Jumat, 06 Januari 2012

Kapasitas Fiskal, Satu Nama Banyak Magna ?.

Masalah Bahasa.

Suatu saat datanglah seseorang ke DJPK untuk yang menanyakan “Mengapa kapasitas Fiskal yang digunakan dalam penentuan pinjaman daerah berbeda dengan kapasitas fiskal yang digunakan dalam perhitungan DAK ?”. Pertanyaan ini bisa dikatakan jeli, namun bisa juga dikatakan kurang teliti.

Bahasa Inggris Fiscal Capacity diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, paling tidak ke dalam dua terminologi yaitu Kemampuan Keuangan dan Kapasitas Fiskal. Sayangnya, sejauh ini saya dengar lebih banyak orang yang menyebut “kapasitas fiskal” termasuk untuk menyebut “kemampuan keuangan daerah”. Masalah bahasa inilah yang kemudian merancukan arti dari terminologi masing-masing.
Pendekatan aspek hukum.

Kejelasan arti dari setiap terminologi dapat didekati dari aspek hukum (peraturan perundangan yang memuat terminologi tersebut). Pendekatan ini yang kemudian dapat digunakan sebagai acuan bagaimana sebaiknya menyebut terminologi yang benar. Tingkatan peraturan perundangan yang bisa ditelusuri adalah mulai dari undang-undang (UU), peraturan pemerintah (PP), sampai pada peraturan Menteri Keuangan (PMK), sebagai berikut:
1. Kapasitas Fiskal untuk DAU didasarkan pada Pasal 27 (3) dan 28 (3) UU No 33 Tahun 2004 dan PP No55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan
2. Kemampuan Keuangan Daerah untuk perhitungan DAK dimuat dalam Pasal 40 (2) UU no33 Tahun 2004 dan Penjelasannya dan PP no55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan
3. Kapasitas Fiskal yang digunakan dalam pinjamkan daerah didasarkan pada Pasal 1 PMK Nomor 73/PMK.02/2006 tentang Peta Kapasitas Fiskal Dalam Rangka Penerusan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah Kepada Daerah Dalam Bentuk Hibah.
4. Kemampuan Fiskal Daerah yang digunakan dalam perencanaan pendanaan urusan bersama untuk penanggulangan kemiskinan untuk tahun 2012 telah ditetapkan dengan PMK No 66/PMK.07/2011 tentang Indeks Fiskal dan Kemiskinan Daerah Dalam Rangka Perencanaan Pendanaan Urusan Bersama untuk Penanggulangan Kemiskinan Tahun 2012.
Untuk menjelaskan perbedaan diantara keempat terminologi tersebut perlu dibedakan dalam penyebutannya, yaitu (1) Kapasitas Fiskal untuk DAU, (2) Kapasitas Fiskal untuk DAK yang seharusnya disebut sebagai Kemampuan Keuangan Daerah, (3) Kapasitas Fiskal untuk Pinjaman Daerah, dan (4) Kemampuan Fiskal untuk pendanaan urusan bersama.
Kapasitas Fiskal untuk DAU
Dana Alokasi Umum (DAU) dalam sistem perimbangan keuangan yang diatur dalam UU No33 Tahun 2004 yang mengamanatkan bahwa DAU suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Selanjutnya terminologi Kapasitas Fiskal dimuat dalam 2 pasal sebagai berikut:
• Pasal 27 (3) “Celah Fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah”
• Pasal 28 (3) “Kapasitas Fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil”

Kemampuan Keuangan Daerah untuk DAK.
Dalam perhitungan DAK dikenal menggunakan 3 (tiga) kriteria yaitu Kriteria Umum, Kriteria Khusus, dan Kriteria Teknis. Kapasitas Fiskal untuk keperluan perhitungan DAK per daerah digunakan dalam hubungannya dengan penentuan Kriteria Umum (KU)*. KU adalah penjumlahan dari PAD, DAU, DBH Pajak, dan DBH SDA dikurangi DBH Dana Reboisasi, dikurangi Belanja Pegawai.
UU No33 Tahun 2004 mengamanatkan dalam Pasal 40 sebagai berikut:
(1) Pemerintah menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis.
(2) Kriteria Umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD

Selanjutnya PP No55 Tahun 2005 pada Pasal 55 mengatur sebagai berikut:
(1) Kriteria umum dirumuskan berdasarkan kemampuan keuangan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah.
(2) Kemampuan keuangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung melalui indeks fiskal netto

Rumus yang biasa digunakan mengukur kriteria umum yang mencerminkan kemampuan keuangan daerah adalah sebagai berikut: KU = PAD + DAU + (DBH – DBH DR) – Belanja Gaji PNSD

