Rabu, 29 Desember 2010

Cara Lain Memahami Transfer ke daerah


(Tulisan ini telah dimuat dalam "Media Keuangan" Vol V No 38/Oktober/2010
(Anda dapat menemukan Slide Powerpoint dari Naskah ini di bagian akhir setelah Kesimpulan).

Otonomi Daerah dan Desentralisasi

Otonomi daerah di Indonesia telah dijalankan paling tidak dengan empat desentralisasi, yaitu: (1) desentralisasi politik, yang ditandai dengan pemilihan umum daerah baik untuk kepala daerah maupun untuk anggota DPRD,(2) Desentralisasi kewenangan yang dilaksanakan dengan PP No 38/2008 tentang Pembagian Kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, (3) Desentralisasi Ekonomi yang disepakati dengan pemahaman bahwa pembangunan negara dan bangsa harus dimulai daeri daerah, demikian juga pertumbuhan ekonomi nasional adalah agregat dari pertumbuhan ekonomi daerah, (4) Desentralisasi Fiskal, yang diwujudkan dengan (a) desentralisasi penerimaan melalui pemberian taxing power yang lebih luas kepada daerah. Wujud nyata dari desentralisasi penerimaan adalah dengan ditetapkannya UU No 28 Th 2010 tentang Pajak Daerah dan Retribusi daerah (PDRD) dengan pengalihan PBB dan BPHTB dari pajak pusat menjadi pajak daerah, (b) desentralisasi pengeluaran melalui alokasi Transfer Ke Daerah (TkD). Wujud dari desentralisasi pengeluaran adalah UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dengan Pemerintahan Daerah, dan PP No 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, demikian juga anggaran lain di luar Dana Perimbangan dengan dasar hukum UU APBN untuk melaksanakan kebijakan tertentu dari Pemerintah.

Pada prinsipnya desentralisasi fiskal berupa anggaran transfer ke daerah dimaksudkan untuk penyediaan anggaran bagi keberhasilan ketiga desentralisasi lainnya.

Transfer Ke daerah semakin bervariasi.

Terdapat 19 jenis dana TkD pada tahun 2011 seiring dengan semakin meningkatnya alokasi TkD dalam APBN 2011 secara signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. UU No 33 Tahun 2004 hanya mengamanatkan 3 komponen anggaran ke daerah, yaitu DBH, DAU, dan DAK. DBH telah dijabar menjadi 8 jenis. Lantas apa dasar hukum dari 9 jenis lainnya?. Lima jenis transfer ke daerah lainnya adalah dalam rangka pelaksanaan kebijakan tertentu Pemerintah yaitu otonomi khusus Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat berdasarkan UU No 21 Tahun 2001 dan Otonomi Khusus Provinsi Aceh berdasarkan UU No 11 Tahun 2006. Empat jenis dana lainnya dialokasikan dalam rangka kebijakan tertentu Pemerintah di bidang pendidikan nasional, yaitu (a) Tunjangan Tambahan Pengahasilan Guru PNSD, (b) Tunjangan Profesi Guru, (c) Bantuan Operasional Sekolah /BOS, (d) Dana Insentif Daerah/DID. Empat jenis dana yang terakhir tersebut adalah sebagain dari kewajiban Pemerintah memenuhi anggaran pendidikan dalam APBN sebesar 20%.

Jenis TkD yang semakin banyak dan bervariasi tersebut justru menuai kritik, antara lain dengan pertanyaan “mengapa mesti ada dana-dana lain di luar Dana Perimbangan”. Kebutuhan daerah akan pendanaan dari Pemerintah Pusat ternyata tidak cukup dengan Dana Perimbangan, atau dengan kata lain UU No 33 Tahun 2004 belum mampu menggambarkan kebutuhan pendanaan daerah. Apakan ini bukti dari ketidakmampuan Porsi DBH, formula DAU, dan kriteria DAK. Argumentasi tersebut belum tentu benar, karena mengubah-ubah porsi DBH akan menguntungkan suatu pihak dan pada waktu yang bersamaan akan merugikan pihak lain (pemerintah atau Daerah). Sementara itu, Formula DAU telah mempertimbangan tugas utama dari pemerintah daerah yaitu melayani penduduk, mengelola wilayah, dan menyediakan pendanaan untuk pelayan dan pengelola (yaitu PNSD). Di lain pihak kriteria yang digunakan dalam DAK telah berusaha meyediakan dana bantuan kepada daerah untuk mendanai sarana/prasarana dan infrastruktur yang rusak.

Kritik tersebut akan terus berlangsung sepanjang Grand Design tentang Desentralisasi fiskal belum disepakati. Konsep desentralisasi fiskal dalam Undang-undang No 33 Tahun 2004 baru mengatur secara sempit desentralisasi fiskal khususnya dana perimbangan dengan konsep perimbangan keuangan, belum mengakomodir konsep kebutuhan daerah secara lebih riil.

Dana Perimbangan bukan hadiah dari Pemerintah Pusat.

Persepsi Pemerintah terhadap Dana Perimbangan adalah sesuai dengan nomenklaturnya, yaitu “perimbangan”, yang dimaksudkan sebagai perimbangan antara daerah dengan kemampuan keuangannya lebih besar (umumnya berasal dari dana bagi hasi/DBH pajak maupun sumber daya alam/SDA) dan daerah dengan kemampuan keuangan yang lebih kecil. Daerah dengan kemampuan keuangan lebih tinggi akan mendapatkan DAU dan DAK lebih kecil dari daerah dengan kemampuan keuangan sedang atau rendah. Sebagai ilustrasi, daerah yang sudah mencapai prestasi penyediaan infrastruktur yang sangat baik maka data infrastruktur yang rusak menjadi kecil, dampaknya daerah tersebut akan mendapatkan DAK lebih kecil atau turun dari tahun sebelumnya bahkan mungkin tidak mendapatkan DAK. Demikian juga daerah yang mengalami peningkatan PAD yang signifikan akan meningkatkan kapasitas fiskal maka dimungkinkan DAU-nya lebih kecil dari tahun lalu bahkan bisa tidak mendapatkan DAU, demikian sebaliknya.

Persepsi daerah pada umumnya, kebijakan dana perimbangan akan men-discourage daerah khususnya bagi daerah yang PAD-nya meningkat dan daerah yang membelanjakan anggarannya untuk infrastruktur. PAD yang meningkat tidak mendapatkan insentif malah menjadi faktor pengurang DAU, sedangkan belanja infrastruktur yang berdampak pada insfrastruktur yang rusak menjadi sedikit tidak mendapatkan insentif melainkan mengurangi perolehan DAK pada bidang tertentu.

DBH juga tidak dapat dikatakan sebagai hadiah atau insentif, karena pemberian DBH bukan karena kinerja daerah dan tidak ada prestasi daerah yang dikaitkan dengan DBH. DBH Pajak sangat tergantung dari aparat perpajakan, regulasi perpajakan, wajib pungut pajak, dan wajib pajak. DBH Sumber Daya Alam (SDA) sangat tergantung dari kandungan SDA yang dapat diambil dari bumi dan intensitas ekplorasinya serta harga jual SDA. Kandungan SDA di suatu daerah adalah anugerah Allah swt (boleh dikatakan sebagai hadiah dari Allah bukan dari Pemerintah Pusat), sedangkan realisasi eksplorasi SDA bukan kinerja daerah melainkan lebih kepada pengelola SDA (pengusaha selaku explorer dan Pemerintah sebagai regulator).

Konsep Trilogi Dana Perimbangan

Kemampuan Keuangan suatu daerah pada awalnya dihitung dari capaian prestasi daerah di bidang fiskal yaitu PAD, dan anugerah Allah berupa DBH SDA, serta partisipasi penduduknya dalam pembayaran pajak berupa DBH Pajak. Dari ketiga komponen tersebut grafik kemampuan keuangan daerah terlihat perbedaan kemampuan yang mencolok dalam arti tidak merata atau tidak seimbang antara daerah yang satu dengan yang lain atau terlihat adanya kesenjangan keuangan (fiscal imbalance).

Dengan prinsip equalization instrument dan minimizing fiscal imbalance, DAU dimaksudkan sebagai alat untuk mengurangi kesenjangan fiskal tersebut. Oleh karena itu dalam perhitungan DAU dipertimbangkan kemampuan keuangan daerah dari sumber PAD dan DBH selain mempertimbangkan kebutuhan keuangan daerah berupa kebutuhan untuk melayani penduduk dan kebutuhan untuk mengelola wilayah, serta mempertimbangkan pula aspek keuangan lain berupa kebutuhan pendanaan untuk pelayan penduduk dan pengelola wilayah yaitu pegawai negeri sipil daerah (PNSD). Daerah dengan PAD dan DBH yang tinggi (apalagi telah mampu mendanai kebutuhan keuangan) umumnya DAUnya kecil bahkan dimungkinkan tidak mendapatkan DAU.

Meskipun telah ada DBH dan DAU dimungkinkan terdapat daerah yang masih belum mampu mendanai perbaikan atau pembangunan sarana prasarana dan infrastruktur dari bidang-bidang tertentu yang menjadi prioritas nasional. Dengan alasan tersebut maka diberikanlah dana alokasi khusus (DAK). Oleh karena itu perhitungan DAK per daerah harus mempertimbangkan besaran DBH dan DAU.

Keterkaitan yang sangat erat bahkan tak terpisahkan ini yang kemudian menimbulkan Konsep Trilogi Dana Perimbangan, susunan yang terdiri dari tiga komponen yang saling berhubungan dan tidak terpisahkan untuk mewujudkan thema tertentu. Thema yang dimaksud adalah perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan daerah serta antar Pemerintahan Daerah.

