Selasa, 10 Februari 2009

Transfer Ke Daerah dengan New Design

Oleh : Pramudjo, Direktur Dana Perimbangan, DJPK

Pelaksanaan desentralisasi fiskal dalam rangka otonomi daerah menunjukkan setapak lagi kemajuan mulai tahun 2008. Kemajuan tersebut diawali dengan perubahan nomenklatur Belanja Ke Daerah dalam I-Account APBN 2008 menjadi Transfer Ke Daerah. Sedangkan latar belakang perubahan tersebut antara lain adalah untuk mewujudkan ketentuan dalam Undang-undang nomor 17 tahun 2003 yang mengamanatkan bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan dikuasakan kepada kementerian/lembaga, sedangkan pengelolaan keuangan daerah oleh Presiden diserahkan kepada gubernur/bupati/ waklikota selaku kepala pemerintahan daerah.

Perubahan nomenklatur tersebut membawa dua konskwensi, pertama, pengertian transfer berbeda dengan belanja, kedua, menegaskan bahwa proses pengalokasian dan penyaluran dana dari pemerintah pusat kepada daerah sifatnya top down. Daerah tidak perlu menyampaikan permintaan atau usulan untuk mendapatkan transfer dana, melainkan dengan data yang berasal dari lembaga yang berwenang di bidang statistik, Pemerintah bersama DPR menetapkan jenis dan besaran transfer untuk setiap provinsi/kabupaten/kota. Menteri Keuangan melaksanakan transfer secara langsung dari Rekening Kas Negera / Bendahara Umum Negara (BUN) di Bank Indonesia (BI) ke rekening Kas Umum Daerah (KUD) yang pada umumnya berada di Bank Pembangunan Daerah (BPD) atau bank umum lainnya di daerah melalui surat perintah membayar (SPM) dan surat perintah pencairan dana (SP2D) untuk melakukan pemindahbukuan dana dari Rekening BUN ke Rekeing KUD.

Berpindahnya kewenangan untuk menyalurkan dana semula oleh Pemerintah daerah (Pemda) menjadi oleh Departemen Keuangan bukan berarti melucuti kewenangan daerah, melainkan mendudukkan pada mekanisme yang sesuai dengan pengelolaan keuangan negara dan keuangan daerah seperti dimaksud dalam UU nomor 17 Tahun 2003. Proses tersebut diatas menunjukkan pola baru (new design) dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang telah ditetapkan dengan peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 04/PMK.07/2008 pada tanggal 28 Januari 2008 . Pengaturan dalam PMK tersebut mengindikasikan efisiensi yang cukup signifikan, meliputi (1) efisiensi dokumen, (2) efisiensi birokrasi, (3) efisiensi waktu dan tenaga, (4) efisiensi sistem informasi, dan (5) efisiensi pelaporan.

Efisiensi dokumen.
Sampai dengan tahun 2007 untuk menyusun melaksanakan penyaluran dana yang bersumber dari Belanja Ke Daerah dalam APBN dibutuhkan dokumen anggaran yang dibuat dan disimpan di kantor pusat Departemen Keuangan, dikirimkan ke 467 daerah selaku KPA, dan digunakan sebagai dasar pembayaran di 178 kantor pelayanan perbendahaan negara (KPPN) selaku pemegang rekening Kas Negara. Dokumen anggaran tersebut meliputi daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA), SPM beserta dokumen pendukungnya, dan SP2D. Dengan transfer new design dapat dihitung tidak kurang dari 88.853 unit dokumen per tahun yang tidak perlu dicetak dan dikirimkan lagi, karena hanya ada satu DIPA, dengan beberapa SPM dan SP2D di kantor pusat Departemen Keuangan.


Efisiensi birokrasi.
Proses birokrasi yang dapat dihemat dari pelaksanaan new design tersebut adalah berkurangnya secara signifikat frekuensi pertemuan antara PNS daerah dengan PNS pusat dalam rangka penyusunan dokumen anggaran berupa rencana definitif DAK (RD-DAK) maupun dalam pengajuan usulan revisi RD-DAK, konsultasi pengajuan SPM dan penyusunan laporan DAK. Tidak kurang dari 13.000 pertemuan tidak perlu dilakukan lagi dengan dilaksanakannya transfer dengan new design.

Efisiensi dana.
Sampai dengan akhir tahun 2007, penyaluran DAU setiap awal bulan melalui BI tidak langsung ke rekening KUD, melainkan melalui bank operasional (BO) kas negara pada H-5, sedangkan mulai Januari 2008 penyaluran DAU yang nilainya tidak kurang dari Rp. 14 triliun sudah dilaksanakan pada tanggal 2 Januari 2008 dengan pemindahbukuan secara langsung dari rekening BUN ke rekening KUD, sehingga DAU tidak perlu overnight di BO. Efisiensi lainnya dapat dihitung dari biaya perjalanan untuk penyusunan RD-DAK dan revisi RD-DAK dari daerah ke ibu kota provinsi, pengajuan SPM dari daerah ke KPPN, rekonsiliasi data DBH-SDA dari daerah ke Jakarta yang semula dilaksanakan empat kali menjadi dua kali dalam setahun. Demikian juga biaya untuk penyusunan dokumen dalam kaitannya dengan efisensi dokumen.

Efisiensi Tenaga dan Waktu
Tenaga yang semula harus disediakan di 451 daerah, 33 Kantor Wilayah DJPB, dan 178 KPPN untuk melakukan pembahasan RD-DAK, memproduksi DIPA-DAU, DIPA-DAK, DIPA-DBH PPh, menyusun SPM-DAU, SPM-DAK, SPM-DBH PPh, dan menerbitkan SP2D-DAU, SP2-DAK, SP2D-DBH PPh dalam pelaksanaan pola baru tidak diperlukan lagi karena DIPA, SPM, dan SP2D cukup diterbitkan di Kantor Pusat Departemen Keuangan. Efisiensi tenaga juga terlihat dari tidak dilaksanakan rekonsiliasi data penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor SDA pada penyaluran DBHSDA Triwulan Pertama dan kedua yang semula setiap penyaluran DBH SDA harus berdasarkan pada hasil rekonsiliasi PNBP-SDA. Sedangkan efisiensi waktu akan terlihat dari kecepatan penyediaan dokumen anggaran yang semula harus memproduksi dokumen yang sangat banyak dibansing dengan dokumen anggaran yang sangat sedikit.

Efisiensi Pelaporan
Pelaporan realisasi Belanja Ke Daerah sampai dengan tahun 2007 hampir mustahil dapat dilaksanakan secara benar menurut kaidah laporan dan akuntansi pemerintah, karena tidak tersedianya dokumen sumber untuk menyusun laporan. Keberadaan dokumen sumber yang berupa SPM tersebar diseluruh daerah sebanyak 434 kabupaten/kota dan 33 provinsi, sedangkan SP2D tersebar di 178 KPPN di seluruh Indonesia. Mengharapkan datangnya laporan dari 451 entitas pelaporan tentu bukan hal yang sepele, karena taruhannya laporan harus tepat waktu dan lengkap dokumen sumbernya. Pola baru tarnsfer menjanjikan tersedianya dokumen sumber ada di Departemen Keuangan, yaitu di DJPK dan DJPBN, sehingga kelengkapan dan akurasi data laporan dapat didukung dengan dokumen sumber yang valid. Demikian juga waktu penyelesaian laporan realisasi transfer dapat terjamin.



Efisiensi Sistem Informasi.
Sistem informasi keuangan daerah yang ada di Departemen Keuangan sampai saat ini terbatas hanya pada data alokasi belanja ke daerah. Data realisasi hampir tidak tersedia kecuali data realisasi yang diminta dari DJPB yang berasal dari 178 KPPN yang belum direkonsiliasi dengan dokumen sumbernya. Pola baru transfer ke daerah akan menjamin tersedianya data realisasi transfer yang didukung dengan dokumen sumber yang tepat waktu dan lengkap seperti yang tersedia untuk bahan pelaporan. Efisiensi dalam sistem informasi akan terwujud juga dari hasil analisis yang dapat dilakukan dengan data yang kurang valid dibandingkan dengan data yang lebih valid.

Dampak Pola Baru Penyaluran Transfer.
Sampai dengan akhir tahun 2007, dana transfer disalurkan ke daerah dalam beberapa nomor rekening bank dengan nama rekening yang sangat bervariasi yang menyulitkan pelaksanaan pemantauan ketersediaan dana di daerah. Pola baru ini akan mendukung program Departemen Keuangan dalam mewujudkan Treasury Singgle Account yang juga akan ditrapkan di daerah. DAU bulan Januari 2008 yang telah secara sukses disalurkan langsung dari Rekening BUN di BI ke Rekening KUD di daerah, telah dilanjutkan setiap bulan yang diikuti transfer lainnya melalui nomor dan nama rekening yang sama dengan nama dan nomor rekening tempat menampung DAU. Dampak dari pola ini, daerah tidak perlu memelihara beberapa rekening di bank, melainkan hanya satu rekening untuk menampung pendapatan yang berasal dari transfer pemerintah pusat.

