Senin, 23 Februari 2009

Realisasi DBH SDA yang merosot dan pengaruhnya terhadap APBD

Dari 3 komponen Dana Perimbangan, DBH adalah komponen yang paling memberikan pengaruh tidak menentu terhadap APBD. DAU sudah menjadi angka final pada saat APBN ditetapkan, demikian juga DAK. Dua komponen dana perimbangan tersebut dicatat sebagai pendapatan dalam APBD sebagai fixed revenue. DBH yang sampai tahun 2009 terdiri dari 4 subkomponen - pertambangan umum, kehutanan, perikanan, dan migas, menjadi non-fixed revenue karena pencatatan pendapatan dalam APBD masih sebagai perkiraan, yang menjadi fixed revenue berdasarkan realisasi PNBP-nya. Realisasi PNBP sangat tergantung dari tarip/harga, nilai tukar rupiah terhadap valas, dan produksi. Realisasi PNBP/DBH bisa lebih tinggi dari perkiraan namun juga bisa sebaliknya.


Kita ambil satu komponen DBH yang dalam beberapa tahun terakhir selalu lebih rendah dari perkiraannya, yaitu DBH Perikanan. Berbeda dengan sifat DBH lainnya, DBH ini cukup unik, (1) tidak kenal daerah penghasil yang spesifik, dan (2) dibagi rata kepada semua daerah kabupaten/kota. Karena sifatnya inilah barangkali departemen teknis merasa tidak memiliki "greget" untuk meningkatkan PNBP, antara lain hampir karena tidak ada daerah yang "mengejar" data PNBP/DBH karena daerah tidak ikut memiliki. Hal ini berbeda dengan DBH yang lain dimana status daerah penghasil menjadikan suatu daerah sangat ingin tahu hasil yang akan dibagi.

Data tahun 2006 sd 2009 menunjukkan bahwa target PNBP Perikanan merosot gradually dari Rp250 M (100%) ke Rp200 M (80%) menjadi Rp 150 M (60%), yang lebih menyedihkan lagi pencapaian realisasi PNBP-nya merosot tajam dari Rp200 (100%) hanya tercapai Rp197 M (78,8%), tahun berikutnya menurun hanya mencapai Rp116 M (46,3%), selanjutnya turun lagi menjadi Rp78 M (39,2%). DBH Perikanan adalah porsi 80% dari realisasi PNBP-nya. Pada tahun 2008 dari pagu DBH sebesar Rp160 M hanya tercapai Rp 63 M, padahal menurut ketentuan DBH triwulan I dan II harus disalurkan 40% atau Rp 64 M sebelum terlihat berapa realisasi PNBP-nya. Akibatnya terjadi kelebihan salur sebesar sekitar Rp1,3 M atau sekitar Rp5 juta per daerah. Boro-boro impas atara pagu DBH dengan realisasinya malah utang !. Apakah kondisi seperti ini akan dibiarkan terus?. B agaimana tanggungjawab departemen tehnis terkait ?.

Kondisi ini terjadi juga pada realisasi DBH SDA Pertambangan Umum, secara keseluruhan DBH Pertambangan Umum kelihatan tidak terlalu banyak mengalami penurunan, namun rincian DBH per daerah terlihat perencanaan yang kurang baik. DBH di beberapa daerah menunjukkan lebih salur karena perkiraan per daerah yang terlalu optimis. Pola penyaluran transfer triwulan I dan triwulan II masing-masing 20% tanpa melihat realisasi juga turut andil dalam menciptakan lebih salur atau utang daerah. Tujuan yang semula dimaksudkan untuk memihal kepada daerah dalam arti memberikan kepastian waktu dan besaran masuknya pendapatan ternyata belum menunjukkan hasil yang diharapkan.

Dilain pihak peran daerah agar dapat membantu dalam perencanaan dan pencapaian target PNBP belum ditanggapi semua daerah dengan cukup wajar. Kepercayaan daerah bahwa mereka mempunyai peran rupanya belum tumbuh. Peran daerah sebaiknya diawali dengan hubungan yang baik antara pemerintah daerah dengan pada kontraktor pertambangan umum. HUbungan ini akan membantu pemerintah daerah mendapatkan akses untuk data rencana produksi, mendapatkan copy dokumen setoran landrent maupun royalty. Terlebih lagi apabila pemerintah provinsi berperan aktif menkoordinasikan hubungan yang harmonis antara kabupaten/kota di wilayahnya dengan para kontraktor/pengusaha pertambangunan umum. Informasi yang diperoleh dari koordinasi ini akan sangat bermafaat bagi Dep ESDM dalam merencanakan PNBP/DBH pertambangan Umum per daerah.

Barangkali kita boleh berasumsi bahwa daerah yang memnyampaikan hasil koordinasi tersebut kepada Dep ESDM mestinya terhindar dari lebih salur, karena perencanaan yang lebih baik berdasarkan data yang dapat dipercaya. Seyogyanya kita buktikan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar