Rabu, 16 September 2009
Kamis, 16 Juli 2009
Formula DAU - Perkembangan Bobot
Lihat Tabel Perkembangan klik di sini
DAU sebagai equalization grant selalu diupayakan dari tahun ke tahun agar dapat menunjukkan indikasi pemerataan yang paling baik. Instrumen yang dipakai adalah Williamson Index (WI) dengan angka yang semakin mendekati nol yang dianggap semakin baik atau semakin merata. Dalam Tabel terlampir dapat dilihat WI dari tahun 2006 s/d 2009 yang diperoleh dari penerapan Formula dengan bobot-bobot tertentu untuk setiap komponen formula. Pembobotan pada komponen Alokasi Dasar, Kebutuhan Fiskal, dan Kapasitas Fiskal adalah upaya untuk mendapatkan pemerataan yang paling baik yang ditunjukkan dari WI yang dicapai.
Idealnya dari tahun ke tahun WI semakin kecil, namun kondisi ini sulit dicapai karena banyaknya variabel yang berubah dari formula DAU, bahkan semua komponen tidak ada yang konstan. Jumlah daerah penerima DAU bertambah sejalan dengan ditetapkannya penambahan daerah pemekaran atau daerah otonom baru (DOB), besaran DAU Nasional berubah, Besaran belanja gaji PNSD meningkat, semua item kebutuhan fiskal berubah, demikian juga item dari kapasitas fiskal, termasuk juga perubahan pada total belanja daerah. Oleh karena itu WI suatu tahun tidak dikaitkan dengan WI tahun sebelumnya, melainkan yang lebih penting adalah WI terbaik pada tahun yang bersangkutan, meskipun juga belum tentu ditunjukkan dengan angka indeks yang paling rendah.
Pembahasan alokasi DAU nasional maupun per daerah tidak sekedar dengan financial approach, melainkan juga political approach. Penetapan formula DAU yang digunakan untuk membagi besaran DAU Nasional selama ini selain WI-nya relatif rendah, juga pertimbangan lainnya seperti (1) daerah yang mengalami penurunan DAU dibanding tahun lalu relatif sedikit, (2) peningkatan dan penurunan DAU suatu daerah tidak signifikan dibanding DAU tahun sebelumnya.
Kamis, 26 Februari 2009
Transparansi perhitungan DBH Migas
(1) Dana Bagi Hasil Migas – grant atau revenue sharing.
PERTANYAAN:
Eksistensi filosofi dari apa yang disebut dengan bagi hasil pusat dan daerah khusus untuk migas, apakah itu grand atau real share? Kita ingin tahu menurut Bapak filosofinya itu seperti apa?
JAWABAN:
Secara normative terdapat dua pengertian dana bagi hasil (DBH) yang satu sama lain saling melengkapi. DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu. Definisi yang pertama setelah rangkaian kalimat tersebut masih ditambahkan dengan frase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, sedangkan definisi yang kedua ditambahkan dengan frase dengan memperhatikan potensi daerah penghasil
Pertanyaan khusus untuk migas apakah itu grant atau real share, kiranya perlu diluruskan, bahwa DBH secara harafiah sudah jelas adalah dana bagi hasil, baik untuk migas maupun sumber daya alam (SDA) lainnya sama – dana bagi hasil. Pengertian dana bagi hasil dicerminkan dari frase “yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu”. Prinsipnya adalah memperhatikan daerah penghasil atau by origin , bahwa daerah yang menghasilkan SDA (atau daerah penghasil) mendapatkan porsi yang lebih besar dari pada daerah yang bukan penghasil dan pembagiannya berdasarkan realisasi penerimaan dari sektor SDA yang disetorkan oleh kontraktor.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, DBH adalah salah satu instrument dana perimbangan dalam rangka perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah agar bersama-sama dengan dana perimbangan yang lain dapat digunakan oleh daerah untuk mendanai sebagian kewenangan yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah (money follows fuction).
DBH dimaksudkan untuk mengurangi baik vertical imbalance (kesenjangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah) mapun horizontal imbalance (kesnjangan antar daerah). Vertical imbalance diwujudkan dengan pembagian dengan porsi yang wajar antara pemerintah pusat dengan daerah penghasil, sedangkan horizontal imbalance diwujudkan dengan pembagian secara merata bagi daerah bukan penghasil yang berada di dalam wilayah provinsi yang sama dengan daerah penghasil.
Pembagian dengan porsi pemerintah yang lebih besar dari porsi daerah dapat dipahami karena pemerintah harus mendanai kewajiban dan kewenangan yang lebih besar yang tidak dapat dilimpahkan kepada daerah antara lain di sektor pertahanan, sektor keamanan, sektor keuangan dan moneter (antara lain membayar utang dalam maupun luar negeri), sektor hukum dan peradilan, dan sektor agama.
(2) Transparansi perhitungan DBH Migas vs perhitujngan DAU dan DAK
PERTANYAAN:
Terkait dengan transparansi, apakah yang tidak transparan hanya khusus bagi hasil migas saja, mengingat hitung-hitungannya yang rumit, bagaimana dengan perhitungan dana perimbagan yang lain seperti DAU dan DAK?
JAWABAN:
Adanya pendapat bahwa terjadi perhitungan yang tidak transparan dalam DBH Migas tidak relevan jika dikaitkan dengan perhitungan yang rumit, apalagi dalam zaman dengan teknologi informasi yang tinggi hampir tidak ada yang rumit. Transparansi lebih relevan dihubungkan dengan keterbukaan dalam perhitungan, yang ditandai dengan (a) penetapan porsi yang wajar untuk masing-masing pihak yang telah disepakati dalam peraturan perundang-undangan, (b) kewajiban untuk melaksanakan rekonsiliasi untuk menghitung penerimaan dari setoran SDA antara pemerintah pusat dengan daerah sebelum maupun sesudah melakukan pembagian dana, (c) data setoran disediakan oleh institusi yang berwenang, yaitu pihak yang menerima dan menatausahakan setoran (yang mewakili fungsi kas Negara), pihak yang akan menerima pembagian (pemerintah pusat dan daerah), dan data dari pihak yang melaksanakan setoran. Hasil perhitungan DBH SDA adalah obyek audit oleh BPK dan Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan
Perhitungan DAU didasarkan pada data yang disediakan oleh lembaga pemerintah yang berwenang melaksanakan fungsi statistik. Departemen Keuangan melakukan perhitungan DAU berdasarkan data masing-masing daerah yang disediakan oleh BPS, Departemen Dalam Negeri bersama Bakosurtanal, dan Departemen Keuangan sendiri, bahkan data dari daerah sendiri yang sudah diaudit oleh BPK. Pemerintah melakukan perhitungan berdasarkan fornula DAU yang telah ditetapkan dengan undang-undang dan peraturan pemerintah, serta kebijakan tahunan yang disepakati antara pemerintah dengan DPR dalam rangka pembahasan RUU APBN. Seperti yang terjadi dalam perhitungan DBH SDA Hasil perhitungan DAU adalah obyek audit oleh BPK dan Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan.
Sebagai analogi dengan perhitungan yang dilakukan dalam DBH SDA dan DAU, dalam perhitungan DAK-pun pemerintah melaksanakan dengan mekanisme yang jelas dan terbuka berdasarkan data yang disediakan oleh lembaga yang berwenang menyediakan data statistik, serta data teknis yang disediakan oleh kementerian/ lembaga yang terkait dengan pengelolaan DAK.
(3) Rekonsiliasi PNBP/DBH Migas sebagai alat transparansi
PERTANYAAN :
Bagaimana Bapak mensiasati agar transparansi dalam bagi hasil ini dapat dikontrol, karena peran Bapak ada di ujung dari rangkaian perhitungan bagi hasil, apakah menurut Bapak rapat rekonsiliasi dirasa sudah cukup ?
JAWABAN :
Dari uraian sebelumnya sudah cukup jelas bahwa kedudukan Departemen Keuangan yang diwakili oleh DJPK adalah sebagai Unit Pengguna Data yang disediakan oleh lembaga pemerintah yang berwenang. Mekanisme rekonsiliasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor SDA adalah salah satu mekanisme pengendalian transparansi. Selama ini pembahasan yang dihadiri hampir semua stakeholders setiap triwulan barangkali dinilai inefficient, time consuming, maupun energy consuming, oleh karena itu mulai tahun 2008 DPR bersama pemerintah telah menyepakati bahwa penyaluran DBH SDA dapat dilakukan dengan pentahapan Triwulan I 20%, Triwulan II 20% dari alokasi DBH SDA masing-masing daerah yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK), keduanya tanpa didahului dengan rekonsiliasi PNBP SDA, baru Triwulan III dan Triwulan IV masing-masing melalui mekanisme rekonsiliasi sebelum dilakukan penyaluran, dengan memperhitungkan penyaluran yang sudah dilakukan pada triwulan sebelumnya.
Langkah penyederhanaan ini disamping akan memberikan kepastian pemasukan dana ke rekening Kas Daerah juga akan memberikan kesempatan bagi penyedia data untuk menyiapkan data dengan waktu yang lebih longgar, sehingga kualitas rapat rekonsiliasi akan menjadi meningkat. Rapat rekonsiliasi ini akan lebih meningkat kalitasnya dan cukup dapat dipakai untuk perhitungan DBH SDA sepanjang semua stakeholders yang berkompeten menyediakan data dapat secara jernih dan terbuka saling mengkoreksi dan melengkapi data, sehingga DJPK sebagai pengguna data untuk melakukan pembagian dapat mempertanggungjawabkan tugasnya yang merupakan ujung dari mekanisme rekonsiliasi.
Perlu kiranya dikemukakan kembali bahwa penyaluran DBH SDA bukan merupakan tahap akhir dari rekonsiliasi karena proses rekonsiliasi juga akan diaudit oleh Inpektorat Jenderal Departemen Keuangan, dan pada kesempatan yang berbeda juga oleh BPK. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa rekonsiliasi adalah salah satu cara untuk mewujudkan transparansi.
Transparansi juga diwujudkan dengan mengakomodasikan setiap dokumen setoran tahun lalu yang baru dapat diidentifikasi peruntukannya atau daerah penghasilnya dalam tahun berjalan, sehingga hak daerah yang belum dipenuhi pada tahun lalu tetap dapat dibayarkan dalam tahun berjalan. Demikian juga apabila terbukti adanya kekurangan salur atau kesalahan salur selalu dapat dikoreksi pada tahun berikutnya, bahkan kalaupun belum tersedia anggarannya dalam APBN tahun berjalan, maka diupayakan untuk mendapatkan persetujuan DPR pada pembahasan APBN-Perubahan.
(4) Perhitungan PNBP Migas dan DBH Migas oleh 2 Unit yang berbeda, semakin baik kah?
PERTANYAAN :
Sebagaimana diketahui sejak tahun 2007, penyaluran DBH SDA Migas dilaksanakan oleh Ditjen Perimbangan Keuangan, sementara perhitungan DBH SDA Migas tersebut sampai memperoleh hasil PNBP masih tetap dilaksanakan oleh Dit. PNBP Ditjen Anggaran. Menurut Bapak apakah cara ini lebih baik atau malah kemunduran. Mohon pendapat Bapak.
JAWABAN :
Tahun 2007 adalah masa transisi pelaksanaan tugas DJPK yang merupakan unit yang terpisah dari Direktorat Jenderal Anggaran (DJA). Ide dari pemisahan ini antara lain adalah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan transparansi. DJA yang diwakili oleh Direktorat PNBP berwenang atas kebijakan PNBP dan penyediaan data perkiraan PNBP termasuk PNBP SDA, Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB) berwenang terhadap penerimaan setoran PNBP dan penyediaan data realisasi PNBP, sedangkan DJPK yang diwakili oleh Direktorat Dana Perimbangan diberi kewenangan untuk membagi dana kepada daerah sesuai ketentuan.
Sebagai unit yang mengemban tugas baru, proses pembelajaran tentu harus dilalui. Kekurangan yang terlihat sejak proses rekonsiliasi Triwulan I sampai dengan penyaluran DBH SDA Triwulan IV adalah dalam rangka proses pembelajaran tersebut. Namun saya melihat perkembangan yang semakin membaik dalam pelayanan penyaluran DBH-SDA. Target yang kelihatan sederhana namun cukup sulit dilaksanakan adalah melakukan penyaluran sebanyak 4 kali (4 triwulan) dalam tahun 2007, dan ini sudah dilaksanakan dengan cukup baik, apabila dibandingkan dengan sebelumnya. Dibandingkan dengan masalah menyiapkan SDM di DJPK dalam memahami DBH SDA, masalah koordinasi antar stakeholder jauh lebih sulit. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila salah satu butir kebijakan dalam DBH SDA yang dimuat dalam Laporan Panitia Kerja Belanja Ke Daerah dalam rangka Pembahasan RUU-APBN 2008 adalah meningkatkan koordinasi antar unit yang terkait.
Secara bertahap pola kerja tersebut tentu akan dilaksanakan dengan lebih baik. Hal yang sama terjadi juga dalam penerimaan perpajakan. Selama ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melaksanakan kebijakan perpajakan dan penyediakan data perkiraan pajak, DJPB melakukan penerimaan setoran / realisasi pajak melalui Kas Negara, sedangkan DJPK akan melakukan pembagian pajak kepada daerah. Dengan mekanisme check and balance seperti ini akan menjadi lebih baik dengan dukungan standar operasi dan prosedur (SOP) yang telah disusun dan dilaksanakan dengan baik.
(5) Daerah tidak ikut menanggung subsidi BBM? Benarkah?
PERTANYAAN :
Komentar Bapak tentang pendapat atau paradigma dari sebagian orang yang mengatakan bahwa daerah tidak ikut menanggung subsidi BBM, bagaimana?
JAWABAN :
Menurut pendapat saya semua rakyat Indonesia yang membayar pajak turut menanggung Subsidi BBM, karena pendapatan negara sebagian besar masih didukung dari penerimaan sektor perpajakan. Sebagian dari penerimaan tersebut untuk membiayai subsidi BBM. Oleh karena itu daerah yang turut dengan aktif mengintensifkan penerimaan perpajakan akan memberikan sumbangan terhadap subsidi BBM, terlebih lagi daerah yang juga penghasil SDA memberikan andil yang besar dalam pendapatan negara.
Dalam APBN 2007 terlihat bahwa Penerimaan Perpajakan masih mendominasi Penerimaan Dalam Negeri dengan 71,3% atau sebesar 65,4% dari seluruh Belanja Negara. Dalam APBN 2007 tercatat bahwa keseluruhan subsidi (diantaranya adalah Subsidi BBM) mengambil porsi 14% dari Belanja Negara. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa semua rakyat yang membayar pajak dan daerah yang mendorong peningkatan penerimaan perpajakan turut menanggung subsidi BBM, yang merupakan bagian dari Belanja Negara.
(6) Penggunaan dana Cost Recovery
PERTANYAAN:
Pendapat Bapak tentang penggunaan dana cost recovery.
JAWABAN:
Yang dapat saya sampaikan adalah bahwa DJPK tidak menerima laporan tentang penggunaan dana cost recovery perusahaan migas dan tidak berwenang melakukan evaluasi. Kiranya kita semua maklum bahwa permasalahan cost recovery ini bukan semata-mata persoalan Departemen Keuangan, melainkan masalah semua kementerian/lembaga yang terkait dengan pengelolaan minyak dan gas bumi – masalah pemerintah bahkan juga menjadi permasalah lembaga legislatif. Oleh karena itu penyelesaiannya tidak cukup hanya oleh Departemen Keuangan, melainkan seluruh kementerian/lembaga yang terkait.
(7) Tentang Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM)
PERTANYAAN:
Apa pendapat Bapak tentang keberadaan FKDPM?
JAWABAN:
Saya sangat percaya bahwa FKDPM dibentuk dengan niat dan tujuan yang baik untuk kemaslahatan daerah, khususnya daerah penghasil migas. Niat dan tujuan yang mulia dari FKDPM bisa terwujud jika FKDPM secara proporsional dapat memandang permasalahan bukan saja dari persepsi daerah penghasil namun juga dari persepsi pemerintah pusat memandang permasalahan DBH SDA Migas, sehingga keberadaan FKDPM dapat menjembatani antara kebutuhan dan hak daerah dengan kewajiban pemerintah pusat kepada daerah.
Pemahaman yang lebih mendalam terhadap pengetahuan dan peraturan perundangan terkait dengan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal akan membuat FKDPM sebagai suatu lembaga konsultasi yang bukan hanya akan mendapatkan kepercayaan dari daerah penghasil, melainkan juga akan mendapatkan perhatian dari pemerintah jika mampu menyampaikan informasi dan aspirasi daerah penghasil secara proporsional dan wise.
Senin, 23 Februari 2009
Realisasi DBH SDA yang merosot dan pengaruhnya terhadap APBD
Kita ambil satu komponen DBH yang dalam beberapa tahun terakhir selalu lebih rendah dari perkiraannya, yaitu DBH Perikanan. Berbeda dengan sifat DBH lainnya, DBH ini cukup unik, (1) tidak kenal daerah penghasil yang spesifik, dan (2) dibagi rata kepada semua daerah kabupaten/kota. Karena sifatnya inilah barangkali departemen teknis merasa tidak memiliki "greget" untuk meningkatkan PNBP, antara lain hampir karena tidak ada daerah yang "mengejar" data PNBP/DBH karena daerah tidak ikut memiliki. Hal ini berbeda dengan DBH yang lain dimana status daerah penghasil menjadikan suatu daerah sangat ingin tahu hasil yang akan dibagi.
Data tahun 2006 sd 2009 menunjukkan bahwa target PNBP Perikanan merosot gradually dari Rp250 M (100%) ke Rp200 M (80%) menjadi Rp 150 M (60%), yang lebih menyedihkan lagi pencapaian realisasi PNBP-nya merosot tajam dari Rp200 (100%) hanya tercapai Rp197 M (78,8%), tahun berikutnya menurun hanya mencapai Rp116 M (46,3%), selanjutnya turun lagi menjadi Rp78 M (39,2%). DBH Perikanan adalah porsi 80% dari realisasi PNBP-nya. Pada tahun 2008 dari pagu DBH sebesar Rp160 M hanya tercapai Rp 63 M, padahal menurut ketentuan DBH triwulan I dan II harus disalurkan 40% atau Rp 64 M sebelum terlihat berapa realisasi PNBP-nya. Akibatnya terjadi kelebihan salur sebesar sekitar Rp1,3 M atau sekitar Rp5 juta per daerah. Boro-boro impas atara pagu DBH dengan realisasinya malah utang !. Apakah kondisi seperti ini akan dibiarkan terus?. B agaimana tanggungjawab departemen tehnis terkait ?.
Kondisi ini terjadi juga pada realisasi DBH SDA Pertambangan Umum, secara keseluruhan DBH Pertambangan Umum kelihatan tidak terlalu banyak mengalami penurunan, namun rincian DBH per daerah terlihat perencanaan yang kurang baik. DBH di beberapa daerah menunjukkan lebih salur karena perkiraan per daerah yang terlalu optimis. Pola penyaluran transfer triwulan I dan triwulan II masing-masing 20% tanpa melihat realisasi juga turut andil dalam menciptakan lebih salur atau utang daerah. Tujuan yang semula dimaksudkan untuk memihal kepada daerah dalam arti memberikan kepastian waktu dan besaran masuknya pendapatan ternyata belum menunjukkan hasil yang diharapkan.
Dilain pihak peran daerah agar dapat membantu dalam perencanaan dan pencapaian target PNBP belum ditanggapi semua daerah dengan cukup wajar. Kepercayaan daerah bahwa mereka mempunyai peran rupanya belum tumbuh. Peran daerah sebaiknya diawali dengan hubungan yang baik antara pemerintah daerah dengan pada kontraktor pertambangan umum. HUbungan ini akan membantu pemerintah daerah mendapatkan akses untuk data rencana produksi, mendapatkan copy dokumen setoran landrent maupun royalty. Terlebih lagi apabila pemerintah provinsi berperan aktif menkoordinasikan hubungan yang harmonis antara kabupaten/kota di wilayahnya dengan para kontraktor/pengusaha pertambangunan umum. Informasi yang diperoleh dari koordinasi ini akan sangat bermafaat bagi Dep ESDM dalam merencanakan PNBP/DBH pertambangan Umum per daerah.
Barangkali kita boleh berasumsi bahwa daerah yang memnyampaikan hasil koordinasi tersebut kepada Dep ESDM mestinya terhindar dari lebih salur, karena perencanaan yang lebih baik berdasarkan data yang dapat dipercaya. Seyogyanya kita buktikan.
Hakekat Dana Perimbangan
DBH Pajak
Kepada anak sulung orang tua tidak perlu memberikan dana, ini adalah representasi dari daerah yang beruntung mempunyai kapasitas fiskal yang baik, seperti Prov DKI, Kab Bengkalis, Kab Siak, Kab Indragiri Hilir (ketiganya di wilayah Prov Riau), dan Kab Kutai Kertanegara (Prov Kaltim), yang pada tahun 2009 tidak mendapatkan DAU. Daerah-daerah tersebut telah mandiri dengan kemampuan keuangan yang berasal dari DBH Pajak dan DBH SDA. Bahkan karena benar-benar sudah kuat posisi keuangannya maka DAK-pun tidak perlu dialokasikan di sebagian dari daerah-daerah tersebut.
Anak kedua sudah bekerja, namun karena sebagai pegawai baru penghasilannya sebesar Rp 3 juta sebulan hanya cukup untuk makan dan transpor. Dia belum mampu sewa kamar diluar, padahal dia ingin meningkatkan pendidikannya untuk persiapan memperoleh posisi yang lebih baik di kantornya, maka orang tuanya berbaik hati mendanai sekolahnya dan masih memberikan ruang di rumahnya. Anak kedua ini adalah reprentasi dari daerah yang mempunyai kemampuan keuangan yang sekedar cukup, maka kepadanya diberikan sedikit DAU untuk kebutuhan pribadinya, dan diberikan juga DAK bidang pendidikan.
Kita tentu sudah menduga anak ketiga, keempat, dan kelima akan mendapat apa dan berapa?. dari aspek penghasilan yang menunjukkan kemampuan keuangan, ketiganya tidak mempunyai kemampuan keuangan. Ketiga anak terswebut merepresentasikan daerah yang kemampuan keuangannnya benar-benar sangat tergantung dari dana perimbangan, oleh karena itu diberikan DAU yang cukup besar untuk kebutuhan dasarnya-sandang, pangan, dan papan. Anak ketiga tentu memerlukan pendanaan yang lebih besar, kepadanya diberikan DAK yang lebih besar dari adaik-adiknya, si bungsu tentunya mendapatkan DAK yang lebih kecil.
Dari analogi tersebut dapat ditunjukkan bahwa penghasilan itu setara dengan anugerah Allah yang diberikan kepada daerah melalui sumber daya alam yang ada, demikian juga sumber daya pajak, dan PAD kalau dua anak yang berpenghasilan tersebut masih mau kerja lembur untuk menambah penghasilan. Dari perumpamaan tersebut kiranya menjadi jelas bahwa pengalokasian dana perimbangan tidak dapat melihat komponen-komponen secara terpisah, melainkan harus dikalkulasi secara bersama-sama.
Berbahagialah menjadi anak sulung dan anak kedua, dan bersyukurlan karena telah lebih dahulu mendapatkan anugerah Allah yang menyebabkan kemampuan keuangannya lebih dari adik-adiknya. Bukan malah iri dengan kepada adik-adiknya bahkan mengkritik orang tuanya karena dianggap berlaku tidak adil. Keadilan adalah memberikan kepada yang membutuhkan apa yang menjadi haknya, namun hak tersebut harus ditakar dengan timbangan proporsi, formula, dan kriteriayang konsist en. Proporsi adalah gambaran dari dana bagi hasil (DBH), formula adalah takaran dana alokasi umum (DAU), dan kriteria adalah ukuran dana alokasi khusus (DAK).
Jakarta, Ruang Sidang Panitia Anggaran DPR, sambil dengerin Menteri Keuangan memaparkan "Mengatasi Dampak Krisis Global melalui Stimulus Fiskal APBN 2009" Jam 21.10 wib.
Senin, 16 Februari 2009
Problematika Pemekaran Daerah
Wafatnya Ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara pada unjuk rasa untuk mendorong terwujudnya Wilayah Tapanuli sebagai provinsi ter pisah dari Prov Sumatera Utara, adalah peristiwa tragis anarkhis yang menodai maksud baik dari pemekaran daerah. UU no 5 tahun 1975 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah mengamanatkan visi awal dari otonomi daerah, yaitu dari aspek politik pemekaran daerah harus mempertinggi semangat dan mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara, dan dari aspek sosial ekonomi pemekaran daerah harus mempertinggi /meningkatkan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Mencermati pelaksanaan pemekaran daerah beberapa tahun terakhir terlihat kecenderungan terjadi pergeseran persepsi baik dari aspek politis maupun aspek sosial ekonomi. Dari aspek politis banyak orang mengejar jabatan dan kekuasaan. Desentralisasi politik diterjemahkan sebagai pembentukan lebih banyak DPRD, disinilah kesempatan untuk menjadi pejabat legislatif. Pada aspek sosial ekonomi nampak pula pergeseran pemahaman, desentralisasi ekonomi diterjemahkan dengan kesempatan untuk mendapatkan alokasi dana dari Pemerintah Pusat untuk mendanai pelaksanaan desentralisasi kewenangan.
Banyaknya alokasi dana dari Pemerintah Pusat ke daerah ( yang sekarang disebut sebagai Transfer ke Daerah) memang dapat diartikan akan lebih memakmurkan rakyat, namun pertanyaannya apakah juga sudah memberdayakan masyarakat?. Apakah dengan semakin banyaknya pejabat perwakilan rakyat daerah dan semakin banyaknya pejabat eksekutif daerah akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat?. Apakah semakiin banyak alokasi ke daerah sudah dibarengi dengan upaya untuk mengelola dengan lebih baik?.
Paparan berikut ini mencoba menunjukkan problematika pemekaran daerah khususnya dalam hubungannya dengan sistem perimbangan keuangan (transfer ke daerah) dan sistem pengalihan /pembantuan kewenangan (asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan). Paparan ini pernah disampaikan oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dalam beberapa kesempatan antara lain Semiloka Nasional Grand Strategi Penataan Daerah di Indonesia tanggal 18 Desember 2008, Pembahasan Problematika Pemekaran Daerah di Dewan Pertimbangan Presiden tanggal 16 Februari 2009. Sebagian materi bahkan disampaikan oleh Menteri Keuangan dalam Sidang DPOD tanggal 11 Juni 2008 di Jakarta.
Paparan tersebut antara lain menggambarkan:
(1) Perkembangan jumlah daerah ; (2) Dampak pemekaran terhadap Dana Perimbangan -DBH, DAU, dan DAK; (3) Dampak pemekaran terhadap alokasi anggaran kementerian/lembaga baik instansi vertikal maupun dalam rangka asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan; dan (4) Beberapa permasalahan lain dari pemekaran daerah.
Silahkan Klik disini apabila anda berminat. Kami juga mengundang diskusi dan komentar anda.
Sabtu, 14 Februari 2009
Merancang DAK "yang lain"
Naskah ini disusun berdasarkan pertanyaan yang diajukan Tim Bappenas dalam rangka merancang “DAK ke Depan” . Jawaban yang saya sampaikan berdasarkan pemahaman setelah lebih dari dua tahun mencoba mempelajari DAK sebagaimana dimaksud dalam UU No 33 Th 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dan PP No 55 Th 2005 tentang Dana Perimbangan. Pada prinsipnya saya berpendapat bahwa sebelum merancang DAK “yang lain”, sebaiknya menjawab pertanyaan (1) adakah yang salah dengan definisi existing DAK, jika “ya” – seyogyanya dedifinisikan dulu DAK yang dikehendaki; (2) adakah masalah yang serius dengan existing DAK, jika “ya” – pada segmen yang mana masalah tersebut ada – perencanaan, pengalokasian, penganggaran, pelaksanaan, atau monitoring/evaluasi/pengawasan-nya, atau semuanya?. Silahkan komentar anda terhadap jawaban saya, atau pendapat anda akan DAK “yang lain” tersebut (sebaiknya tidak disebut sebagai “The Future DAK” kalau dua pertanyaan tersebut belum terjawab.
Pertanyaan nomor 1:
Bagaimana pendapat anda dalam kaitannya DAK, dengan DAU, dan DBH sebagai satu kesatuan pertimbangan dalam alokasi dana dan kegiatan ke daerah?\
Jawaban:
Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya kira ada baiknya memahami terlebih dahulu hakekat dari masing-masing jenis dana perimbangan. DBH diberikan kepada daerah dengan besaran persentase tertentu berdasarkan realisasi penyetoran ke kas negara sebagai penghargaan atas usaha manusia mengelola pajak maka DBH Pajak diberikan kepada daerah penghasil pajak dengan persentase lebih besar, baru kemudian kepada daerah tetangganya dengan cluster provinsi (termasuk provinsi).
Berbeda dengan DBH SDA diberikan kepada daerah dengan persentase lebih besar kepada daerah penghasil karena anugerah Tuhan kepada daerah tersebut. DAU diberikan kepada daerah sebagai instrumen pemerataan. Apa yang harus diratakan kalau bukan pendapatan dari DBH (karena umumnya PAD kecil porsinya dalam APBD) dibandingkan dengan kebutuhannya. Pemahaman ini perlu sebelum menyentuh DAK, karena fungsi DAK untuk membantu keuangan daerah, dan wujud intervensi Pemerintah terkait dengan prioritas nasional. Kalau tidak memahami hal tersebut orang akan membicarakan DAK lepas dari pakem-nya. Keterkaitan antara DAK dengan dana perimbangan lainnya masih perlu, sepanjang UU No 33/2004 masih berlaku. Saya juga sependapat dengan kemungkinan “DAK” yang lain sepanjang kriterianya dirumuskan terlebih dahulu, jangan dengan kriteria “ad hoc”. Kriteria tersebut tentu harus berlaku konsisten dalam penetapan daerah penerima, perhitungan besaran, dan kriteria lain yang menunjukkan prinsip keadilan
Pertanyaan Nomor 2 :
Bagaimana pendapat anda dalam kaitannya dengan besaran alokasi DAK?, perlukah besaran DAK ditingkatkan dan dikaitkan secara langsung sebagai proporsi tertentu dari besaran APBN (missal 2,5 % dari DAU) atau sebagai proporsi dari DAU (misal 25 % dari besaran DAU)?
