Rabu, 29 Desember 2010

Cara Lain Memahami Transfer ke daerah


(Tulisan ini telah dimuat dalam "Media Keuangan" Vol V No 38/Oktober/2010
(Anda dapat menemukan Slide Powerpoint dari Naskah ini di bagian akhir setelah Kesimpulan).

Otonomi Daerah dan Desentralisasi

Otonomi daerah di Indonesia telah dijalankan paling tidak dengan empat desentralisasi, yaitu: (1) desentralisasi politik, yang ditandai dengan pemilihan umum daerah baik untuk kepala daerah maupun untuk anggota DPRD,(2) Desentralisasi kewenangan yang dilaksanakan dengan PP No 38/2008 tentang Pembagian Kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, (3) Desentralisasi Ekonomi yang disepakati dengan pemahaman bahwa pembangunan negara dan bangsa harus dimulai daeri daerah, demikian juga pertumbuhan ekonomi nasional adalah agregat dari pertumbuhan ekonomi daerah, (4) Desentralisasi Fiskal, yang diwujudkan dengan (a) desentralisasi penerimaan melalui pemberian taxing power yang lebih luas kepada daerah. Wujud nyata dari desentralisasi penerimaan adalah dengan ditetapkannya UU No 28 Th 2010 tentang Pajak Daerah dan Retribusi daerah (PDRD) dengan pengalihan PBB dan BPHTB dari pajak pusat menjadi pajak daerah, (b) desentralisasi pengeluaran melalui alokasi Transfer Ke Daerah (TkD). Wujud dari desentralisasi pengeluaran adalah UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dengan Pemerintahan Daerah, dan PP No 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, demikian juga anggaran lain di luar Dana Perimbangan dengan dasar hukum UU APBN untuk melaksanakan kebijakan tertentu dari Pemerintah.

Pada prinsipnya desentralisasi fiskal berupa anggaran transfer ke daerah dimaksudkan untuk penyediaan anggaran bagi keberhasilan ketiga desentralisasi lainnya.

Transfer Ke daerah semakin bervariasi.

Terdapat 19 jenis dana TkD pada tahun 2011 seiring dengan semakin meningkatnya alokasi TkD dalam APBN 2011 secara signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. UU No 33 Tahun 2004 hanya mengamanatkan 3 komponen anggaran ke daerah, yaitu DBH, DAU, dan DAK. DBH telah dijabar menjadi 8 jenis. Lantas apa dasar hukum dari 9 jenis lainnya?. Lima jenis transfer ke daerah lainnya adalah dalam rangka pelaksanaan kebijakan tertentu Pemerintah yaitu otonomi khusus Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat berdasarkan UU No 21 Tahun 2001 dan Otonomi Khusus Provinsi Aceh berdasarkan UU No 11 Tahun 2006. Empat jenis dana lainnya dialokasikan dalam rangka kebijakan tertentu Pemerintah di bidang pendidikan nasional, yaitu (a) Tunjangan Tambahan Pengahasilan Guru PNSD, (b) Tunjangan Profesi Guru, (c) Bantuan Operasional Sekolah /BOS, (d) Dana Insentif Daerah/DID. Empat jenis dana yang terakhir tersebut adalah sebagain dari kewajiban Pemerintah memenuhi anggaran pendidikan dalam APBN sebesar 20%.

Jenis TkD yang semakin banyak dan bervariasi tersebut justru menuai kritik, antara lain dengan pertanyaan “mengapa mesti ada dana-dana lain di luar Dana Perimbangan”. Kebutuhan daerah akan pendanaan dari Pemerintah Pusat ternyata tidak cukup dengan Dana Perimbangan, atau dengan kata lain UU No 33 Tahun 2004 belum mampu menggambarkan kebutuhan pendanaan daerah. Apakan ini bukti dari ketidakmampuan Porsi DBH, formula DAU, dan kriteria DAK. Argumentasi tersebut belum tentu benar, karena mengubah-ubah porsi DBH akan menguntungkan suatu pihak dan pada waktu yang bersamaan akan merugikan pihak lain (pemerintah atau Daerah). Sementara itu, Formula DAU telah mempertimbangan tugas utama dari pemerintah daerah yaitu melayani penduduk, mengelola wilayah, dan menyediakan pendanaan untuk pelayan dan pengelola (yaitu PNSD). Di lain pihak kriteria yang digunakan dalam DAK telah berusaha meyediakan dana bantuan kepada daerah untuk mendanai sarana/prasarana dan infrastruktur yang rusak.

