang terhadap penerimaan setoran PNBP dan penyediaan data realisasi PNBP, sedangkan DJPK yang diwakili oleh Direktorat Dana Perimbangan diberi kewenangan untuk membagi dana kepada daerah sesuai ketentuan.

Sebagai unit yang mengemban tugas baru, proses pembelajaran tentu harus dilalui. Kekurangan yang terlihat sejak proses rekonsiliasi Triwulan I sampai dengan penyaluran DBH SDA Triwulan IV adalah dalam rangka proses pembelajaran tersebut. Namun saya melihat perkembangan yang semakin membaik dalam pelayanan penyaluran DBH-SDA. Target yang kelihatan sederhana namun cukup sulit dilaksanakan adalah melakukan penyaluran sebanyak 4 kali (4 triwulan) dalam tahun 2007, dan ini sudah dilaksanakan dengan cukup baik, apabila dibandingkan dengan sebelumnya. Dibandingkan dengan masalah menyiapkan SDM di DJPK dalam memahami DBH SDA, masalah koordinasi antar stakeholder jauh lebih sulit. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila salah satu butir kebijakan dalam DBH SDA yang dimuat dalam Laporan Panitia Kerja Belanja Ke Daerah dalam rangka Pembahasan RUU-APBN 2008 adalah meningkatkan koordinasi antar unit yang terkait.

Secara bertahap pola kerja tersebut tentu akan dilaksanakan dengan lebih baik. Hal yang sama terjadi juga dalam penerimaan perpajakan. Selama ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melaksanakan kebijakan perpajakan dan penyediakan data perkiraan pajak, DJPB melakukan penerimaan setoran / realisasi pajak melalui Kas Negara, sedangkan DJPK akan melakukan pembagian pajak kepada daerah. Dengan mekanisme check and balance seperti ini akan menjadi lebih baik dengan dukungan standar operasi dan prosedur (SOP) yang telah disusun dan dilaksanakan dengan baik.

(5) Daerah tidak ikut menanggung subsidi BBM? Benarkah?

PERTANYAAN :
Komentar Bapak tentang pendapat atau paradigma dari sebagian orang yang mengatakan bahwa daerah tidak ikut menanggung subsidi BBM, bagaimana?

JAWABAN :
Menurut pendapat saya semua rakyat Indonesia yang membayar pajak turut menanggung Subsidi BBM, karena pendapatan negara sebagian besar masih didukung dari penerimaan sektor perpajakan. Sebagian dari penerimaan tersebut untuk membiayai subsidi BBM. Oleh karena itu daerah yang turut dengan aktif mengintensifkan penerimaan perpajakan akan memberikan sumbangan terhadap subsidi BBM, terlebih lagi daerah yang juga penghasil SDA memberikan andil yang besar dalam pendapatan negara.

Dalam APBN 2007 terlihat bahwa Penerimaan Perpajakan masih mendominasi Penerimaan Dalam Negeri dengan 71,3% atau sebesar 65,4% dari seluruh Belanja Negara. Dalam APBN 2007 tercatat bahwa keseluruhan subsidi (diantaranya adalah Subsidi BBM) mengambil porsi 14% dari Belanja Negara. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa semua rakyat yang membayar pajak dan daerah yang mendorong peningkatan penerimaan perpajakan turut menanggung subsidi BBM, yang merupakan bagian dari Belanja Negara.

(6) Penggunaan dana Cost Recovery

PERTANYAAN:
Pendapat Bapak tentang penggunaan dana cost recovery.

JAWABAN:
Yang dapat saya sampaikan adalah bahwa DJPK tidak menerima laporan tentang penggunaan dana cost recovery perusahaan migas dan tidak berwenang melakukan evaluasi. Kiranya kita semua maklum bahwa permasalahan cost recovery ini bukan semata-mata persoalan Departemen Keuangan, melainkan masalah semua kementerian/lembaga yang terkait dengan pengelolaan minyak dan gas bumi – masalah pemerintah bahkan juga menjadi permasalah lembaga legislatif. Oleh karena itu penyelesaiannya tidak cukup hanya oleh Departemen Keuangan, melainkan seluruh kementerian/lembaga yang terkait.

(7) Tentang Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM)

PERTANYAAN:
Apa pendapat Bapak tentang keberadaan FKDPM?

JAWABAN:
Saya sangat percaya bahwa FKDPM dibentuk dengan niat dan tujuan yang baik untuk kemaslahatan daerah, khususnya daerah penghasil migas. Niat dan tujuan yang mulia dari FKDPM bisa terwujud jika FKDPM secara proporsional dapat memandang permasalahan bukan saja dari persepsi daerah penghasil namun juga dari persepsi pemerintah pusat memandang permasalahan DBH SDA Migas, sehingga keberadaan FKDPM dapat menjembatani antara kebutuhan dan hak daerah dengan kewajiban pemerintah pusat kepada daerah.

Pemahaman yang lebih mendalam terhadap pengetahuan dan peraturan perundangan terkait dengan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal akan membuat FKDPM sebagai suatu lembaga konsultasi yang bukan hanya akan mendapatkan kepercayaan dari daerah penghasil, melainkan juga akan mendapatkan perhatian dari pemerintah jika mampu menyampaikan informasi dan aspirasi daerah penghasil secara proporsional dan wise.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar