Kamis, 04 Maret 2010

Counter Balance dalam Cashfow Management DBH Migas



Persepsi Daerah

Tak kurang seorang Gubernur dari salah satu provinsi penghasil migas pada setiap saat membahas masalah Dana Perimbangan selalu mengomentari keterlambatan penyaluran DBH Minyak Bumi dan Gas Bumi (Migas). Masalah ini hampir dipastikan akan muncul dalam forum pertemuan Pemerintah (dalam hal ini diwakili Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Perimbangan keuangan /DJPK) dengan DPR-RI , dengan DPD, dan daerah pada umumnya yang membahas mengenai Transfer ke Daerah. Benarkah penyaluran DBH Migas selalu terlambat?.

Prinsip DBH

Prinsip DBH meliputi (1) harus ada PNBP-nya, (3) besarannya adalah persentase tertentu dari PNBP (migas 84,5% pusat, 15,5% daerah); (3) alokasinya dalam APBN berdasarkan perkiraan PNBP dalam satu tahun – dalam hal migas perkiraan tersebut sangat tergantung dari asumsi jumlah lifting, harga ICP, serta kurs Rp thd US$ dalam APBN; (4) penyalurannya kepada daerah berdasarkan realisasi PNBP dalam satu tahun – dalam hal DBH Migas, waktu satu tahun tersebut dimulai dari Desember suatu tahun sampai November tahun berikutnya (tetap 12 bulan).

Waktu Perhitungan realisasi PNBP/DBH Migas.

Penetapan segmen waktu tersebut semula dimaksudkan agar alokasi DBH SDA seluruhnya dapat tersalur ke daerah pada akhir tahun anggaran. Realisasi PNBP dihitung mulai dari Awal Desember sampai dengan Akhir November agar hasil perhitungan PNBP tersebut dapat disalurkan DBH-nya pada bulan Desember. Namun kenyataannya sampai dengan bulan Desember pihak penyedia data PNBP Migas belum siap menyediakan data , baru kemudian pada pertengahan Februari data realisasi PNBP satu tahun dapat disediakan yang berarti sudah melewati tahun anggaran. Hal ini menimbulkan masalah tersendiri dalam penyaluran DBH Migas sehingga perlu diambil kebijakan penyaluran DBH Migas pada setiap tahunnya.

Kebijakan Pengalihan Sisa Anggaran ke Rekening Cadangan

Pada bulan Desember data realisasi yang tersedia hanya sampai pada bulan Agustus, idealnya (yang menjadi harapan semula) sudah sampai pada bulan November. Dengan demikian pagu anggaran DBH Migas baru akan dibebani untuk membayar realisasi migas dari Desember sampai dengan Agustus atau 9 bulan, yang berarti masih tersia pagu anggaran 3 bulan. Sisa pagu ini akan hangus setelah akhir Desember apabila tidak direalisasikan. Oleh karena itu perlu diambil kebijakan untuk mengalihkan sisa anggaran tersebut ke Rekening Cadangan Menteri Keuangan (atau biasa disebut dengan Escrow Account) pada Bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan (dalam hal ini kewenangannya dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan selaku Pengelola Rekening Kas Negara).

Dengan kebijakan tersebut, status sisa anggaran yang ditampung di rekening cadangan sudah sebagai belanja dari rekening Kas Negara . Penyalurannya ke rekening kas daerah dilaksanakan setelah data realisasi PNBP Migas (per KKKS) diterima unit penyalur (DJPK) dan dihitung DBH-nya (per daerah). Dengan demikian realisasi PNBP Migas yang dibagikan ke daerah tetap meliputi waktu 12 bulan (misalnya Desember 2008s/d Agustus 2009 yang disalurkan pada Desember 2009, dan September s/d November 2009 yang disalurkan pada Pertengahan Februari 2010).Kebijakan ini akan dilakukan setiap tahun sepanjang unit penyedia data realisasi belum bisa menyediakan data selama 12 bulan pada akhir November, yang berarti terjadi selisih waktu antara realisasi dan penyaluran selama satu triwulan.

Persepsi Keterlambatan Vs Counter Balance

Dari aspek pergeseran waktu penyaluran yang seharusnya selesai pada Bulan Desember menjadi bulan Februari memang jelas menunjukkan keterlambatan. Namun dari aspek jumlah bulan realisasi tetap meliputi waktu 12 bulan, yang bearti hak daerah atas DBH satu tahun tidak berkurang. Pengalihan penyaluran dari Desember menjadi Februari namun tetap berdasarkan data realisasi tahun yang bersangkutan biasa disebut dengan kebijakan Counter Balance. Sisa anggaran tersebut tetap membebani anggaran tahun lalu namun daerah mencatatn pendapatan sebagai penerimaan tahun betrikutnya (lihat skema Counter Balance)

Pola Baru penyaluran DBH SDA

Sejak tahun 2008 Pemerintah melaksanakan penyaluran dana Transfer ke erah dengan pendekatan baru yang mengedepankan semangat untuk menjamin kepastian, kecepatan, akurasi, dan akuntabilitas. Semangat ini diwujudkan dengan penyaluran DBH Migas Triwulan I dan Triwulan II masing-masing 20% dari alokasi per daerah, disalurkan dalam bulan Maret dan bulan Juni . Maksud dari pola ini adalah agar daerah mendapatkan kepastian waktu dan ketepatan jumlah, tanpa menunggu perhitungan realisasi PNBP Migas. Selanjutnya Triwulan III disalurkan pada bulan September berdasarkan hasil rekonsiliasi PNBP yang disetor ke kas negara mulai Bulan Desember sampai dengan bulan Mei, yang datanya sudah dapat disediakan dalam bulan Agustus. Besarnya penyaluran Triwulan III adalah jumlah DBH suatu daerah berdasarkan hasil rekonsiliasi dikurangi penyaluran Triwulan I dan Triwulan II. Sedangkan Triwulan IV disalurkan dalam bulan Desember berdasarkan realisasi PBNP sampai dengan bulan Agustus.

Selanjunya realisasi sampai dengan Bulan November akan disalurkan ke daerah sebagai Triwulan V pada bulan Februari. Pemakaian terminologi Triwulan V dimaksudkan hanya untuk memudahkan adanya urutan yang baku bahwa penyaluran DBH Migas yang berasal dari realisasai PNBP Migas disalurkan sebanyak 5 kali. Alasan lain adalah agar terdapat perbedaan yang jelas antara Penyaluran Triwulan V pada bulan Februari dengan penyaluran Triwulan I pada bulan Maret.

Persesi “tidak ada keterlambatan penyaluran”.

Pola penyaluran Triwulan I s/d Triwulan IV ditambah Triwulan V telah dilaksanakan secara rutin dan terpola. Pola yang direalisasikan secara urut sebenarnya adalah sebagai berikut:

Triwulan I : (1) Tidak memperhitungkan realisasi, (2) besarannya 20% dari perkiraan alokasi (3) Waktu penyaluran Maret
Triwulan II : (1) Tidak memperhitungkan realisasi, (2) besarannya 20% dari perkiraan alokasi (3) waktu penyaluran Juni
Triwulan III : (1) Memperhitungkan realisasi Des s/d Mei, (2) besarannya Realisasi minus Tw I & Tw II, (3) waktu penyaluran September
Triwulan IV : (1) Memperhitungkan realisasi Des s/d Agus, (2) besarannya Realisasi minus Tw I s/d Tw III, (3) waktu penyaluran Desember
Triwulan V :(1) Memperhitungkan realisasi Des s/d Nov, (2) besarannya Realisasi minus Tw I s/d Tw IV, (3) waktu penyaluran Februari

(Sumber : Direktorat Dana Perimbangan, DJPK, Kementerian Keuangan, Jakarta, 2010).

Dengan pola yang rutin dan tetap tersebut maka kebijakan counter balance dalam management penyaluran DBH Migas dapat dipersepsikan tidak ada keterlambatan penyaluran DBH Migas, dengan penjelasan : (1) hak yang dibagikan meliputi waktu 12 bulan; (2) besaran dana yang disalurkan sesuai realisasi; (3) pelaksanaan penyaluran dengan pola yang konsisiten. Pola ini dapat diacu oleh daerah dalam membukukan penerimaan yang bersumber dari DBH Migas, yaitu penerimaan yang masuk ke Kas Daerah dalam satu tahun, dibelanjakan pada tahun saya sama (dalam satu tahun anggaran Januari s/d Desember terdapat 5 kali penerimaan DBH Migas yang masuk ke Kas Daerah pada Februari, Maret, Juni, September dan Desember). Dari pola ini dapat dipersepsikan bahwa tidak ada keterlambatan dalam penyaluran DBH Migas.