Kritik tersebut akan terus berlangsung sepanjang Grand Design tentang Desentralisasi fiskal belum disepakati. Konsep desentralisasi fiskal dalam Undang-undang No 33 Tahun 2004 baru mengatur secara sempit desentralisasi fiskal khususnya dana perimbangan dengan konsep perimbangan keuangan, belum mengakomodir konsep kebutuhan daerah secara lebih riil.

Dana Perimbangan bukan hadiah dari Pemerintah Pusat.

Persepsi Pemerintah terhadap Dana Perimbangan adalah sesuai dengan nomenklaturnya, yaitu “perimbangan”, yang dimaksudkan sebagai perimbangan antara daerah dengan kemampuan keuangannya lebih besar (umumnya berasal dari dana bagi hasi/DBH pajak maupun sumber daya alam/SDA) dan daerah dengan kemampuan keuangan yang lebih kecil. Daerah dengan kemampuan keuangan lebih tinggi akan mendapatkan DAU dan DAK lebih kecil dari daerah dengan kemampuan keuangan sedang atau rendah. Sebagai ilustrasi, daerah yang sudah mencapai prestasi penyediaan infrastruktur yang sangat baik maka data infrastruktur yang rusak menjadi kecil, dampaknya daerah tersebut akan mendapatkan DAK lebih kecil atau turun dari tahun sebelumnya bahkan mungkin tidak mendapatkan DAK. Demikian juga daerah yang mengalami peningkatan PAD yang signifikan akan meningkatkan kapasitas fiskal maka dimungkinkan DAU-nya lebih kecil dari tahun lalu bahkan bisa tidak mendapatkan DAU, demikian sebaliknya.

Persepsi daerah pada umumnya, kebijakan dana perimbangan akan men-discourage daerah khususnya bagi daerah yang PAD-nya meningkat dan daerah yang membelanjakan anggarannya untuk infrastruktur. PAD yang meningkat tidak mendapatkan insentif malah menjadi faktor pengurang DAU, sedangkan belanja infrastruktur yang berdampak pada insfrastruktur yang rusak menjadi sedikit tidak mendapatkan insentif melainkan mengurangi perolehan DAK pada bidang tertentu.

DBH juga tidak dapat dikatakan sebagai hadiah atau insentif, karena pemberian DBH bukan karena kinerja daerah dan tidak ada prestasi daerah yang dikaitkan dengan DBH. DBH Pajak sangat tergantung dari aparat perpajakan, regulasi perpajakan, wajib pungut pajak, dan wajib pajak. DBH Sumber Daya Alam (SDA) sangat tergantung dari kandungan SDA yang dapat diambil dari bumi dan intensitas ekplorasinya serta harga jual SDA. Kandungan SDA di suatu daerah adalah anugerah Allah swt (boleh dikatakan sebagai hadiah dari Allah bukan dari Pemerintah Pusat), sedangkan realisasi eksplorasi SDA bukan kinerja daerah melainkan lebih kepada pengelola SDA (pengusaha selaku explorer dan Pemerintah sebagai regulator).

Konsep Trilogi Dana Perimbangan

Kemampuan Keuangan suatu daerah pada awalnya dihitung dari capaian prestasi daerah di bidang fiskal yaitu PAD, dan anugerah Allah berupa DBH SDA, serta partisipasi penduduknya dalam pembayaran pajak berupa DBH Pajak. Dari ketiga komponen tersebut grafik kemampuan keuangan daerah terlihat perbedaan kemampuan yang mencolok dalam arti tidak merata atau tidak seimbang antara daerah yang satu dengan yang lain atau terlihat adanya kesenjangan keuangan (fiscal imbalance).

Dengan prinsip equalization instrument dan minimizing fiscal imbalance, DAU dimaksudkan sebagai alat untuk mengurangi kesenjangan fiskal tersebut. Oleh karena itu dalam perhitungan DAU dipertimbangkan kemampuan keuangan daerah dari sumber PAD dan DBH selain mempertimbangkan kebutuhan keuangan daerah berupa kebutuhan untuk melayani penduduk dan kebutuhan untuk mengelola wilayah, serta mempertimbangkan pula aspek keuangan lain berupa kebutuhan pendanaan untuk pelayan penduduk dan pengelola wilayah yaitu pegawai negeri sipil daerah (PNSD). Daerah dengan PAD dan DBH yang tinggi (apalagi telah mampu mendanai kebutuhan keuangan) umumnya DAUnya kecil bahkan dimungkinkan tidak mendapatkan DAU.