Jawaban:
Pertanyaan ini kelihatannya ada yang salah, yang tertulis 2,5% dari DAU (sekarang saja sudah lebih 10%) atau 25% dari DAU?. (barangkali 2,5% dari APBN). Sebenarnya saya kurang sependapat kalau APBN dikapling-kapling, coba kita bayangkan anggaran pendidikan 20%, DAU 26%, dana otonomi khusus 2% dari DAU, kemungkinan akan muncul bayar utang sekian persen, bayar gaji sekian persen, suatu saat bukan tidak mungkin akan ada yang tidak kebagian persentase. Untuk saat sekarang ini bahkan ke depan melaksanakan Pasal 108 UU No 33/2004 secara konsekuen akan menjadi prospek yang sangat menjanjikan bagi besaran DAK. Mohon maaf kalau saya ambil contoh Bantuan Operasional Sekolah (BOS), yang labelnya lebih politis dari pada pendekatan sistem penganggaran, demikian juga PNPM. Satu pertanyaan saja, kegiatannya kewenangan siapa?. Kalau semua kegiatan yang menjadi kewenangan daerah, dilaksanakan oleh daerah dan didanai dari DAK, saya kira mengkapling APBN untuk DAK tidak perlu.
Pertanyaan Nomor 3:
Bagaimana keterkaitan Prioritas atau kegiatan DAK dengan misi/prioritas kegiatan dalam RPJM sebagai landasan kebijakan jangka menengah?
Jawaban:
Sudah seharusnya perencanaan DAK baik mengenai penetapan bidang DAK maupun besaran DAK adalah bagian dari RPJM dan RKP. RKP setiap tahunnya ditetapkan dengan PP, namun RKP yang diacu dalam penyusunan / penetapan APBN adalah RKP yang telah dibahas dan disetujui DPR. Proses politik inilah yang kemudian mengakibatkan perencanaan DAK tidak selalu sesuai dengan keinginan Pemerintah.
Kebijakan pendanaan DAK dalam jangka menengah ada baiknya dilihat dalam perspektif pendanaan transfer secara keseluruhan. Untuk itu filosofi Dana Perimbangan sebagai satu kesatuan yang utuh harus diimplementasikan dalam kebijakan penyusunan RKP secara konsisten dan proporsional. Dengan demikian, tanggung jawab pencapaian prioritas nasional menjadi tanggung jawab bersama antara pusat dan daerah.
Sampai sekarang belum ada ketentuan bagaimana sebenarnya mengkaitkan prioritas nasional dalam DAK. Bagaimana mengawal prioritas nasional supaya kegiatan DAK dilaksanakan di daerah dengan tepat. Sangat sempit tentunya kalau mengawalnya pada level kegiatan, dengan cara memberikan petunjuk untuk apa DAK harus digunakan, memang ini yang paling mudah dilaksanakan, tapi terkadang secara teknis tidak sesuai dengan kebutuhan daerah.
Pertanyaan Nomor 4:
Bagaimana pendapat anda berkaitan DAK dikelola dengan pendekatan Pengeluaran Jangka Menengah atau MTEF?
Jawaban:
Penganggaran dan pelaksanaan kegiatan DAK adalah wilayah APBD, memberlakukan DAK dengan pendekatan MTEF berarti memberlakukan MTEF hampir diseluruh Indonesia. Tolong pertimbangkan pertanyaan ini, apakah kita sudah memulai pendekatan MTEF pada penganggaran kementerian/lembaga yang hanya ada di Jakarta?. Apakah MTEF akan diberlakukan pada penganggaran per bidang, sedangkan MTEF lebih nyata kalau dikaitkan dengan kegiatan tertentu dengan output yang terukur?. Jadi pendapat saya sebaiknya tidak mengkaitkan dulu dengan MTEF, melihat apakah DAK sudah dilaksanakan sesuai persepsi Pemerintah Pusat saja , belum mampu, demikian juga apakah MTEF sudah dilaksanakan secara baik pada apenganggaran K/L?.
Pertanyaan Nomor 5:
Bagaimana pemdapatan anda keterkaitan bidang/kegiatan DAK dengan Fokus/Kegiatan Pokok di Prioritas Nasional RKP dan dalam memberikan Kontribusi terhadap pencapaian sasaran nasional?
Jawaban:
Berkaitan dengan pertanyaan nomor 3, sebaiknya memang segera ditetapkan bagaimana mengkaitkan DAK dengan prioritas nasional secara lebih sistematis dan konsisiten. Sekarang ini kalau ada program tertentu dicantumkan dalam RKP, contohnya pada saat menetapkan DAK Keluarga Berencana, maka menjadi sah kalau mebentuk bidang DAK seperti program yang sudah termuat dalam RKP. Apakah cara seperti ini sudah dianggap benar?. Bisa saja dianggap kurang tepat karena justru akan memberikan peluang untuk memperluas bidang-bidang DAK dengan alasan programnya sudah tercantum dalam RKP.
Pertanyaan Nomor 6:
Bagaimana dengan pemilihan bidang yang kegiatannya sudah menjadi urusan daerah (sudah didesentralisasi) è Referensi: PP38/2007, bidang apa yang sebaiknya diprioritaskan yang menjadi urusan wajib bagi daerah (idealnya yang sudah memiliki SPM)?
Jawaban:
Mengkaitkan DAK dengan SPM menurut saya justru akan menghambat pelaksanaan DAK. Kalau DAK dijadikan alat untuk mendorong K/L menyusun DAK juga tidak relevan, karena DAK berurusan dengan daerah sedang SPM berurusan dengan K/L. K/L terkait dengan DAK adalah
dalam rangka mengawal prioritas nasional, sampai sekarang ini cara yang dipakai adalah masing-masing K/L yang sektornya sesuai dengan bidang DAK yang diminta untuk menyusun petunjuk teknis DAK. PP 38/2007 sudah menunjukkan kewenangan daerah, sudah semestinya peraturan itu dilaksanakan, antara lain untuk menentukan bidang DAK, tapi juga harus konsekuen tidak ada lagi kewenangan daerah yang dilaksanakan pusat.
Pertanyaan Nomor 7:
Perlukah diberlakukan ketentuan bahwa setiap transfer DAK sebaiknya di lengkapi dengan Implisit atau eksplisit kontrak antara pemerintah pemberi dan penerima sebagai bagian performace based budgeting?
Jawaban :
Sejak APBN 2008 kita sudah menegaskan bahwa transfer berbeda dengan belanja, oleh karena itu dalam I-Account 2008 pada bagian Belanja tertulis Belanja Pemerintah Pusat, dan Transfer ke Daerah. Kalau kita sudah menetapkan DAK sebagai transfer maka tanggungjawab belanja ada di Daerah. Belanja artinya setiap pengeluaran anggaran disertai dengan bukti pengeluaran yang terdiri dari SPM, SP2D, dan kuitansi, termasuk didalamnya kontrak yang menjadi tanggung jawab Pengguna Anggaran Belanja. Transfer artinya setiap pengeluaran dibuktikan dengan bukti transfer yang terdiri dari SPM dan SP2D yang menjadi tanggung jawab Pengguna Anggaran Transfer . Pelaksanaan belanja dari anggaran transfer adalah daerah, oleh karena itu kontrak hanya ada di daerah. Saya kuatir pertanyaan ini memberi kesan bahwa jika tidak dilengkapi kontrak (implisit/eksplisit) maka pelaksanaan DAK bukan bagian dari performance based budgeting. Padahal apa artinya kontrak kalau didalamnya tidak menggambarkan secara jelas output yang hendak dicapai dari setiap pengeluaran . Pendeknya dimanapun terjadinya belanja maka disitulah prinsip anggaran kinerja dapat dilaksanakan. Kalau ingin melihat pencapaian kinerja DAK secara riil adalah dengan meminta BPKP untuk melakukan audit.
Pertanyaan Nomor 8:
Perlukah peran provinsi sebagai wakil pemerintah ditingkatkan untuk menyediakan pelayanan bagi masyarakat di wilayahnya namun dengan kewenangan menyesuaikan dengan kondisi daerah?
Jawaban:
Prinsip pelaksanaan anggaran yang sekarang ini saya kira sudah baik. Dekonsentrasi artinya gubernur sebagai kepala wilayah provinsi sebagai wakil pemerintah melaksanakan kewenangan pusat dan anggaran pusat di daerah. Menteri/pimpinan lembaga sebagai Pengguna anggaran tentu sudah memperhatikan kebutuhan dan kondisi wilayah provinsi. Tugas pembantuan artinya bupati/walikota sebagai kepala daerah membantu Pemerintah Pusat melaksanakan kegiatan dan anggaran yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat di daerah, inipun tentu sudah memperhatikan kondisi daerah. Misalnya Pemerintah ingin menyelenggarakan Festifal ternak nasional di daerah. Daerah yang pilih tentunya daerah yang memang memilih peternakan sebagai kegiatan unggulannya. Desentralisasi artinya guberbur/bupati/walikota melaksanakan kewenangan daerah dengan pendanaan dari APBD. Sumber APBD dari PAD dan transfer ke Daerah. Jadi apa yang tersurat dan tersirat dari pertanyaan ini hemat saya sudah dilaksanakan dalam sistem pelaksanaan anggaran kita.
Pertanyaan Nomor 9:
Bagimana pendapatan anda bahwa untuk mendorong kompetisi antar daerah, tidak semua daerah akan mendapatkan DAK?
Jawaban:
Pertanyaan baliknya “DAK” yang mana yang dimaksud disini. Kalau DAK yang ditetapkan dalam UU No 33/2004 tidak ada kaitannya dengan kompetisi. Kiranya perlu saya tegaskan kalau mengkaitkan opsi pendanaan dengan kompetisi, dengan sumber dari pinjaman/hibah luar negeri, dengan reward dan punishment, dan/atau dengan maksud-maksud lain diluar definisi DAK sebaiknya tidak dalam bentuk DAK, silahkan dalam bentuk lain yang tidak tertutup kemungkinannya, yang penting jelas kriteria dan dasar hukumnya atau silahkan merevisi UU No 33/2004 lebih dahulu.
Pertanyaan Nomor 10:
Bagaimana pendapat anda untuk mengurangi jumlah daerah penerima DAK terutama program yang skala kecil karena program skala kecil akan berpengaruh minimal terhadap tujuan nasional namun berpotensi mahal dalam biaya administrasi?
Jawaban:
Mengurangi daerah penerima DAK dapat dilakukan dengan penetapan kriteria – kriteria umum, atau khusus, atau teknis. Tetapkan kriterianya, sepakati nilai indeks masing-masing kriteria untuk menyaring daerah penerima, laksanakan secara konsisiten. Misalnya kalau indeks dengan nilai 1 masih dianggap menghasilkan daerah yang cukup banyak, maka perlu dicari nilai indeks fiskal yang optimal dan akan menhasilkan daerah yang lebih sedikit. Mengkaitkan jumlah daerah penerima DAK dengan mengurangi program skala kecil tidak ada relevansinya. Sekali lagi saya tegaskan bahwa penetapan daerah, penetapan besar DAK per daerah adalah masalah kriteria DAK, seyogyanya hakekat DAK benar-benar dipahami untuk merencanakan DAK masa depan supaya tidak terjebak pada idealisme demi sesuatu yang baru tapi tidak memiliki aspek legalitas, kecuali memang harus merevisi undang-undang terkait terlebih dahulu.
Pertanyaan Nomor 11:
Bagaimana pendapatan anda bila dilakukan reformulasi DAK yang lebih transparan. Memiliki akuntabilitas publik dan tidak mudah terintervensi secara politik?
Jawaban:
Reformulasi DAK saya sependapat, tapi persiapkan dahulu aspek legalitasnya kalau harus lain dari DAK yang ditetapkan UU. Reformulasi tidak dalam rangka transparansi karena sampai sekarang yang saya paham bahwa penetapan daerah dan perhitungannya sudah transparan. Meskipun ada intervensi politik penetapan daerah dan perhitungannya tetap harus transparan., karena kriteria yang disyaratkan tetap dilaksanakan secara konsisten dan akuntabel. Reformulasi lebih kepada upaya untuk memperbaiki kriteria agar dapat menggambarkan kondisi daerah dengan lebih akurat. Jika kriteria disempurnakan dan dilaksanakan secara konsisiten maka akan menunjukkan akurasi, transparansi, dan akuntabilitas publik. Kalau kita sadari bahwa APBN adalah produk politik maka menghindari intervensi poltik sungguh sangat sukar, apalagi berhubungan dengan daerah yang wakil-wakilnya ada di DPR.