Alternatif

Sisten Escrow Account dan Counter Balance dapat ditiadakan dengan perubahan periode perhitungan realisasi PNBP Migas mulai Oktober s/d September, sehingga realisasi s/d September dapat disalurkan pada Awal Desember. Pola ini dapat mengurangi silpa daerah yang berasal dari DBH Migas. Alternatif pola ini perlu dikaji mendalam terkait kebiasaan dan sistem yang berlaku pada unit penyedia data migas.

Jumat, 19 Februari 2010

Problematika Pemekaran Daerah : Teori Telur Dadar

Tahun 2010 adalah tahun bersejarah bagi 26 daerah pemekaran baru karena telah memperoleh dana perimbangan yang dihitung secara mandiri. Umumnya daerah pemekaran pada tahun kedua mendapatkan dana perimbangan yang meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Ini tentu kebahagiaan bagi daerah pemekaran baru. Namun tidak demikian pada daerah induknya dan daerah lain yang telah lebih dahulu ada. Pada tahun pertama daerah induk merasa sangat sakit karena harus berbagi dana perimbangan dengan daerah pemekarannya, pada tahun kedua baru daerah lainnya medrasa sakit karena kesempatan untuk mendapatkan kenaikan dana perimbangan khususnya Dana Alokasi Umum (DAU) menjadi tidak optimal.

Ide untuk menggunakan telur dadar sebagai teori pembagian DAU bagi daerah induk dan daerah pemekarannya tentunya sangat relevan. Satu telur dadar yang dibagi 4 orang akan terlihat masing-masing orang mendapatkan 1/4 bagian. Pada saat satu orang mempunyai anak maka ia harus berbagi l/4 bagian tersebut menjadi 1/8 bagian setiap orang. Dengan demikian telur dadar tersebut akan dibagi lima : 1/4, 1/4, 1/4, 1/8 dan 1/8 bagian. Pembagian ini tidak mempengaruhi daerah lain yang tidak mekar. Pada tahun kedua, induk dan anak hasil pemekaran tadi masing-masing mempunyai hak yang sama dengan daerah lain yang tidak mekar, yaitu sebagai daerah otonom berdasarkan undang-undang pembentukannya. Hal ini akan berpengaruh pada pembagian satu telur dadar tersebut, yaitu masing-masing menjadi 1/5 bagian. Dari sini terlihat, daerah lama bukan yang mekar akan mengalami penurunan porsi penerimaan dari 1/4 menjadi 1/5, sedangkan daerah yang mekar mengalami peningkatan dari 1/8 menjadi 1/5 .

Permasalahan yang timbul sekarang ini adalah bahwa pada tahun pertama pemekaran suatu daerah, daerah induk sepertinya terpukul dua kali, pertama, DAU-nya turun cukup signifikan, dan kedua, harus memberikan sumbangan (menyusui) daerah baru sebesar yang ditetapkan dalam undang-undang pembentukannya (umumnya Rp 5 miliar setahun) sampai waktu tertentu (umumnya 3 tahun). Itulah sebabnya banyak undang-undang daerah pemekaran yang tidak dipatuhi khususnya oleh daerah induk. Lain halnya apabila daerah baru hasil pemekaran tersebut adalah kota. Permasalahannyatidak sekedar dana perimbangan yang turun, melainkan juga (bagi daerah induk) masalah pemindahan ibu kota, dan (bagi kota hasil pemekaran) adalah masalah jumlah PNSD/Gaji PNSD. Permasalah kota terkait dengan jumlah pegawai yang cukup banyak karena pada umumnya PNSD tidak bersedia pindah ke kabupaten induk, sementara itu kabupaten induk akan menganggat PNSD baru, yang akan berdampak secara nasional.

Bagaimana masa depan pendanaan daerah pemekaran perlu pengkajian secara khusus. 26 daerah pemekaran yang untuk pertaman kalinya mendapatkan dana perimbangan dengan perhitungan secara mandiri memiliki sejarah dan latar belakang pembentukan yang berbeda-beda. Apakah peraturan mengenai penggabungan daerah/moratorium, dan penghapusan daerah bisa operasional?. Apakah Pemerintah Pusat pernah berhasil penahan suatu daerah utnuk mekar?. Apakah inisiatif pemekaran harus datang atau mendapatkan restu Pemerintah Pusat?. Inilah sebagain dari seabreg masalah yang harus dijawab.