KPA Transfer Ke Daerah mengelola dana sepertiga Belanja APBN

Tahun 2011 merupakan tahun yang bagus bagi dana TkD yang meningkat cukup signifikan. Peningkatan Anggaran TkD ini merupakan implikasi dari peningkatan pendapatan dalam APBN. Meskipun semua belanja adalah fungsi dari pendapatan, namun sebagian besar komponen anggaran TkD sangat erat hubungannya bahkan terkait langsung dengan pendapatan. Dana Alokasi Umum (DAU) dengan alokasi sebesar Rp225,5 Triliun adalah setara dengan 26% Pendapatan Dalam Negeri Neto adalah 17% dari Belanja APBN. Dana Bagi Hasil (DBH) adalah setara dengan persentase tertentu dari Penerimaan Negara Pajak (PNP) dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang dibagi hasilkan adalah 6% dari Belanja APBN. Besaran Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua, provinsi Papua Barat, dan Provinsi Aceh adalah setara dengan 4% dari Pagu DAU atau 0,8% dari Belanja APBN.

DAK adalah komponen TkD yang tidak terkait langsung dengan Pendapatan dalam APBN, demikian juga tidak trkait dengan besaran DBH maupun DAU. Dalam APBN 2011 komponen ini mengalami peningkatan sekitar 20% dari tahun 2010 dengan penambahan 5 bidang baru atau 35% menjadi 19 bidang dengan alokasi mencapai 2% dari belanja APBN. Keempat komponen dana ke daerah tersebut (DBH, DAU, DAK, dan Dana Otsus) mencapai besaran 26,3% dari Belanja APBN. Apabila ditambahkan dengan Dana Penyesuaian akan mencapai sekitar 30%.

KPA Transfer Ke Daerah adalah KPA dengan besaran dana terbesar mencapai hampir sepertiga dari belanja dalam APBN 2011. Namun demikian KPA Transfer berbeda dengan KPA Belanja sebagaimana dilaksanakan oleh kementerian/lembaga (K/L) pada umumnya. KPA K/L bertugas membelanjakan dana, mempertanggungjawabkan, dan melaporkan penggunaan anggaran K/L , berbeda dengan tugas KPA Transfer adalah menyalurkan dana ke Rekening Kas Umum Daerah, sedangkan pembelanjaannya dilakukan oleh daerah. Itulah sebabnya Transfer ke Daerah disebut sebagai two steps spending. Step pertama adalah penyaluran oleh DJPK Kem Keuangan dengan kinerja penyaluran TkD secara optimal, dan step kedua adalah pembelanjaan oleh Daerah dengan ukuran kinerja seperti yang ditetapkan dalam APBD. Pertanggungjabannya dilakukan juga dua tahap, pertama oleh DJPK selaku KPA Transfer dan kedua oleh daerah sebagai KPA belanja yang dilaksanakan di semua daerah.

Transfer Ke daerah : Penyaluran Dana dengan Rasa Efisiensi dan Motivasi

Sejak Tahun 2008 penyaluran Transfer ke Daerah dilakukan secara sentralisasi, dalam arti untuk jumlah penerima transfer yang besar (524 daerah) hanya dilakukan oleh satu unit KPA dan satu bendahara umum negara (BUN) di Kementerian Keuangan. DJPK selaku KPA Transfer Ke Daerah menerbitkan SPM atas DIPA Bagian Anggaran 999.05 dan KPKN Jakarta II selaku BUN menerbitkan SP2D untuk mendistribusikan dana ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) melalui Rekening Kas Umum Negara (RKUN) yang ada di BI (Tahun 2008 dan 2009) dan BRI Cabang Krekot Jakarta (untuk 2010 dan selanjutnya).

Tujuan utama penyaluran Transfer ke Daerah adalah penyampaian dana secara tepat waktu, tepat jumlah dan tepat sasaran penerimanya. Untuk mewujudkan tujuan utama dengan pencapaian kinerja yang semakin baik maka ketentuan mengenai penyaluran selalu dievaluasi dan direvisi dari semula dengan PMK No 04/2008, diubah dengan PMK No 21/2009, dan terakhir diubah dengan PMK No 126/2010. Perubahan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dari pencapaian tujuan utama penyaluran trenasfer ke daerah dan memotivasi daerah dalam pencapaian kinerja tertentu.

Ulasan mengenai efisen yang dicapai dengan mekanisme penyaluran Transfer Ke Daerah telah dimuat dalam bulletin ini beberapa waktu yang lalu, sedangkan motivasi yang dimaksud meliputi; (1) mendorong daerah untuk segera menetapkan Perda APBD tepat waktu, tidak lebih dari akhir tahun anggaran, apabila daerah ingin DAK-nya segera disalurkan dan DAU-nya tidak dilakukan penundaan, serta kinerjanya dicatat sebagai salah satu komponen insentif daerah, (2) memudahkan daerah menyusun cashflow management, dengan ditetapkannya waktu penyaluran dan besaran dananya , (3) mendorong agar penyerapan dana yang lebih tinggi, apabila daerah ingin penyaluran tepat waktu, dengan penyampaiakn laporan penyerapan secara tepat waktu, (4) memotivasi KPA (yaitu DJPK-Kementerian Keuangan) sebagai pemilik indikator kinerja utama (IKU) untuk mengusahakan agar penyaluran transfer ke daerah mencapai porsi yang dijanjikan. (5) mendukung tujuan pemerintah untuk penyusunan laporan keuangan pemerintah pusat dengan opini yang lebih baik, dengan penyediaan dokumen sumber yang lengkap dan besaran yang tepat.

Dana Insentif Daerah (DID) Komponen Transfer sebagai Hadiah.

Dana Perimbangan bukan insentif atau hadiah bagi daerah, namun ada komponen Transfer ke Daerah yang dimaksudkan sebagai insentif atau hadiah bagi daerah karena pencapaian tertentu. DID ini adalah salah satu upaya Pemerintah untuk memotivasi daerah dari aspek yang lain, yaitu kinerja pengelolaan keuangan dan kinerja ekonomi dan kesejahteraan. DID adalah motivator sekaligus insentif.

Semua daerah diukur pencapaian 4 (empat) aspek kinerja pengelolaan keuangan daerah berupa (1) perolehan opini BPK terhadap laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD), (2) kinerja ketepatan waktu penetapan Perda APBD, (3) Kinerja peningkatan PAD, dan (5) kinerja peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM). Aspek kinerja lainnya adalah 4(empat) aspek kinerja ekonomi dan kesejahteraan diukur dari (a) kinerja peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah, (b) kinerja penurunan angka kemiskinan, (c) kinerja penurunan angka pengangguran, dan (d) kinerja penurunan tingkat inflasi lokal.

DID baru pertama kali diluncurkan dalam APBN 2010 sehingga tujuan dari DID belum terlihat dalam tahun 2010, namun gema dari peluncuran DID ini telah mendapatkan repon baik pro maupun kontra. Hasil dari upaya memotivasi daerah diharapkan akan terlihat di tahun 2011, antara lain dengan opini yang lebih baik atas LPKD tahun 2010 hasil audit BPK yang dilaksanakan dalam tahun 2011. Pihak yang pro sependapat bahwa daerah akan termotivasi untuk mendapatkan DID, sementara pihak yang kons menyayangkan adanya dana lain di luar Dana Perimbangan dan menjadikan undang undang APBN sebagai legalisasi untuk menghalalkan segala dana ke daerah.

Kesimpulan

Persepsi Daerah terhadap TkD pada umumnya berbeda dengan persepsi Pemerintah. Kebanyakan daerah tidak peduli bahwa ada daerah lain (mungkin tetangga yang berbatasan) lebih buruk kondisi keuangannya. Argumentasinya, daerah tersebut belum dapat melayani penduduk dan mengelola wilayah dengan baik mengapa diberikan dana perimbangan yang banyak. Sedangkan konsep yang dianut Pemerintah adalah justru daerah yang seperti itu yang harus segera ditingkatkan kemampuannya melalui dana perimbangan agar lebih cepat sejajar dengan daerah lain yang sudah lebih lama melayani penduduk dan mengelola wilayah. Dengan kata lain, belum banyak daerah yang memahami konsep perimbangan antar daerah. Oleh karena itu perlu cara / upaya lain untuk memahamkan semua pihak terhadap konsep TkD khususnya Dana Perimbangan.

Selasa, 10 Agustus 2010

Kebijakan Transfer Ke Daerah

Sajian mengenai Kebijakan Transfer Ke Daerah akan saya sampaikan dalam bentuk slide PowerPoint, yaitu versi Bahasa Indonesia dari paparan yang sama dalam versi teks Bahasa Inggris terbitan sebelum ini yang telah dipaparkan dihadapan Rombongan Delegasi Pemerintah Uganda yang dipimpin oleh Menteri Local Government pada tanggal 6 Juli 2010. Paparan ini pernah saya sampaikan kepada peserta Kursus Keuangan daerah/Latihan Keuangan daerah (KKD/LKD) dalam Kuliah Umum di Universitas Brawijaya Malang.

Kunjungan Pemerintah Uganda Ke Indonesia

Pada tanggal 6 Juli 2010 Pemerintah Uganda yang diwakili oleh Menteri Local Government berkunjung ke Indonesia. Salah satu instansi yang dikunjungi adalah Kementerian Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK). Bertempat di Ruang Sidang DJPK Lantai 16, tamu-tamu dari Uganda tersebut diterima oleh Sekretaris DJPK bersama para direktur dan beberapa Kasubdit. Acara utama menyambut tamu tersebut adalah memberikan informasi mengenai kebijakan dan pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia. Paparan disampaikan oleh Direktur Dana Perimbangan melalui powerpoint dengan teks berbahasa Inggris, selengkapnya sebagai Silde Share dibawah ini. Selanjutnya versi teks dalam Bahasa Indonesia dapat anda temui pada terbitan blog ini juga dengan Judul " Kebijakan Transfer Ke Daerah"
View more presentations from abeyraffley.

Kamis, 04 Maret 2010

Counter Balance dalam Cashfow Management DBH Migas



Persepsi Daerah

Tak kurang seorang Gubernur dari salah satu provinsi penghasil migas pada setiap saat membahas masalah Dana Perimbangan selalu mengomentari keterlambatan penyaluran DBH Minyak Bumi dan Gas Bumi (Migas). Masalah ini hampir dipastikan akan muncul dalam forum pertemuan Pemerintah (dalam hal ini diwakili Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Perimbangan keuangan /DJPK) dengan DPR-RI , dengan DPD, dan daerah pada umumnya yang membahas mengenai Transfer ke Daerah. Benarkah penyaluran DBH Migas selalu terlambat?.

Prinsip DBH

Prinsip DBH meliputi (1) harus ada PNBP-nya, (3) besarannya adalah persentase tertentu dari PNBP (migas 84,5% pusat, 15,5% daerah); (3) alokasinya dalam APBN berdasarkan perkiraan PNBP dalam satu tahun – dalam hal migas perkiraan tersebut sangat tergantung dari asumsi jumlah lifting, harga ICP, serta kurs Rp thd US$ dalam APBN; (4) penyalurannya kepada daerah berdasarkan realisasi PNBP dalam satu tahun – dalam hal DBH Migas, waktu satu tahun tersebut dimulai dari Desember suatu tahun sampai November tahun berikutnya (tetap 12 bulan).

Waktu Perhitungan realisasi PNBP/DBH Migas.

Penetapan segmen waktu tersebut semula dimaksudkan agar alokasi DBH SDA seluruhnya dapat tersalur ke daerah pada akhir tahun anggaran. Realisasi PNBP dihitung mulai dari Awal Desember sampai dengan Akhir November agar hasil perhitungan PNBP tersebut dapat disalurkan DBH-nya pada bulan Desember. Namun kenyataannya sampai dengan bulan Desember pihak penyedia data PNBP Migas belum siap menyediakan data , baru kemudian pada pertengahan Februari data realisasi PNBP satu tahun dapat disediakan yang berarti sudah melewati tahun anggaran. Hal ini menimbulkan masalah tersendiri dalam penyaluran DBH Migas sehingga perlu diambil kebijakan penyaluran DBH Migas pada setiap tahunnya.

Kebijakan Pengalihan Sisa Anggaran ke Rekening Cadangan

Pada bulan Desember data realisasi yang tersedia hanya sampai pada bulan Agustus, idealnya (yang menjadi harapan semula) sudah sampai pada bulan November. Dengan demikian pagu anggaran DBH Migas baru akan dibebani untuk membayar realisasi migas dari Desember sampai dengan Agustus atau 9 bulan, yang berarti masih tersia pagu anggaran 3 bulan. Sisa pagu ini akan hangus setelah akhir Desember apabila tidak direalisasikan. Oleh karena itu perlu diambil kebijakan untuk mengalihkan sisa anggaran tersebut ke Rekening Cadangan Menteri Keuangan (atau biasa disebut dengan Escrow Account) pada Bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan (dalam hal ini kewenangannya dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan selaku Pengelola Rekening Kas Negara).

Dengan kebijakan tersebut, status sisa anggaran yang ditampung di rekening cadangan sudah sebagai belanja dari rekening Kas Negara . Penyalurannya ke rekening kas daerah dilaksanakan setelah data realisasi PNBP Migas (per KKKS) diterima unit penyalur (DJPK) dan dihitung DBH-nya (per daerah). Dengan demikian realisasi PNBP Migas yang dibagikan ke daerah tetap meliputi waktu 12 bulan (misalnya Desember 2008s/d Agustus 2009 yang disalurkan pada Desember 2009, dan September s/d November 2009 yang disalurkan pada Pertengahan Februari 2010).Kebijakan ini akan dilakukan setiap tahun sepanjang unit penyedia data realisasi belum bisa menyediakan data selama 12 bulan pada akhir November, yang berarti terjadi selisih waktu antara realisasi dan penyaluran selama satu triwulan.

Persepsi Keterlambatan Vs Counter Balance

Dari aspek pergeseran waktu penyaluran yang seharusnya selesai pada Bulan Desember menjadi bulan Februari memang jelas menunjukkan keterlambatan. Namun dari aspek jumlah bulan realisasi tetap meliputi waktu 12 bulan, yang bearti hak daerah atas DBH satu tahun tidak berkurang. Pengalihan penyaluran dari Desember menjadi Februari namun tetap berdasarkan data realisasi tahun yang bersangkutan biasa disebut dengan kebijakan Counter Balance. Sisa anggaran tersebut tetap membebani anggaran tahun lalu namun daerah mencatatn pendapatan sebagai penerimaan tahun betrikutnya (lihat skema Counter Balance)

Pola Baru penyaluran DBH SDA

Sejak tahun 2008 Pemerintah melaksanakan penyaluran dana Transfer ke erah dengan pendekatan baru yang mengedepankan semangat untuk menjamin kepastian, kecepatan, akurasi, dan akuntabilitas. Semangat ini diwujudkan dengan penyaluran DBH Migas Triwulan I dan Triwulan II masing-masing 20% dari alokasi per daerah, disalurkan dalam bulan Maret dan bulan Juni . Maksud dari pola ini adalah agar daerah mendapatkan kepastian waktu dan ketepatan jumlah, tanpa menunggu perhitungan realisasi PNBP Migas. Selanjutnya Triwulan III disalurkan pada bulan September berdasarkan hasil rekonsiliasi PNBP yang disetor ke kas negara mulai Bulan Desember sampai dengan bulan Mei, yang datanya sudah dapat disediakan dalam bulan Agustus. Besarnya penyaluran Triwulan III adalah jumlah DBH suatu daerah berdasarkan hasil rekonsiliasi dikurangi penyaluran Triwulan I dan Triwulan II. Sedangkan Triwulan IV disalurkan dalam bulan Desember berdasarkan realisasi PBNP sampai dengan bulan Agustus.

Selanjunya realisasi sampai dengan Bulan November akan disalurkan ke daerah sebagai Triwulan V pada bulan Februari. Pemakaian terminologi Triwulan V dimaksudkan hanya untuk memudahkan adanya urutan yang baku bahwa penyaluran DBH Migas yang berasal dari realisasai PNBP Migas disalurkan sebanyak 5 kali. Alasan lain adalah agar terdapat perbedaan yang jelas antara Penyaluran Triwulan V pada bulan Februari dengan penyaluran Triwulan I pada bulan Maret.

Persesi “tidak ada keterlambatan penyaluran”.

Pola penyaluran Triwulan I s/d Triwulan IV ditambah Triwulan V telah dilaksanakan secara rutin dan terpola. Pola yang direalisasikan secara urut sebenarnya adalah sebagai berikut:

Triwulan I : (1) Tidak memperhitungkan realisasi, (2) besarannya 20% dari perkiraan alokasi (3) Waktu penyaluran Maret
Triwulan II : (1) Tidak memperhitungkan realisasi, (2) besarannya 20% dari perkiraan alokasi (3) waktu penyaluran Juni
Triwulan III : (1) Memperhitungkan realisasi Des s/d Mei, (2) besarannya Realisasi minus Tw I & Tw II, (3) waktu penyaluran September
Triwulan IV : (1) Memperhitungkan realisasi Des s/d Agus, (2) besarannya Realisasi minus Tw I s/d Tw III, (3) waktu penyaluran Desember
Triwulan V :(1) Memperhitungkan realisasi Des s/d Nov, (2) besarannya Realisasi minus Tw I s/d Tw IV, (3) waktu penyaluran Februari

(Sumber : Direktorat Dana Perimbangan, DJPK, Kementerian Keuangan, Jakarta, 2010).

Dengan pola yang rutin dan tetap tersebut maka kebijakan counter balance dalam management penyaluran DBH Migas dapat dipersepsikan tidak ada keterlambatan penyaluran DBH Migas, dengan penjelasan : (1) hak yang dibagikan meliputi waktu 12 bulan; (2) besaran dana yang disalurkan sesuai realisasi; (3) pelaksanaan penyaluran dengan pola yang konsisiten. Pola ini dapat diacu oleh daerah dalam membukukan penerimaan yang bersumber dari DBH Migas, yaitu penerimaan yang masuk ke Kas Daerah dalam satu tahun, dibelanjakan pada tahun saya sama (dalam satu tahun anggaran Januari s/d Desember terdapat 5 kali penerimaan DBH Migas yang masuk ke Kas Daerah pada Februari, Maret, Juni, September dan Desember). Dari pola ini dapat dipersepsikan bahwa tidak ada keterlambatan dalam penyaluran DBH Migas.

Alternatif

Sisten Escrow Account dan Counter Balance dapat ditiadakan dengan perubahan periode perhitungan realisasi PNBP Migas mulai Oktober s/d September, sehingga realisasi s/d September dapat disalurkan pada Awal Desember. Pola ini dapat mengurangi silpa daerah yang berasal dari DBH Migas. Alternatif pola ini perlu dikaji mendalam terkait kebiasaan dan sistem yang berlaku pada unit penyedia data migas.

Jumat, 19 Februari 2010

Problematika Pemekaran Daerah : Teori Telur Dadar

Tahun 2010 adalah tahun bersejarah bagi 26 daerah pemekaran baru karena telah memperoleh dana perimbangan yang dihitung secara mandiri. Umumnya daerah pemekaran pada tahun kedua mendapatkan dana perimbangan yang meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Ini tentu kebahagiaan bagi daerah pemekaran baru. Namun tidak demikian pada daerah induknya dan daerah lain yang telah lebih dahulu ada. Pada tahun pertama daerah induk merasa sangat sakit karena harus berbagi dana perimbangan dengan daerah pemekarannya, pada tahun kedua baru daerah lainnya medrasa sakit karena kesempatan untuk mendapatkan kenaikan dana perimbangan khususnya Dana Alokasi Umum (DAU) menjadi tidak optimal.