Pertanyaan Nomor 12:
Bagimana pendapatan anda jika formula dalam alokasi perhitungan bobot DAK dihilangkan, namun tetap diperlukan dalam pengukuran kapasitas fiskal, aspek khusus dan teknis dalam penentuan daerah ?
Jawaban
Saya kira perlu diluruskan lebih dahulu, bicara formula bukan dalam kaitannya dengan DAK, melainkan DAU. DAK kaitannya dengan kriteria, lebih lanjut lagi DBH kaitannya dengan persentase tertentu. Hal yang kelihatan sepele ini justru akan menunjukkan apakah hakekat DAU, DAK, dan DBH itu dipahami atau belum. Sudah saya singgung dalam jawaban pertanyaan nomor 9 silahkan kriteria (sekali lagi kriteria DAK) di-reformulasi, tujuannya adalah agar dapat menggambarkan daerah penerima yang lebih memerlukan sesuai dengan kondisi daerah (aspek khusus dan aspek teknis) dan ke:mampuan keuangan daerah. Perlu diingatkan kembali bahwa DAK sifatnya membantu daerah tertentu, jangan lupa aspek legalitasnya.
Perta nyaan Nomor 13:
Apakah anda setuju jika keberadaan dana pendamping ditiadakan dan diganti dikatagorisasi daerahnya dan kesepakatan persyaratan output atau outcome yang menjadi tujuan yang telah ditetapkan bersama ?
Jawaban:
Selama ini dana pendamping dikeluhkan banyak daerah. Ibaratnya dana pendamping ambil dari saku kiri masuk saku kanan, dari DAU dan DBH masuk pendamping DAK. Dana pendamping lebih digambarkan sebagai commitment funds bukan dalam rangka matching grant. Persepsi terhadap dana pendamping ini sebagian dibentuk dari petunjuk teknis yang tidak seragam bahkan sampai pada cara pencantuman dalam dokumen anggaran di daerah – DPA, sehingga menjadi kelihatan sulit. Salah satu cara mempermudah penjelasan dana pendamping misalnya dengan memberi catatan dalam DPA à misalnya Rehabilitasi Puskesmas Rp 2 miliar (catatan : 90% dari DAK). Cara ini akan efektif karena simple, tujuan tercapai, mudah dimonitor, dan outputnya sangat jelas, tidak perlu dirinci antara output DAK dan out dana pendamping. Pendapat saya tentang meniadakan dana pendamping lebih pada administrasi keuangan yang kurang efisien, dan pertimbangan kemampuan keuangan daerah. Tidak begitu relevan antara meniadakan dana pendamping dikaitkan dengan output atau outcome, dengan atau tanpa dana pendamping setiap kegiatan dan darimanapun anggarannya maka output dan outcome harus dinyatakan.
Pertanyaan Nomor 14:
Apakah anda setuju dengan membagi plafon alokasi DAK menjadi bagian untuk program-program dalam bidang yang menjadi tugas wajib dan tugas tambahan?
Jawaban:
Saya lebih setuju kalau DAK tidak perlu dikapling-kapling, yang penting bidangnya adalah prioritas nasional dan kegiatannya dibutuhkan daerah. Perlu dingatkan bahwa DAK adalah dana desentralisasi, kalau diarah-arahkan lebih ketat sebaiknya tidak disebut DAK, lalu apa bedanya dengan dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan. Sekali lagi saya ingatkan bahwa DAK adalah untuk membantu daerah setelah mendapatkan DBH dan DAU. Yang dibantu adalah daerah tertentu, bagaimana menentukan daerah tertentu, silahkan kalau mau direformulasi. Penetapan bidang adalah perwujudan dari prioritas nasional. Apakah program wajib dan program tambahan adalah cara yang lebih baik menterjemahkan kebutuhan dan kondisi daerah? Tentunya perlu argumentasi yang cukup baik dari yang ada sekarang.
Pertanyaan Nomor 15:
Apakah anda setuju untuk melakukan penyederhanaan jenis-jenis Bidang yang diberi alokasi DAK, seperti:
a) Penentuan Prioritas bidang didasarkan kepada komitmen alokasi antar tahun (misal: minimal 2 tahun)
Jawaban a)
b) Seleksi kriteria bidang bisa didasarkan kepada
i. Bidang-bidang yang merupakan pelayanan dasar utama seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.
ii. Bidang yang akan memberikan dampak terbesar atas
1. Nilai tambah ekonomi
2. Kualitas sumber daya manusia
3. Kesejahteraan masyarakat
4. Daya saing daerah
iii. Bidang-bidang yang telah mempunyai standar pelayanan minimal sebagai acuan kesepakatan kontrak output/otcome
iv. Memperhatikan letak dan kondisi geografi daerah calon penerima
Jawaban b):
Catatan tambahan:
Sebelum mengakhiri jawaban saya, sekali lagi ingin saya sampaikan bahwa menyiapkan DAK ke depan perlu dipertimbangkan, Pertama, tentukan perannya diantara dana perimbangan yang lain. Apakah DAK masih berperan “membantu”?. Kedua, menentukan kriteria penetapan daerah penerima, apakah semua daerah apakah daerah tertentu, daerah tertentu yang bagaimana agar menunjukkan prinsip keadilan, menentukan kondisi dan karakteristik daerah secara akurat menjadi penting untuk menggambarkan beban fiskal daerah, misalnya membedakan indeks wilayah antara daerah yang mempunyai panjang perbatasan dengan negara lain yang panjang dengan yang lebih pensdek. Ketiga, tentukan kriteria perhitungan besaran per daerah per bidang. Keempat, tentukan data teknisnya untuk mendukung perhitungan. Kelima, Siapkan aspek legalitasnya. Keenam, laksanakan secara konsisten. Sedangkan potensi yang cukup besar untuk menentukan besaran DAK Nasional adalah dengan melaksanakan Pasal 108 UU No 33/2004. Adapun besaran per bidangnya berdasarkan seberapa tinggi level bidang di dalam urutan prioritas nasional, semakin tinggi levelnya semakin besar alokasinya.