Dalam pola baru transfer juga diatur bahwa DAK disalurkan dalam tiga tahap yaitu 30%, 30, 30% dan 10%, paling cepat mulai bulan Februari. Penentuan bulan Februari ini dalam kaitannya dengan ketentuan yang mengatur penyelesaian peraturan daerah (Perda) APBD paling lambat Akhir Januari. Selanjutnya diatur bahwa tidak ada penyaluran DAK tahap pertama kecuali daerah sudah menetapkan peraturan daerah (Perda) tentang APBD. Ketentuan ini diharapkan akan mendorong daerah untuk secepatnya menyampaikan Perda APBD ke Departemen Keuangan. Penyaluran DAK tahap kedua sampai dengan keempat disalurkan apabila penyerapan DAK menunjukkan performance yang baik, yaitu apabila dana DAK yang sudah ditransfer ke KUD sebagai pendapatan daerah telah diserap lebih dari 90%. Kinerja penyerapan tersebut ditunjukkan dalam Laporan Pelaksanaan DAK yang dikirimkan ke DJPK Departemen Keuangan setiap saat sisa dana DAK di KUD mencapai angka lebih kecil dari 10%. Pengaturan ini akan mendorong daerah lebih cepat melaksanakan kegiatan DAK hingga sumua dana DAK terserap.

Dorongan terhadap percepatan penyelesaian perda APBD akan berdampak pada pelaksanaan kegiatan pembangunan di daerah lebih awal. Disampjng dasar hakum untuk pelaksanaan kegiatan sudah ditetapkan, biaya yang berasal dari transferpun sudah tersedia di Rekening KUD tanpa harus ditagih. Peristiwa tidak disalurkannya DAK tahun 2007 kepada daerah karena keterlambat pengajuan SPM diharapkan semakin sedikit bahkan tidak terjadi lagi.

Resiko dari Pola Baru Penyaluran Transfer.
Pentingnya risk management dalam pelaksanaan APBN sudah lama disadari. Demikian juga dalam transfer ke daerah, pola baru ini bukan tanpa resiko. Sampai dengan tahun 2007 penyaluran DBH-SDA dilaksanakan secara triwulanan berdasarkan hasil rekonsiliasi PNBP sektor SDA, yaitu dengan mencermati data setoran PNBP-SDA yang ada di Departemen Keuangan, Departemen ESDM, dan BP Migas. Penyaluran DBH-SDA tahun 2008 masih dilakukan secara triwulanan, namun besaran per triwulan diatur dengan pola triwulan pertama dan kedua masing-masing 20% dari pagu perkiraan DBH-SDA per daerah tanpa berdasarkan hasil rekonsiliasi. DBH-SDA Triwulan Ketiga dan Keempat disalurkan setelah dilaksanakan rekonsiliasi data penerimaan setoran PNBP-SDA dari kontraktor, dengan memperhitungkan DBH-SDA yang sudah disalurkan pada triwulan sebelumnya. Resiko yang patut dicermati berkaitan dengan ketersediaan dana di Kas Negara yang berasal dari setoran PNBP-SDA. Apabila dana dalam Kas Negara tidak cukup bearti Pemerintah harus memberikan talangan. Meskipun melihat trend PNBP-SDA tahun 2006 dan sebelumnya angka 40% selama semester pertama cukup aman, namun resiko ini bukan tidak mungkin akan terjadi.

Resiko lain yang layak dicermati adalah pada penyaluran DAK tahap kedua sampai dengan tahap keempat berdasarkan laporan daya serap DAK. Resiko ini berkaitan dengan laporan penyerapan yang kemungkinan sengaja dibuat tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya dengan memperlihatkan daya serap yang tinggi sehingga DAK tahap berikutnya dapat disalurkan. Terjadinya rekayasa laporan masih dimungkinkan meskipun laporan yang disampaikan ke Departemen Keuangan mensyaratkan adanya pakta integritas dari gubernur/bupati/walikota. Pakta integritas yang berupa pernyataan tanggung jawab belanja memuat pernyataan bahwa laporan telah berdasarkan kondisi yang sebebarnya dengan didukung dokumen sumber yang disimpan di pemerintah daerah untuk keperluan administrasi keuangan daerah dan keperluan audit oleh aparat funsional pengawas/pemeriksa (yang dimaksud adalah Badan Pengawas Daerah/Bawasda, Badan Pemeriksa Keuangan/BPK, dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan/BPKP). Meskipun dalam management transfer ini semuanya bersifat formal, namun secara religius dapat dikatakan bahwa diperlukan iman yang kuat dalam setiap penyusunan laporan penyerapan DAK.

1 komentar:

  1. Mohon Ijin copy beberapa artikel untuk dirangkum dan disarikan sebagai bahan ajar DTSD/S Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah di KNPK.

    Matur Nuwun
    HerryPra, Kasie Transfer IB

    BalasHapus