Ide untuk menggunakan telur dadar sebagai teori pembagian DAU bagi daerah induk dan daerah pemekarannya tentunya sangat relevan. Satu telur dadar yang dibagi 4 orang akan terlihat masing-masing orang mendapatkan 1/4 bagian. Pada saat satu orang mempunyai anak maka ia harus berbagi l/4 bagian tersebut menjadi 1/8 bagian setiap orang. Dengan demikian telur dadar tersebut akan dibagi lima : 1/4, 1/4, 1/4, 1/8 dan 1/8 bagian. Pembagian ini tidak mempengaruhi daerah lain yang tidak mekar. Pada tahun kedua, induk dan anak hasil pemekaran tadi masing-masing mempunyai hak yang sama dengan daerah lain yang tidak mekar, yaitu sebagai daerah otonom berdasarkan undang-undang pembentukannya. Hal ini akan berpengaruh pada pembagian satu telur dadar tersebut, yaitu masing-masing menjadi 1/5 bagian. Dari sini terlihat, daerah lama bukan yang mekar akan mengalami penurunan porsi penerimaan dari 1/4 menjadi 1/5, sedangkan daerah yang mekar mengalami peningkatan dari 1/8 menjadi 1/5 .

Permasalahan yang timbul sekarang ini adalah bahwa pada tahun pertama pemekaran suatu daerah, daerah induk sepertinya terpukul dua kali, pertama, DAU-nya turun cukup signifikan, dan kedua, harus memberikan sumbangan (menyusui) daerah baru sebesar yang ditetapkan dalam undang-undang pembentukannya (umumnya Rp 5 miliar setahun) sampai waktu tertentu (umumnya 3 tahun). Itulah sebabnya banyak undang-undang daerah pemekaran yang tidak dipatuhi khususnya oleh daerah induk. Lain halnya apabila daerah baru hasil pemekaran tersebut adalah kota. Permasalahannyatidak sekedar dana perimbangan yang turun, melainkan juga (bagi daerah induk) masalah pemindahan ibu kota, dan (bagi kota hasil pemekaran) adalah masalah jumlah PNSD/Gaji PNSD. Permasalah kota terkait dengan jumlah pegawai yang cukup banyak karena pada umumnya PNSD tidak bersedia pindah ke kabupaten induk, sementara itu kabupaten induk akan menganggat PNSD baru, yang akan berdampak secara nasional.

Bagaimana masa depan pendanaan daerah pemekaran perlu pengkajian secara khusus. 26 daerah pemekaran yang untuk pertaman kalinya mendapatkan dana perimbangan dengan perhitungan secara mandiri memiliki sejarah dan latar belakang pembentukan yang berbeda-beda. Apakah peraturan mengenai penggabungan daerah/moratorium, dan penghapusan daerah bisa operasional?. Apakah Pemerintah Pusat pernah berhasil penahan suatu daerah utnuk mekar?. Apakah inisiatif pemekaran harus datang atau mendapatkan restu Pemerintah Pusat?. Inilah sebagain dari seabreg masalah yang harus dijawab.

Kamis, 18 Februari 2010

RKA-K/L dan RKA-BUN

UU No 17 Th 2003 tentang Keuangan Negara rupanya belum menyeluruh mengatur mengenai keuangan negara khususnya yang berhubungan dengan anggaran dalam rangka desentralisasi fiskal. Hal ini terlihat dari belum lengkapnya aturan mengenai pengaturan dana dari APBN yang ditransfer ke APBD dalam rangka otonomi daerah dan desentralisasi fiakal. Adanya pengaturan yang mengamanatkan untuk mengatur lebih lanjut Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L) dalam suatu peraturan pemerintah (PP) diterjemahkan oleh Pemerintah sebatas mengenai pengeluaran/belanja K/L yaitu PP No 21 Th 2004 tentang RKA-K/L. PP tersebut belum mengenai pengeluaran oleh Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara (BUN) yang posisinya dapat disejajarkan dengan K/L, bahkan dari aspek kewenangan mendapatkan mandat dari Presiden sebagai pengelola fiskal dan sebagai wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan.

Untuk lingkup yang lebih luas bahkan baru disadari perlunya perubahan nomenklatur dalam Struktur APBN, yaitu dengan mulainya digunakan terminologi Transfer Ke daerah sebagai pengganti Belanja Ke daerah. Perubahan ini berawal dari pemahaman bahwa "belanja"berbeda dengan "transfer", dimana belanja hampir selalu dikaitkan dengan pencapaian output, sedangkan transfer belum mengharapkan adanya output, karena hasil akhirnya hanyalah berpindahnya dana dari Kas Negara ke Kas Kas Daerah. Termonologi belanja kemudian menemukan kesulitan dalam mendefinisikan output belanja untuk keperluan subsidi yang wujudnya non-fisik.

Keterbatasan PP 21 th 2004 dalam mengatur perencanaan anggaran, menjadi lebih jelas pada saat Pemerintah harus mengelola anggaran Non-K/L yang antara lain terdiri dari pengelolaan utang, pinjaman, hibah, dan transfer ke daerah, serta anggaran Non-K/L lainnya. Hal ini terlihat dari adanya kesulitan dalam penggunaan format-format RKA-K/L untuk keperluan anggaran non-K/L dimaksud. Demikian juga pada saat anggaran Non-K/L tersebut harus dituangkan dalam dokumen pelaksanaan anggaran, yaitu DIPA. Kilamaks dari kesulitan ini adalah setelah selama enam tahun dilaksanakan muncul semangat yang mendorong perlunya revisi PP No 21 Th 2004 agar secara komprehensif mengatur semua jenis anggaran dalam APBN.

Pada prinsipnya terdapat dua jenis RKA, yaitu RKA-K/L dan RKA-Non K/L. RKA-K/L untuk menampung rencana kegiatan dan anggaran K/L/ sebagai pengguna anggaran yang memiliki kode bagian anggaran tertentu, sedangkan RKA-Non K/L memiliki dua peran, pertama, untuk menampung rencana kegiatan dan anggaran yang dilaksanakan oleh K/L tertentu untuk kegiatan tertentu yang sifatnya tidak rutin dan tidak/belum dapat ditampung dalam RKA-K/L-nya, dan kedua, untuk menampung rencana kerja dan anggaran Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal atau Bendahara Umum Negara. Terhadap pengelolaan dana ini Menteri Keuangan tidak menggunakan bagian anggaran 15, melainkan bagian anggaran beberapa kode bagian anggaran (sebelum th2009) dan kode bagian anggaran 999 (sejak 2010).

Ternyata kegiatan Menteri keuangan selaku pengelola fiskal atau BUN cukup banyak sehingga tidak cukup hanya satu kode bagian anggaran. Untuk mengatasi permasalahan perlu ditetapkan beberapa kode bagian anggaran, yaitu dengan cara memecah kode tersebut menjadi 999.01, 999.02, dan seterusnya sesuai dengan kebutuhan, dimana setiap kode bagian anggaran dikelola oleh unit eslon I tertentu. Sebagai contoh kode bagian anggaran Transfer ke Daerah yang dikelola oleh DJPK semula menggunakan kode 70 untuk dana perimbangan, dan kode 71 untuk dana otonomi khusus dan penyesuaian, diubah menjadi kode 999.05 untuk dana Transfer ke Daerah secara keseluruhan, yang akan meliputi Dana Perimbangan, Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian, serta Hibah Ke Daerah.

Selanjutnya, karena RKA-K/L pada umumnya enggarannya berasal dari anggaran yang dikuasai Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal atau selaku BUN, maka akan lebih dapat dipahami apabila nomenklatur RKA-Non-K/L disebut dengan RKA-BUN. Hal ini terkait dengan proses selanjutnya dalam pengelolaan kleuangan, yaitu penyusunan laporan realisasi anggaran (LRA) dan laporan keuangan kemenetreian/lembaga (LKKL) dalam rangka laporan keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).

Secara ringkas dapat dikemukakan sbb:
1. RKA terdiri dari 2, yaitu (a) RKA-K/L dan (2) RKA-BUN;
2. RKA-K/L untuk K/L dengan kode bagian anggaran tertentu;
3. RKA-BUN dapat terdiri dari (a) RKA-BUN untuk K/L, (b) RKA-BUN untuk Subsidi;
(c) RKA-BUN untuk Pinjaman, (d) RKA-BUN untuk Utang, (e) RKA-BUN untuk Hibah,
dan (f) RKA-BUN untuk Transfer ke daerah, yang dimungkinkan menampung anggaran lain
yang memiliki karakteristik yang setara.

Permalahan yang akan muncul antara lain sebagai akibat dari kegiatan BUN yang sangat heterogen maka kemungkinan agak sulit untuk dalam waktu dekat menemukan suatu aplikasi yang mampu merancang format dan aplikasi yang dapat digunakan oleh semua RKA tersebut, serta dokumen-dokumen turunan selanjutnya. Alternatif solusinya adalah untuk RKA-KL yang menyangkut semua K/L dapat dirancang aplikasi yang seragam, sedangkan untuk RKA-BUN, khusus RKA-BUN untuk K/L bisa menggunakan format dan aplikasi RKA-KL, sedangkan untuk RKA-BUN yang lain perlu diminta kepada unit-unit terkait untuk mengusulkan format sesuai kebutuhan dan kemudian sedapat mungkin dirangkum dalam suatu aplikasi yang diusahakan tidak jauh berbeda dengan RKA-K/L.