Senin, 09 Februari 2009

Specific Grant yang bukan seperti DAK ?

Meluruskan Persepsi Terhadap DAK

Kalau kita bicara Dana Alokasi Khusus (DAK) tentunya DAK yang dimaksud dalam UU No 33/2004 dan PP no 55/2005. Tidak banyak orang yang paham bahwa pengalokasian DAK benar-benar telah berdasarkan data dasar yang mencerminkan kondisi daerah, kondisi infrastruktur , dan kemampuan keuangan daerah. Masalahnya adalah apakah data dasar dimaksud sudah benar menggambarkan kondisi daerah , kondisi infrastruktur, dan a kemampuan keuangan daerah.

Ketidakpahaman tersebut terlihat dari masih banyaknya daerah yang meminta penambahan DAK melalui surat kepada Menteri Keuangan. Bahkan beberapa menit setelah kriteria pengalokasian DAK di-“ketok” sah di DPR, banyak pihak yang menyerbu meja Pemerintah meminta agar DAK daerah tertentu dinaikkan atau daerah tertentu diberikan DAK bidang tertentu. Demikian juga adanya persepsi - bahkan dari kementrian/lembaga (K/L) teknis yang mengawal DAK, bahwa K/L hanya menyusun petunjuk teknis dan data wilayah/teknis, sedangkan besaran alokasi per daerah per bidang oleh Departemen Keuangan.

Saringan pertama untuk menetapkan daerah penerima DAK adalah kemampuan keuangan daerah. Disinilah kriteria umum bekerja. Data kemampuan diperoleh dari realisasi transfer ke daerah (yang terdiri dari DAU dan DBH), data realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan data realisasi Gaji PNSD. Data tersebut umumnya sudah dipakai untuk menghitung DAU tahun sebelumnya. Data inilah yang kemudian membuktikan keterkaitan yang sangat erat antara DBH, DAU, dengan DAK, dalam arti penetapan daerah penerima DAK sangat tergantung dari besar kecilnya DBH dan DAU. DAU tidak tergantung dari DAK melainkan dari DBH, DBH tidak tergantung dari DAU dan DAK.

Saringan kedua masih dalam rangka menetapkan daerah penerima DAK. Daerah yang tidak lolos pada saringan pertama dinilai dengan kondisi wilayah, Pada tahap ini dipakai kriteria khusus – hanya daerah yang memiliki kekhususan tertentu yang akan tertolong . Data khususnya disediakan oleh K/L yang berwenang menyediakan data untuk perhitungan dana perimbangan. Kekhususan itu antara lain daerah tertinggal, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah rawan bencana, seluruh wilayah Papua dan papua Barat. Data kriteria khusus tersebut memiliki aspek legalitas yang jelas berupa keputusan presiden bahkan undang-undang.
The Final Filter adalah kondisi infrastruktur tertentu sebagai implementasi dari amanat bahwa kegiatan DAK harus bersifat fisik. Data kondisi infrastruktur yang disediakan K/L melalui keputusan menteri dipakai sebagaimana adanya. Daerah calon penerima yang kondisi puskesmasnya banyak yang rusak tentu akan mendapatkan DAK bidang kesehatan. Demikian juga untuk infrastruktur yang lain seperti sekolah dasar, jalan, pasar, dan infrastruktur lainnya sesuai bidang-bidang DAK.

What’s next , mengukur besaran DAK setelah daerah mendapatkan predikat sebagai penerima DAK?. Disamping untuk menentukan kelayakan suatu daerah untuk mendapatkan DAK, kriteria umum dipakai juga untuk menetapkan besaran DAK, melalui penggunaan indeks fiskal. Kriteria khusus berpengaruh pada besaran DAK. Argumentasinya adalah dari semua calon penerima DAK memiliki jumlah jenis kekhususan yang berbeda. Suatu daerah memiliki satu kekhususan, sedangkan yang lain dimungkinkan mempunyai tiga atau empat kekhususan. Daerah dengan lebih banyak kekhususan dimungkinkan menerima lebih besar. Indikator ini kemudia disebut sebagai indeks kewilayahan.

Pekerjaan menghitung DAK belum selesai. Daerah bisa mempunyai jenis infrastruktur dan banya k item yang jumlahnya berbeda. Suatu daerah bisa meiliki jenis infrastruktur delapan atau sembilan bahkan lebih, masing-masing infrastruktur dengan jumlah item yang banyak juga. Daerah lain mempunyai jumlah jenis dan item infrastruktur yang lebih sedikit. Untuk membedakan kondisi ini dikenal dengan indeks teknis. Penggabungan antara indeks kewilayahan dan indeks teknis melahirkan indeks fiskal netto untuk masing-masing bidang. The final calculation adalah memperhitungka indeks dengan ketersediaan dana pada masing-masing bidang, kemudian menjumlahkan perolehan per bidang yang menghasilkan DAK suatu daerah.
Alokasi Khusus yang bukan seperti DAK

Jika dicermati data yang digunakan untuk masing-masing kriteria dapat dilihat – jelas indenpendensinya, dan kuat aspek legalitasnya, yang perlu dipertanyakan adalah akurasi datanya. Aspek independensinya dijamin dari penyedia datanya. Pihak yang menghitung alokasi per daerah per bidang bukannya pihak yang menyususn data. Data kemampuan keuangan adalah data yang audited oleh BPK, sudah digunakan untuk menghitung dana perimbangan lainnya. Data kekhususan daerah disediakan oleh lembaga yang berwenang dengan aspek legalitas peraturan/keputusan menteri/pimpina lembaga, peraturan/keputusan presiden, bahkan undang-undang.