Meskipun telah ada DBH dan DAU dimungkinkan terdapat daerah yang masih belum mampu mendanai perbaikan atau pembangunan sarana prasarana dan infrastruktur dari bidang-bidang tertentu yang menjadi prioritas nasional. Dengan alasan tersebut maka diberikanlah dana alokasi khusus (DAK). Oleh karena itu perhitungan DAK per daerah harus mempertimbangkan besaran DBH dan DAU.

Keterkaitan yang sangat erat bahkan tak terpisahkan ini yang kemudian menimbulkan Konsep Trilogi Dana Perimbangan, susunan yang terdiri dari tiga komponen yang saling berhubungan dan tidak terpisahkan untuk mewujudkan thema tertentu. Thema yang dimaksud adalah perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan daerah serta antar Pemerintahan Daerah.

KPA Transfer Ke Daerah mengelola dana sepertiga Belanja APBN

Tahun 2011 merupakan tahun yang bagus bagi dana TkD yang meningkat cukup signifikan. Peningkatan Anggaran TkD ini merupakan implikasi dari peningkatan pendapatan dalam APBN. Meskipun semua belanja adalah fungsi dari pendapatan, namun sebagian besar komponen anggaran TkD sangat erat hubungannya bahkan terkait langsung dengan pendapatan. Dana Alokasi Umum (DAU) dengan alokasi sebesar Rp225,5 Triliun adalah setara dengan 26% Pendapatan Dalam Negeri Neto adalah 17% dari Belanja APBN. Dana Bagi Hasil (DBH) adalah setara dengan persentase tertentu dari Penerimaan Negara Pajak (PNP) dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang dibagi hasilkan adalah 6% dari Belanja APBN. Besaran Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua, provinsi Papua Barat, dan Provinsi Aceh adalah setara dengan 4% dari Pagu DAU atau 0,8% dari Belanja APBN.

DAK adalah komponen TkD yang tidak terkait langsung dengan Pendapatan dalam APBN, demikian juga tidak trkait dengan besaran DBH maupun DAU. Dalam APBN 2011 komponen ini mengalami peningkatan sekitar 20% dari tahun 2010 dengan penambahan 5 bidang baru atau 35% menjadi 19 bidang dengan alokasi mencapai 2% dari belanja APBN. Keempat komponen dana ke daerah tersebut (DBH, DAU, DAK, dan Dana Otsus) mencapai besaran 26,3% dari Belanja APBN. Apabila ditambahkan dengan Dana Penyesuaian akan mencapai sekitar 30%.

KPA Transfer Ke Daerah adalah KPA dengan besaran dana terbesar mencapai hampir sepertiga dari belanja dalam APBN 2011. Namun demikian KPA Transfer berbeda dengan KPA Belanja sebagaimana dilaksanakan oleh kementerian/lembaga (K/L) pada umumnya. KPA K/L bertugas membelanjakan dana, mempertanggungjawabkan, dan melaporkan penggunaan anggaran K/L , berbeda dengan tugas KPA Transfer adalah menyalurkan dana ke Rekening Kas Umum Daerah, sedangkan pembelanjaannya dilakukan oleh daerah. Itulah sebabnya Transfer ke Daerah disebut sebagai two steps spending. Step pertama adalah penyaluran oleh DJPK Kem Keuangan dengan kinerja penyaluran TkD secara optimal, dan step kedua adalah pembelanjaan oleh Daerah dengan ukuran kinerja seperti yang ditetapkan dalam APBD. Pertanggungjabannya dilakukan juga dua tahap, pertama oleh DJPK selaku KPA Transfer dan kedua oleh daerah sebagai KPA belanja yang dilaksanakan di semua daerah.

Transfer Ke daerah : Penyaluran Dana dengan Rasa Efisiensi dan Motivasi

Sejak Tahun 2008 penyaluran Transfer ke Daerah dilakukan secara sentralisasi, dalam arti untuk jumlah penerima transfer yang besar (524 daerah) hanya dilakukan oleh satu unit KPA dan satu bendahara umum negara (BUN) di Kementerian Keuangan. DJPK selaku KPA Transfer Ke Daerah menerbitkan SPM atas DIPA Bagian Anggaran 999.05 dan KPKN Jakarta II selaku BUN menerbitkan SP2D untuk mendistribusikan dana ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) melalui Rekening Kas Umum Negara (RKUN) yang ada di BI (Tahun 2008 dan 2009) dan BRI Cabang Krekot Jakarta (untuk 2010 dan selanjutnya).

Tujuan utama penyaluran Transfer ke Daerah adalah penyampaian dana secara tepat waktu, tepat jumlah dan tepat sasaran penerimanya. Untuk mewujudkan tujuan utama dengan pencapaian kinerja yang semakin baik maka ketentuan mengenai penyaluran selalu dievaluasi dan direvisi dari semula dengan PMK No 04/2008, diubah dengan PMK No 21/2009, dan terakhir diubah dengan PMK No 126/2010. Perubahan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dari pencapaian tujuan utama penyaluran trenasfer ke daerah dan memotivasi daerah dalam pencapaian kinerja tertentu.

Ulasan mengenai efisen yang dicapai dengan mekanisme penyaluran Transfer Ke Daerah telah dimuat dalam bulletin ini beberapa waktu yang lalu, sedangkan motivasi yang dimaksud meliputi; (1) mendorong daerah untuk segera menetapkan Perda APBD tepat waktu, tidak lebih dari akhir tahun anggaran, apabila daerah ingin DAK-nya segera disalurkan dan DAU-nya tidak dilakukan penundaan, serta kinerjanya dicatat sebagai salah satu komponen insentif daerah, (2) memudahkan daerah menyusun cashflow management, dengan ditetapkannya waktu penyaluran dan besaran dananya , (3) mendorong agar penyerapan dana yang lebih tinggi, apabila daerah ingin penyaluran tepat waktu, dengan penyampaiakn laporan penyerapan secara tepat waktu, (4) memotivasi KPA (yaitu DJPK-Kementerian Keuangan) sebagai pemilik indikator kinerja utama (IKU) untuk mengusahakan agar penyaluran transfer ke daerah mencapai porsi yang dijanjikan. (5) mendukung tujuan pemerintah untuk penyusunan laporan keuangan pemerintah pusat dengan opini yang lebih baik, dengan penyediaan dokumen sumber yang lengkap dan besaran yang tepat.

Dana Insentif Daerah (DID) Komponen Transfer sebagai Hadiah.

Dana Perimbangan bukan insentif atau hadiah bagi daerah, namun ada komponen Transfer ke Daerah yang dimaksudkan sebagai insentif atau hadiah bagi daerah karena pencapaian tertentu. DID ini adalah salah satu upaya Pemerintah untuk memotivasi daerah dari aspek yang lain, yaitu kinerja pengelolaan keuangan dan kinerja ekonomi dan kesejahteraan. DID adalah motivator sekaligus insentif.

Semua daerah diukur pencapaian 4 (empat) aspek kinerja pengelolaan keuangan daerah berupa (1) perolehan opini BPK terhadap laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD), (2) kinerja ketepatan waktu penetapan Perda APBD, (3) Kinerja peningkatan PAD, dan (5) kinerja peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM). Aspek kinerja lainnya adalah 4(empat) aspek kinerja ekonomi dan kesejahteraan diukur dari (a) kinerja peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah, (b) kinerja penurunan angka kemiskinan, (c) kinerja penurunan angka pengangguran, dan (d) kinerja penurunan tingkat inflasi lokal.

DID baru pertama kali diluncurkan dalam APBN 2010 sehingga tujuan dari DID belum terlihat dalam tahun 2010, namun gema dari peluncuran DID ini telah mendapatkan repon baik pro maupun kontra. Hasil dari upaya memotivasi daerah diharapkan akan terlihat di tahun 2011, antara lain dengan opini yang lebih baik atas LPKD tahun 2010 hasil audit BPK yang dilaksanakan dalam tahun 2011. Pihak yang pro sependapat bahwa daerah akan termotivasi untuk mendapatkan DID, sementara pihak yang kons menyayangkan adanya dana lain di luar Dana Perimbangan dan menjadikan undang undang APBN sebagai legalisasi untuk menghalalkan segala dana ke daerah.

Kesimpulan

Persepsi Daerah terhadap TkD pada umumnya berbeda dengan persepsi Pemerintah. Kebanyakan daerah tidak peduli bahwa ada daerah lain (mungkin tetangga yang berbatasan) lebih buruk kondisi keuangannya. Argumentasinya, daerah tersebut belum dapat melayani penduduk dan mengelola wilayah dengan baik mengapa diberikan dana perimbangan yang banyak. Sedangkan konsep yang dianut Pemerintah adalah justru daerah yang seperti itu yang harus segera ditingkatkan kemampuannya melalui dana perimbangan agar lebih cepat sejajar dengan daerah lain yang sudah lebih lama melayani penduduk dan mengelola wilayah. Dengan kata lain, belum banyak daerah yang memahami konsep perimbangan antar daerah. Oleh karena itu perlu cara / upaya lain untuk memahamkan semua pihak terhadap konsep TkD khususnya Dana Perimbangan.

1 komentar:

  1. Thanks atas sharenya pak. jika berkenan, saya minta dan kirim slide'y ke akar.indo@gmail.com

    BalasHapus