Kapasitas Fiskal untuk Pinjaman Daerah

Kapasitas Fiskal untuk Pinjaman Daerah adalah rasio antara penjumlahan PAD, DBH, DAU, Lain-lain Pendapatan Daerah dikurangi Belanja Pegawai dengan jumlah penduduk miskin, dengan formula :
KF (untuk Pinjaman Daerah) = {PAD + DBH + DAU + Lain-lain Pendapatan) – Belanja Pegawai Daerah} : Jumlah Penduduk Miskin.
Rumusan tersebut didasarkan pada pengaturan dalam PP No 73/PMK.02/2006 sebagai berikut:

Pasal 1 mengatur :
(1) Kapasitas Fiskal adalah gambaran kemampuan keuangan Daerah yang dicerminkan melalui pendapatan daerah (tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat, dana pinjaman lama, dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu) dikurangi dengan belanja pegawai, dan dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin.
(2) Peta Kapasitas Fiskal adalah pengelompokan Daerah berdasarkan kapasitas fiskal menjadi empat kelompok yaitu Daerah berkapasitas fiskal sangat tinggi, tinggi, sedang, dan rendah.

Pasal 3 mengatur :
(1) Peta Kapasitas Fiskal dibentuk melalui 2 (dua) tahap yaitu:
a. penghitungan kapasitas fiskal masing-masing Daerah provinsi danDaerah kabupaten/kota;
b. penghitungan indeks kapasitas fiskal Daerah provinsi dan kabupaten/kota.
(2) Penghitungan kapasitas fiskal masing-masing Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, didasarkan pada formula (tersebut diatas)

Kemampuan Fiskal untuk Pendanaan Urusan Bersama

Terminologi Kemampuan Fiskal Daerah ditetapkan dalam rangka pelaksanaan PMK Nomor 168/PMK.07/2009 tentang Pendoman Pendanaan Urusan Bersama Pusat dan Daerah untuk Penanggulangan Kemiskinan. Pelaksanaan untuk tahun 2012 dituangkan dalam PMK No 66/PMK.07/2011 tentang Indeks Fiskal dan Kemiskinan Daerah Dalam Rangka Perencanaan Pendanaan Urusan Bersama untuk Penanggulangan Kemiskinan Tahun 2012.
Pada Pasal 1 butir 9 dirumuskan bahwa Kemampuan Fiskal Daerah (KFD) adalah kemampuan keuangan daerah dan dana transfer ke daerah dikurangi belanja pegawai negeri sipil daerah. Selanjutnya pada Pasal 3 (3) mengatur bahwa data kemampuan keuangan daerah adalah pendapatan asli daerah dan pendapatan lain-lain yang sah. Sedfangkan pada Pasal 3 (4) mengatus bahwa data dana transfer ke daerah terdiri dari DBH, DAU, dan penyesuaian dan dana otonomi khusus.

Kesimpulan

Dari 4 (empat) terminologi tersebut ternyata setiap terminologi mempunyai tujuan yang berbeda. Kapasitas Fiskal hanya digunakan dalam rangka DAU dan Pinjaman/hibah, sedangkan selebihnya menggunakan istilah yang berbeda.

Minggu, 01 Januari 2012

Aspek Legalitas Anggaran Transfer Ke Daerah

Upaya continuous improvement.

Perkembangan pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia menunjukkan segmen-segmen perubahan yang signifikan sejak tahun 2008. Perubahan nomenklatur “Belanja Ke Daerah” menjadi “Transfer Ke Daerah” mendorong keinginan untuk transparansi dan akuntabilitas dari pengelolaan anggaran Transfer Ke Daerah. Keinginan itu diwujudkan dengan upaya yang berkelanjutan (continuous improvement) dari penyaluran anggaran Transfer Ke Daerah dengan setiap tahun melakukan penyempurnaan terhadap peraturan mengenai penyaluran anggaran transfer ke daerah. Sejak 2008 sampai dengan 2011 telah digunakan 3 peraturan Menteri Keuangan (PMK), dan untuk tahun 2012 telah disusun PMK yang keempat untuk pelaksanaan dan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran transfer ke daerah, yang menyempurnakan peraturan-peraturan sebelumnya dan menggantikannya.

Bersamaam dengan penyusunan PMK yang keempat tersebut telah pula disusun PMK tentang penatausahaan dan pembayaran dana bagi hasil (DBH) PBB Migas untuk mendukung transparansi dan akuntabilitas pengelolaan PBB Migas dari mulai perencanaan, penganggaran, penyiapan dokumen pemungutan, sampai dengan pembayaran/penyaluran DBH kepada daerah. Upaya lainnya yang sedang dirintis adalah penyusunan PMK mengenai Pengelolaan Anggaran Transfer Ke Daerah yang direncanakan akan menggabungkan semua PMK mengenai transfer ke daerah, sehingga dalam satu peraturan dapat dimuat seluruh proses pengelolaan anggaran transfer ke daerah.

Upaya-upaya tersebut merupakan keinginan Pemerintah untuk melakukan pengelolaan anggaran transfer ke daerah dengan lebih baik di dalam lingkungan Pemerintah. Pertanyaan yang selama ini selalu muncul dalam pengelolaan Anggaran Transfer Ke Daerah antara lain apakah aspek legalitas dalam anggaran Transfer Ke Daerah tersebut telah ditegakkan dan dilaksanakan sebagaimana mestinya sehingga jelas terwujud transparansi dan akuntabilitasnya.

Landasan Hukum Transfer ke Daerah.

Pelaksanaan anggaran transfer ke daerah tidak cukup didasarkan pada UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, melainkan terdapat peraturan perundangan lain yang mendasari pengelolaan anggaran transfer ke daerah yaitu: (1) Peraturan yang ditetapkan untuk melaksanakan desentralisasi fiskal dalam rangka otonomi daerah, yaitu UU No 33 Tahun 2004 , (2) Peraturan lain yang berdampak pada alokasi kepada daerah, dan (3) UU APBN yang mengamanatkan adanya aokasi kepada daerah.

1. UU No 33 Tahun 2004

Undang-undang ini secara jelas mengatur alokasi kepada daerah yang bersumber dari APBN melalui Dana Perimbangan yang terdiri dari (a) dana bagi hasil/DBH, (b) dana alokasi umum/DAU, dan (c) dana alokasi khusus/DAK. UU ini mengamanatkan dialokasikan dana perimbangan berdasarkan persentase tertentu untuk DBH, formula yang baku untuk DAU, dan kriteria yang jelas untuk DAK. Pelaksanaan persentase, formula, dan kriteria selama ini telah dilaksanakan secara transparan dan akuntabel melalui mekanisme yang demokratis di dalam sidang parlemen, sehingga dapat dengan jelas diterangkan argumentasi setiap alokasi kepada daerah.

2. UU yang berdampak pada alokasi kepada daerah.

Praktek hukum di Indonersia masih menunjukkan pengaturan yang debateable, terutama pengaturan yang menyangkut bidang fiskal nasional, pertanyaan spesifiknya adalah : “apakah undang-undang mengenai bidang tertentu dapat mengatur bidang keuangan sehingga berdampak fiskal secara nasional”.

a. UU Otonomi Khusus.

Kenyataan tersebut terlihat pada UU mengenai Otonomi Khusus Prov Papua, Prov Papua Barat, dan Prov Aceh, yaitu UU No 21/2001 jo UU No 35/2008 dan UU No 11/2006 yang mengamanatkan adanya alokasi kepada daerah otonomi khusus sebesar 2% dari Pagu DAU Nasional. Khusus untuk Prov Papua dan Prov Papua Barat bahkan mengamanatkan adanya tambahan dana di luar dana Otonomi Khusus yaitu untuk dana infrastruktur. Dana-dana tersebut selanjutnya dikemas dalam Dana Otonomi Khusus.

b. UU Sistem Pendidikan Nasional

UU ini dimaksudkan mengatur sistem pendidiksn nasional, namun di dalamnya mengatur juga pemberian tambahan penghasilan diluar gaji standar nasional kepada guru termasuk guru-guru yang berstatus PNS yang bekerja di daerah yang gajinya bersumber dari APBD. Demikian juga pengaturan mengenai pemberian dana dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/kota kepada satuan pendidikan dalam bentuk hibah. Dari pengaturan-pengaturan tersebut kemudian dikenal adanya Dana Tunjangan Profesi Guru, Dana Tambahan penghasilan Guru untuk guru yang belum bersertifikasi, dan dana bantuan operasional sekolah (BOS). Karena guru dan pedidikan dasar sudah menjadi kewenangan daerah maka timbullah alokasi kepada daerah. Dana-dana tersebut selanjutnya masuk dalam Dana Penyesuaian.

c. UU Cukai.

UU ini terkait dengan masalah keuangan negara tapi bukan masalah desentralisasi fiskal. UU ini mengatur mengenai pengelolaan cukai, yang merupakan penyempurnaan dari UU Cukai sebelumnya. UU yang ditetapkan dengan nomor 39 Tahun 2007 ini menambahkan pengaturan mengenai bagi hasil khusus dari cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 2% dari perolehan cukai hasil tembakau secara nasional kepada daerah penghasil cukai hasil tembakau yang sebelumnya tidak pernah diatur. DDBH CHT selanjutnya dimasukkan dalam kelompok DBH Pajak. UU No39/2007 mengamanatkan penggunaan secara terarah DBH CHT ini pada lima kegiatan utama yang berkaitan dengan industri hasil tembakau, baik kegiatan yang mendukung industri hasil tembakau maupun dampaknya.

3. UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

UU APBN ditetapkan setiap yahun setelah melalui perencanaan dan pembahasan yang sistematis dalam waktu yang cukup panjang. Pemerintah menurunkan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dari Rencana Kerja Jangka Menengah (RPJM),. Dalam RKP Pemerintah merencanakan kebijakan yang akan dilaksanakan dalam tahun yang akan datang dan didanai dari APBN.

Dalam hal Transfer Ke Daerah terdapat dua kelompok dana yang alokasi kepada daerah didasarkan pada UU APBN, yaitu:

a. Dana yang ditetapkan melalui mekanisme perencanaan.

Komponen-komponen Anggaran Transfer Ke Daerah yang dimuat dalam RKP berdasarkan peraturan perundangan sebagaimana telah diuraikan diatas. Namun demikian Pemerintah masih memiliki peluang untuk merencanakan alokasi ke daerah yang tidak berdasarkan pada peraturan perudangan seperti telah diuraikan diatas, melainkan akan ditetapkan dalam UU APBN. Contoh dari dana ini adalah Dana Insentif Daerah (DID) yang mulai dimuat dalam APBN tahun 2010. Setelah RKP dibahas dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR, maka disusunlah nota keuangan (NK) dan RAPBN. DID tersebut dimuat dalam NK dan RAPBN yang menjadi bahan pembahasan dengan DPR sampai ditetapkan. DID yang telah disepakati selanjutnya dimasukkan dalam kelompok Dana Penyesuaian.

b. Dana yang muncul sebagai dinamika dalam pembahasan APBN.

Asumsi makro dan pendapatan negara yang direncanakan Pemerintah pada saat pembahasan dengan DPR dimungkinkan untuk berubah sesuai dengan perkembangan perekonomian dunia. Perubahan tersebut kemudian berpengaruh pada perubahan postur RAPBN. Perubahan yang mungkin terjadi adalah pendapatan menjadi lebih besar sementara belanja tetap, maka akan terjadilah selisih antara pendapatan dengan belanja berupa sejumlah dana yang kemudian dinamakan sebagai dana optimalisasi. Karena munculnya pada saat pembahasan RAPBN maka penggunaannya disepakati pada saat itu juga, artinya penggunaan tersebut tidak melalui mekanisme perencanaan dan penganggaran sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundangan.

Dana optimalisasi yang digunakan untuk kegiatan kementerian/lembaga (K/L) dimungkinkan akan lebih akuntabel sepanjang dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang sudah dimuat dalam rencana kerja dan anggaran K/L (RKA-KL). Sedangkan dalam hal Transfer Ke Daerah juga dimungkinkan akuntabel sepanjang dialokasikan pada komponen yang jelas transparansi dan akuntabilitasnya misalnya DAK. Namun apabila pengalokasiannya tidak mempertimbangkan kriteria yang jelas maka akan diragukan transparansi dan akuntabilitasnya. Contoh adanya dana nini adalah Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) pada APBN 2011, dan Dana Percepatan Pembanguan Infrastruktur Daerah (DPPID) dalam APBN-P 2011, yang keduanya masuk dalam kelompok Dana Penyesuaian.

Kesimpulan.

UU No 33 Tahun 2004 bukan satu-satunya dasar hukum dalam anggaran Transfer Ke Daerah, melainkan terdapat UU lain yang dalam pelaksanaannya berakibat pada alokasi ke daerah. Ini berarti bahwa UU no 33 tahun 2004 tidak cukup menjamin transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia, melainkan diperlukan UU lain. Penggunaan UU lain kemudian menjadi preseden untuk semakin meluasnya alokasi ke daerah dalam APBN yang tidak didasarkan pada UU 33 Tahun 2004. Tantangan Pemerintgah ke depan adalah mewujudkan peraturan perundangan yang memayungi pelaksanaan desentralisasi fiskal secara menyeluruh, transparan, dan akuntabel.