Berbagai pemikiran dilontarkan untuk menyusun DAK Ke Depan. Seberapa jauh ke depannya?. Mulai dari sumber pendanaan diasumsikan bisa dari hibah atau pinjaman luar negeri. Dipikirkan pula sebagai sarana untuk mewujudkan reward and punishment. DAK diikaitkan dengan upaya untuk membantu daerah tertentu. The Future DAK seperti itu sah-sah saja. Pertanyaannya adalah - itukah DAK yang dikehendaki oleh UU tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerinhahan Daerah saat ini?. Marilah kita cermati satu per satu kemungkinannya.

Pendanaan dari hibah atau bantuan luar negeri dimungkikan sepanjang donor atau lender tidak intervensi pada pengalokasian per daerah. Jika ada intervensi sama dengan mengabaikan kriteria umum. Bagaimana dengan intervensi untuk mengarah membesarkan bidang tertentu. Untuk urusan ini tidak ada ketentuan yang membatasi, kecuali apabila diasumsikan bahwa bidang yang paling banyak alokasinya adalah bidang yang memiliki prioritas nasional paling tinggi.

Adakah urusan reward and pusihment relevan dengan DAK?. Menetapkan kelayakan daerah tidak terlepas dari melaksanakan batasan DAK “untuk membantu daerah tertentu”. Penetapan daerah sebagai reward adalah sebagai wujud dari penghargaan atas kesuksesan daerah di bidang tertentu, misalnya ketepatan penyelesaian APBD, meningkatkan IPM, mendongkrak PDRB, atau sukses melaksanakan program tertentu yang dicanangkan pemerintah pusat, sedangkan punishmen adalah sebaliknya – kurang sukses. Persepsi terhadap kata “membantu” umumnya dikaitkan dengan frase “perlu dibantu”. Siapakah yang perlu dibantu, saat ini diterjemahkan sebagai daerah kurang beruntung dalam kemampuan keuangan. Jika persepsi ini dipertahankan maka DAK sebagai reward menjadi tidak relevan, karena bukan tidak mungkin daerah yang “tidak perlu dibantu” akan mendapatkan DAK.

DAK yang dikaitkan dengan daerah tertentu sejak awal, sungguh menciderai definisi DAK. Pemilihan daerah pasti akan dipertanyakan bahkan tidak menutup kemungkinan dengan kecurigaan, apalagi jika sumber pendanaannya dari hibah atau pinjaman luar negeri. Sentiment buruk terhadap negara atau lembaga asing tertentu bukan tidak mungkin akan muncu l. Justru upaya inilah yang akan penuh dengan unsur subyektifitas yang berlindung dalam bermacam intrik argumentasi –kemauan politik dan disepakati dalam undang-undang APBN. Mereka yang mengukur DAK dengan nurani pasti akan merasakan ketidak adilan. Sudah adakah wujud alokasi seperti ini?, apakah akan diteruskan praktek seperti ini?.

Lalu bagaimanakah wujud alokasi khusus atau specific grant ke depan. Ia adalah bukan DAK seperti yang diamanatkan dalam UU Perimbangan Keuangan saat ini. Mungkinkah itu ada, sangat mungkin bahkan sangat mulia, sepanjang alokasi tersebut didefinisikan seperti yang dikehendaki, dengan tetap menjunjung tinggi keadilan dan transparansi, termasuk menggambarkan tujuan tertentu dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi fiskal. Satu hal yang lebih penting lagi DAK Baru tersebut harusnya lebih baik dari DAK saat ini. Menemukan kekurangan yang sangat mendasar pada DAK saat ini dan memperbaikinya.

Pertanyaan “seberapa jauh ke depannya” menjadi sangat relevan disini. Jawaban yang paling mudah adalah pada saat peraturan mengenai DAK direvisi, diperbarui, atau diganti. Bagaimana prospek mengganti ketentuan DAK dimaksud?. Kita perlu melihat kenyataan, berapa banyak daerah yang nyaman dengan skema DAK saat ini, taruhlah porsi sangat pesimisnya lebih dari 55% tidak mempermasalahkan. Jika diasumsikan persentase ini mencerminkan juga suara di DPR, karena DPR membawa suara daerah (dengan catatan apabila para wakil rakyat benar-benar paham alokasi yang didefinisikan), maka agak sulit bermimpi tentang DAK ke Depan.

Bagaimana kemudian mewujudkan alokasi dengan unsur-unsur – pendanaan di-support dari hibah/pinjaman luar negeri, sebagai reward and punisment, mendorong program tertentu, atau dikaitkan maksud-maksud yang lain, tanpa mengubah ketentuan DAK?. Seyogyanya tidak disebut DAK, tidak masuk kategori dana perimbangan atau bahkan transfer ke daerah. Nasehat inipun tidak berlaku jikalau alokasi itu diperuntukkan bagi pendanaan kegiatan yang sudah menjadi kewenangan daerah. Oleh karena itu wajib hukumnya memahami DAK bersama dana perimbangan yang menjadi saudara kandungnya, dan mengenali alokasi lainnya yang menjadi saudara tirinya – dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan. Tidaklah benar menyama-artikan antara saudara kandung dengan saudara tiri. Selamat merencanakan DAK ke Depan !.

Kota Tangerang, Minggu, 01 Februari 2009, 23.30 wib.
Pramudjo, Direktur Dana Perimbangan.
Tulisan ini adalah pendapat pribadi tidak mencerminkan kebijakan institusi. Dikirimkan ke Media Komunikasi Keuangan dan Media Peka.




File: (1) Doc/Lifebook/Specific Grant yang bukan seperti DAK , (2) Pramudjo/WD/-idem-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar