Jumat, 19 Februari 2010

Problematika Pemekaran Daerah : Teori Telur Dadar

Tahun 2010 adalah tahun bersejarah bagi 26 daerah pemekaran baru karena telah memperoleh dana perimbangan yang dihitung secara mandiri. Umumnya daerah pemekaran pada tahun kedua mendapatkan dana perimbangan yang meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Ini tentu kebahagiaan bagi daerah pemekaran baru. Namun tidak demikian pada daerah induknya dan daerah lain yang telah lebih dahulu ada. Pada tahun pertama daerah induk merasa sangat sakit karena harus berbagi dana perimbangan dengan daerah pemekarannya, pada tahun kedua baru daerah lainnya medrasa sakit karena kesempatan untuk mendapatkan kenaikan dana perimbangan khususnya Dana Alokasi Umum (DAU) menjadi tidak optimal.

Ide untuk menggunakan telur dadar sebagai teori pembagian DAU bagi daerah induk dan daerah pemekarannya tentunya sangat relevan. Satu telur dadar yang dibagi 4 orang akan terlihat masing-masing orang mendapatkan 1/4 bagian. Pada saat satu orang mempunyai anak maka ia harus berbagi l/4 bagian tersebut menjadi 1/8 bagian setiap orang. Dengan demikian telur dadar tersebut akan dibagi lima : 1/4, 1/4, 1/4, 1/8 dan 1/8 bagian. Pembagian ini tidak mempengaruhi daerah lain yang tidak mekar. Pada tahun kedua, induk dan anak hasil pemekaran tadi masing-masing mempunyai hak yang sama dengan daerah lain yang tidak mekar, yaitu sebagai daerah otonom berdasarkan undang-undang pembentukannya. Hal ini akan berpengaruh pada pembagian satu telur dadar tersebut, yaitu masing-masing menjadi 1/5 bagian. Dari sini terlihat, daerah lama bukan yang mekar akan mengalami penurunan porsi penerimaan dari 1/4 menjadi 1/5, sedangkan daerah yang mekar mengalami peningkatan dari 1/8 menjadi 1/5 .

Permasalahan yang timbul sekarang ini adalah bahwa pada tahun pertama pemekaran suatu daerah, daerah induk sepertinya terpukul dua kali, pertama, DAU-nya turun cukup signifikan, dan kedua, harus memberikan sumbangan (menyusui) daerah baru sebesar yang ditetapkan dalam undang-undang pembentukannya (umumnya Rp 5 miliar setahun) sampai waktu tertentu (umumnya 3 tahun). Itulah sebabnya banyak undang-undang daerah pemekaran yang tidak dipatuhi khususnya oleh daerah induk. Lain halnya apabila daerah baru hasil pemekaran tersebut adalah kota. Permasalahannyatidak sekedar dana perimbangan yang turun, melainkan juga (bagi daerah induk) masalah pemindahan ibu kota, dan (bagi kota hasil pemekaran) adalah masalah jumlah PNSD/Gaji PNSD. Permasalah kota terkait dengan jumlah pegawai yang cukup banyak karena pada umumnya PNSD tidak bersedia pindah ke kabupaten induk, sementara itu kabupaten induk akan menganggat PNSD baru, yang akan berdampak secara nasional.

Bagaimana masa depan pendanaan daerah pemekaran perlu pengkajian secara khusus. 26 daerah pemekaran yang untuk pertaman kalinya mendapatkan dana perimbangan dengan perhitungan secara mandiri memiliki sejarah dan latar belakang pembentukan yang berbeda-beda. Apakah peraturan mengenai penggabungan daerah/moratorium, dan penghapusan daerah bisa operasional?. Apakah Pemerintah Pusat pernah berhasil penahan suatu daerah utnuk mekar?. Apakah inisiatif pemekaran harus datang atau mendapatkan restu Pemerintah Pusat?. Inilah sebagain dari seabreg masalah yang harus dijawab.

Kamis, 18 Februari 2010

RKA-K/L dan RKA-BUN

UU No 17 Th 2003 tentang Keuangan Negara rupanya belum menyeluruh mengatur mengenai keuangan negara khususnya yang berhubungan dengan anggaran dalam rangka desentralisasi fiskal. Hal ini terlihat dari belum lengkapnya aturan mengenai pengaturan dana dari APBN yang ditransfer ke APBD dalam rangka otonomi daerah dan desentralisasi fiakal. Adanya pengaturan yang mengamanatkan untuk mengatur lebih lanjut Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L) dalam suatu peraturan pemerintah (PP) diterjemahkan oleh Pemerintah sebatas mengenai pengeluaran/belanja K/L yaitu PP No 21 Th 2004 tentang RKA-K/L. PP tersebut belum mengenai pengeluaran oleh Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara (BUN) yang posisinya dapat disejajarkan dengan K/L, bahkan dari aspek kewenangan mendapatkan mandat dari Presiden sebagai pengelola fiskal dan sebagai wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan.

Untuk lingkup yang lebih luas bahkan baru disadari perlunya perubahan nomenklatur dalam Struktur APBN, yaitu dengan mulainya digunakan terminologi Transfer Ke daerah sebagai pengganti Belanja Ke daerah. Perubahan ini berawal dari pemahaman bahwa "belanja"berbeda dengan "transfer", dimana belanja hampir selalu dikaitkan dengan pencapaian output, sedangkan transfer belum mengharapkan adanya output, karena hasil akhirnya hanyalah berpindahnya dana dari Kas Negara ke Kas Kas Daerah. Termonologi belanja kemudian menemukan kesulitan dalam mendefinisikan output belanja untuk keperluan subsidi yang wujudnya non-fisik.

Keterbatasan PP 21 th 2004 dalam mengatur perencanaan anggaran, menjadi lebih jelas pada saat Pemerintah harus mengelola anggaran Non-K/L yang antara lain terdiri dari pengelolaan utang, pinjaman, hibah, dan transfer ke daerah, serta anggaran Non-K/L lainnya. Hal ini terlihat dari adanya kesulitan dalam penggunaan format-format RKA-K/L untuk keperluan anggaran non-K/L dimaksud. Demikian juga pada saat anggaran Non-K/L tersebut harus dituangkan dalam dokumen pelaksanaan anggaran, yaitu DIPA. Kilamaks dari kesulitan ini adalah setelah selama enam tahun dilaksanakan muncul semangat yang mendorong perlunya revisi PP No 21 Th 2004 agar secara komprehensif mengatur semua jenis anggaran dalam APBN.

Pada prinsipnya terdapat dua jenis RKA, yaitu RKA-K/L dan RKA-Non K/L. RKA-K/L untuk menampung rencana kegiatan dan anggaran K/L/ sebagai pengguna anggaran yang memiliki kode bagian anggaran tertentu, sedangkan RKA-Non K/L memiliki dua peran, pertama, untuk menampung rencana kegiatan dan anggaran yang dilaksanakan oleh K/L tertentu untuk kegiatan tertentu yang sifatnya tidak rutin dan tidak/belum dapat ditampung dalam RKA-K/L-nya, dan kedua, untuk menampung rencana kerja dan anggaran Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal atau Bendahara Umum Negara. Terhadap pengelolaan dana ini Menteri Keuangan tidak menggunakan bagian anggaran 15, melainkan bagian anggaran beberapa kode bagian anggaran (sebelum th2009) dan kode bagian anggaran 999 (sejak 2010).

Ternyata kegiatan Menteri keuangan selaku pengelola fiskal atau BUN cukup banyak sehingga tidak cukup hanya satu kode bagian anggaran. Untuk mengatasi permasalahan perlu ditetapkan beberapa kode bagian anggaran, yaitu dengan cara memecah kode tersebut menjadi 999.01, 999.02, dan seterusnya sesuai dengan kebutuhan, dimana setiap kode bagian anggaran dikelola oleh unit eslon I tertentu. Sebagai contoh kode bagian anggaran Transfer ke Daerah yang dikelola oleh DJPK semula menggunakan kode 70 untuk dana perimbangan, dan kode 71 untuk dana otonomi khusus dan penyesuaian, diubah menjadi kode 999.05 untuk dana Transfer ke Daerah secara keseluruhan, yang akan meliputi Dana Perimbangan, Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian, serta Hibah Ke Daerah.

Selanjutnya, karena RKA-K/L pada umumnya enggarannya berasal dari anggaran yang dikuasai Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal atau selaku BUN, maka akan lebih dapat dipahami apabila nomenklatur RKA-Non-K/L disebut dengan RKA-BUN. Hal ini terkait dengan proses selanjutnya dalam pengelolaan kleuangan, yaitu penyusunan laporan realisasi anggaran (LRA) dan laporan keuangan kemenetreian/lembaga (LKKL) dalam rangka laporan keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).

Secara ringkas dapat dikemukakan sbb:
1. RKA terdiri dari 2, yaitu (a) RKA-K/L dan (2) RKA-BUN;
2. RKA-K/L untuk K/L dengan kode bagian anggaran tertentu;
3. RKA-BUN dapat terdiri dari (a) RKA-BUN untuk K/L, (b) RKA-BUN untuk Subsidi;
(c) RKA-BUN untuk Pinjaman, (d) RKA-BUN untuk Utang, (e) RKA-BUN untuk Hibah,
dan (f) RKA-BUN untuk Transfer ke daerah, yang dimungkinkan menampung anggaran lain
yang memiliki karakteristik yang setara.

Permalahan yang akan muncul antara lain sebagai akibat dari kegiatan BUN yang sangat heterogen maka kemungkinan agak sulit untuk dalam waktu dekat menemukan suatu aplikasi yang mampu merancang format dan aplikasi yang dapat digunakan oleh semua RKA tersebut, serta dokumen-dokumen turunan selanjutnya. Alternatif solusinya adalah untuk RKA-KL yang menyangkut semua K/L dapat dirancang aplikasi yang seragam, sedangkan untuk RKA-BUN, khusus RKA-BUN untuk K/L bisa menggunakan format dan aplikasi RKA-KL, sedangkan untuk RKA-BUN yang lain perlu diminta kepada unit-unit terkait untuk mengusulkan format sesuai kebutuhan dan kemudian sedapat mungkin dirangkum dalam suatu aplikasi yang diusahakan tidak jauh berbeda dengan RKA-K/L.