Kamis, 18 Februari 2010

RKA-K/L dan RKA-BUN

UU No 17 Th 2003 tentang Keuangan Negara rupanya belum menyeluruh mengatur mengenai keuangan negara khususnya yang berhubungan dengan anggaran dalam rangka desentralisasi fiskal. Hal ini terlihat dari belum lengkapnya aturan mengenai pengaturan dana dari APBN yang ditransfer ke APBD dalam rangka otonomi daerah dan desentralisasi fiakal. Adanya pengaturan yang mengamanatkan untuk mengatur lebih lanjut Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L) dalam suatu peraturan pemerintah (PP) diterjemahkan oleh Pemerintah sebatas mengenai pengeluaran/belanja K/L yaitu PP No 21 Th 2004 tentang RKA-K/L. PP tersebut belum mengenai pengeluaran oleh Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara (BUN) yang posisinya dapat disejajarkan dengan K/L, bahkan dari aspek kewenangan mendapatkan mandat dari Presiden sebagai pengelola fiskal dan sebagai wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan.

Untuk lingkup yang lebih luas bahkan baru disadari perlunya perubahan nomenklatur dalam Struktur APBN, yaitu dengan mulainya digunakan terminologi Transfer Ke daerah sebagai pengganti Belanja Ke daerah. Perubahan ini berawal dari pemahaman bahwa "belanja"berbeda dengan "transfer", dimana belanja hampir selalu dikaitkan dengan pencapaian output, sedangkan transfer belum mengharapkan adanya output, karena hasil akhirnya hanyalah berpindahnya dana dari Kas Negara ke Kas Kas Daerah. Termonologi belanja kemudian menemukan kesulitan dalam mendefinisikan output belanja untuk keperluan subsidi yang wujudnya non-fisik.

Keterbatasan PP 21 th 2004 dalam mengatur perencanaan anggaran, menjadi lebih jelas pada saat Pemerintah harus mengelola anggaran Non-K/L yang antara lain terdiri dari pengelolaan utang, pinjaman, hibah, dan transfer ke daerah, serta anggaran Non-K/L lainnya. Hal ini terlihat dari adanya kesulitan dalam penggunaan format-format RKA-K/L untuk keperluan anggaran non-K/L dimaksud. Demikian juga pada saat anggaran Non-K/L tersebut harus dituangkan dalam dokumen pelaksanaan anggaran, yaitu DIPA. Kilamaks dari kesulitan ini adalah setelah selama enam tahun dilaksanakan muncul semangat yang mendorong perlunya revisi PP No 21 Th 2004 agar secara komprehensif mengatur semua jenis anggaran dalam APBN.

Pada prinsipnya terdapat dua jenis RKA, yaitu RKA-K/L dan RKA-Non K/L. RKA-K/L untuk menampung rencana kegiatan dan anggaran K/L/ sebagai pengguna anggaran yang memiliki kode bagian anggaran tertentu, sedangkan RKA-Non K/L memiliki dua peran, pertama, untuk menampung rencana kegiatan dan anggaran yang dilaksanakan oleh K/L tertentu untuk kegiatan tertentu yang sifatnya tidak rutin dan tidak/belum dapat ditampung dalam RKA-K/L-nya, dan kedua, untuk menampung rencana kerja dan anggaran Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal atau Bendahara Umum Negara. Terhadap pengelolaan dana ini Menteri Keuangan tidak menggunakan bagian anggaran 15, melainkan bagian anggaran beberapa kode bagian anggaran (sebelum th2009) dan kode bagian anggaran 999 (sejak 2010).

Ternyata kegiatan Menteri keuangan selaku pengelola fiskal atau BUN cukup banyak sehingga tidak cukup hanya satu kode bagian anggaran. Untuk mengatasi permasalahan perlu ditetapkan beberapa kode bagian anggaran, yaitu dengan cara memecah kode tersebut menjadi 999.01, 999.02, dan seterusnya sesuai dengan kebutuhan, dimana setiap kode bagian anggaran dikelola oleh unit eslon I tertentu. Sebagai contoh kode bagian anggaran Transfer ke Daerah yang dikelola oleh DJPK semula menggunakan kode 70 untuk dana perimbangan, dan kode 71 untuk dana otonomi khusus dan penyesuaian, diubah menjadi kode 999.05 untuk dana Transfer ke Daerah secara keseluruhan, yang akan meliputi Dana Perimbangan, Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian, serta Hibah Ke Daerah.

Selanjutnya, karena RKA-K/L pada umumnya enggarannya berasal dari anggaran yang dikuasai Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal atau selaku BUN, maka akan lebih dapat dipahami apabila nomenklatur RKA-Non-K/L disebut dengan RKA-BUN. Hal ini terkait dengan proses selanjutnya dalam pengelolaan kleuangan, yaitu penyusunan laporan realisasi anggaran (LRA) dan laporan keuangan kemenetreian/lembaga (LKKL) dalam rangka laporan keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).

Secara ringkas dapat dikemukakan sbb:
1. RKA terdiri dari 2, yaitu (a) RKA-K/L dan (2) RKA-BUN;
2. RKA-K/L untuk K/L dengan kode bagian anggaran tertentu;
3. RKA-BUN dapat terdiri dari (a) RKA-BUN untuk K/L, (b) RKA-BUN untuk Subsidi;
(c) RKA-BUN untuk Pinjaman, (d) RKA-BUN untuk Utang, (e) RKA-BUN untuk Hibah,
dan (f) RKA-BUN untuk Transfer ke daerah, yang dimungkinkan menampung anggaran lain
yang memiliki karakteristik yang setara.

Permalahan yang akan muncul antara lain sebagai akibat dari kegiatan BUN yang sangat heterogen maka kemungkinan agak sulit untuk dalam waktu dekat menemukan suatu aplikasi yang mampu merancang format dan aplikasi yang dapat digunakan oleh semua RKA tersebut, serta dokumen-dokumen turunan selanjutnya. Alternatif solusinya adalah untuk RKA-KL yang menyangkut semua K/L dapat dirancang aplikasi yang seragam, sedangkan untuk RKA-BUN, khusus RKA-BUN untuk K/L bisa menggunakan format dan aplikasi RKA-KL, sedangkan untuk RKA-BUN yang lain perlu diminta kepada unit-unit terkait untuk mengusulkan format sesuai kebutuhan dan kemudian sedapat mungkin dirangkum dalam suatu aplikasi yang diusahakan tidak jauh berbeda dengan RKA-K/L.

Minggu, 20 Desember 2009

Penghargaan dan Hadiah Uang Bagi Kota Makassar

Pada hari Senin tanggal 2 November 2009 dalam rangka peringatan Ke 63 Hari Keuangan yang jatuh pada tanggal 30 Oktober 2009 di Departemen Keuangan, Menteri Keuangan mengumumkan daerah berprestasi berdasarkan kriteria tertentu, termasuk diantaranya adalah Kota Makassar. Mengapa mendapatkan hadiah uang dan berapa besarnya?.

Kriteria Daerah Berprestasi.
Pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan secara diam-diam dalam tahun 2009 ini telah melakukan penilaian terhadap kinerja keuangan daerah dan kinerja ekonomi serta kesejahteraan yang dicapai semua daerah dalam kurun waktu tiga tahun sebelumnya. Berdasarkan penilaian tersebut Kota Makasar bersama dengan 9 daerah provinsi dan 44 daerah kabupaten/kota lainnya mendapatkan predikat sebagai daerah berprestasi.
Kriteria Kinerja Keuangan meliputi : (1) penetapan APBD yang tepat waktu, (2) kenaikan pendapatan asli daerah (PAD) diatas rata-rata nasional, dan (3)pendapat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) dengan kualifikasi wajar dengan pengecualian (WDP) atau wajar tanpa pengecualian (WTP), dan (4) kapasitas fiskal dibawa rata-rata nasional namun indeks pembangunan IPM diatas rata-rata nasiona. Sedangkan Kinerja ekonomi dan kesejahteraan meliputi : (1) peningkatan pertumbuhan ekonomi lokal diatas rata-rata nasional, (2) penurunan angka inflasi daerah, (3) penurunan angka kemiskinan, dan (4) penurunan angka pengangguran yang lebih baik dari rata-rata penurunan secara nasional.
Penyelesaian APBD 2009 dinilai tepat waktu apabila APBD telah ditetapkan sebelum berakhirnya tahun anggaran alias paling lambat tanggal 31 Desember 2008 . Penilaian ini tidak terbatas pada APBD tahun 2009, melainkan juga mengenai APBD dua tahun sebelumnya yaitu APBN 2007 dan APBD 2008. Daerah yang berhasil tepat waktu tiga tahun berturut-turut akan mendapatkan bobot nillai yang lebih tinggi dari pada dua tahun berturut-turut atau hanya satu tahun.
Penilaian terhadap kinerja PAD dilakukan terhadap upaya untuk selalu meningkatkan PAD yang terlihat dari persentase kenaikan PAD diatas rata-rata nasional. Daerah yang mempunyai bobot nilai yang tinggi apabila secara progressif PAD meningkat diatas rata-rata nasional, bahkan persentase peningkatkan tahun terakhir diatas pencapaian sebelumnya.
Pendapat BPK terhadap LKPD menjadi ukuran daerah berprestasi dalam hal daerah tersebut berhasil mendapatkan atau mempertahankan WDP, bobot yang lebih tinggi akan diberikan kepada daerah yang mendapatkan atau mempertahankan WTP, terlebih lagi dalam 2 atau 3 tahun berturut-turut. Sedangkan pencapaian IPM yang tinggi dikaitkan dengan kapasitas keuangan daerah. Daerah yang kapasitas keuangannya dibawah rata-rata nasional dengan IPM yang tinggi akan mendapatkan bobot yang tinggi.

Indikator Keberhasilan Daerah
Kriteria kinerja tersebut diyakini menjadi indikator keberhasilan daerah sehingga kepada daerah yang mencapainya pantas diberikan predikat daerah berprestasi. Pendapat BPK terhadap LKPD menunjukkan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan daerah. Ketepatan waktu penyelesaian Perda APBD menunjukkan kesungguhan daerah memulai kegiatan pemerintahan dan pelayanan sejak awal tahun. Upaya ini akan berdampak kepada laju pertumbuhan ekonomi daerah yang tidak hanya menunjukkan peningkatan di akhir tahun melainkan merata dalam satu tahun. Peningkatan PAD menjadi indikator kemandirian pendanaan daerah dengan seminimal mungkin membebani masyarakat. Sedangkan indikator pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran, kemiskinan, dan inflasi adalah indikator dari kesuksesan daerah dalam memanfaatkan sumber daya yang ada di daerah yang berupa anggaran, sumber daya manusia, sistem, dan potensi lainnya.
Penilaian kinerja tersebut dilakukan terhadap 524 daerah provinsi/kabupaten/kota dari aspek kinerja keuangan dan kinerja ekonomi secara terpisah. Selanjutnya dilakukan penggabungan nilai dan pembobotan selayaknya menetapkan indeks prestasi mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi. Hasil penilaian dapat menunjukkan ranking 1 sampai dengan ranking 524. Suatu daerah dapat unggul dalam dua kinerja yaitu keuangan dan ekonomi, bisa juga unggul hanya dalam satu kinerja, keuangan atau ekonomi saja, namun akumulasinya tetap menunjukkan indeks prestasi yang lebih tinggi dibandingkan daerah lain.

Kota Makassar sebagai Daerah Berprestasi
Dari kriteria kinerja keuangan Kota Makasar menunjukkan prestasinya dengan mempertahankan WDP atas LKPD. Meskipun APBD belum ditetapkan tepat waktu, namun effort untuk meningkatkan PAD diatas rata-rata nasional telah dilakukan selama 3 tahun berturut-turut. Salah satu komponen penting yang mendukung kinerja keuangan Kota Makassar adalah peningkatan IPM diatas rata-rata nasional selama tiga tahun berturut-turut
Kinerja ekonomi dan kesejahteraan Kota Makassar ditunjukkan dari pertum buhan ekonomi daerah selama tiga tahun berturut-turut meningkat diatas rata-rata nasional secara progresif, dalam arti tahun 2006 ke 2007 tumbuh diatas rata-rata nasional dan tahun berikutnya disamping tumbuh diatas rata-rata nasional juga nilai kenaikannya diatas tahun sebelumnya. Kinerja menurunkan angka pengangguran lokal juga memberikan bobot yang optimal bagi Kota Makassar, dalam arti nilai penurunannya lebih baik dari rata-rata nasional dan secara progresif selama tiag tahun berturut-turut. Dari aspek lainnya yaitu penurunan angka pengangguran dan angka inflasi meskipun pencapaiannya belum secara series, namun pada tahun yang diukur Kota Makassar menunjukkan
penurunan kedua angka tersebut lebih baik dari rata-rata angka penurunan nasional.
Berdasarkan pencapaian kinerja tersebut pada tanggal 3 November 2009 menerima sertifikat penghargaan sebagai Daerah Berprestasi yang disampaikan oleh Menteri Keuangan. Dan Selanjutnya berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor : 198/PMK.07/2009 mendapatkan alokasi dana sebesar Rp 26 milyar.

Penghargaan dari Pemerintah Pusat
Kriteria yang ditetapkan untuk mengukur daerah berprestasi bukanlan standar yang mudah untuk dicapai, melainkan memerlukan ketangguhan, kesungguhan, dan konsistensi untuyk mewujudkannya. Oleh karena itu Menteri Keuangan dalam sambutannya menyampaikan bahwa penghargaan ini sebagai wujud apresiasi kepada daerah yang telah menunjukkan prestasinya. Selain itu juga memberikan ucapan selamat kepada 54 daerah yang dinyatakan berprestasi tersebut. Selanjutnya mengajak agar prestasi tersebut dipertahankan bahkan ditingkatkan oleh daerah penerima penghargaan, demikian juga mendorong daerah lain untuk berbuat yang sama. Selain itu disampaikan pula bahwa selain diberikan penghargaan , akan diberikan dana insentif yang berkisar antara Rp 18 miliar sampai Rp 38 miliar, sesuai dengan ranking prestasinya, suatu jumlah yang tidak sedikit untuk tambahan pendapatan APBD. Secara nasional dana insentif daerah tersebut dalam APBN 2010 mencapai lebih dari Rp 1,2 triliun.
Kebijakan ini menunjukkan bahwa Pemerintah tidak hanya dapat memberikan sanksi atau punishment kepada daerah, namun juga bisa memberikan penghargaan atau reward yang dapat dipandang sebagai salah satu upaya Pemerintah bersama DPRRI untuk mendorong mewujudkan clean government dan good governance, yang diharapkan akan menjadi tradisi baru mulai tahun 2010.
(Naskah ini dimuat dalam Harian Tribun Timur, Makassar, hjari Selasa, tanggal 15 Desember 2009 pada halaman 2)

Lebih Banyak Daerah Menerima DBH Cukai dan Implikasinya

Sesuai UU No 39 Th 2007 tentang Cukai, penerimaan dari Cukai Hasil Tembakau (CHT) porsi 2%-nya dikembalikan kepada daerah penghasil CHT sebagai dana bagi hasil CHT (DBH CHT). Mulai tahun 2008 daerah penghasil CHT sebanyak 5 provinsi, yaitu Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Pembagian CHT kepada 5 provinsi beserta daerah kabupaten/kotanya dilakukan juga pada tahun 2009. Namun pada tahun 2010 penerima DBH CHT meningkat menjadi 19 daerah, sebagai akibat dari dikabulkannya tututan daerah penghasil tembakau oleh Mahkamah Konstitusi. Daerah baru penerima DBH CHT sebanyak 14 provinsi adalah Banten, DKI, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, NAD, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Bali, NTB, NTT, dan Sulawesi Selatan.
Menurut teori, dana bagi hasil atau revenue sharing umumnya diberikan hanya kepada daerah penghasil penerimaan negara baik pajak maupun bukan pajak. Namun praktek di Indonesia, dana bagi hasil diberikan selain kepada daerah penghasil, juga diberikan kepada daerah bukan penghasil, yaitu daerah lainnya dalam satu provinsi dengan pembagian secara merata dari persentase tertentu yang diperuntukkan bagi daerah bukan penghasil. Praktek tersebut dapat ditemui dalam DBH sumber daya alam (SDA). Bahkan dalam hal DBH yang bersumber dari penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB) sektor pertambangan minyak dan gas bumi diberikan kepada semua daerah di Indonesia dengan perhitungan tertentu. Pembagian DBH CHT ditetapkan dengan pola ....
Pemberian sebagian DBH CHT kepada daerah penghasil tembakau akhirnya menemukan analogi dengan pemberian DBH SDA dan DBH PBB Sektor Migas. Dengan masuknya daerah penghasil tembakau maka terdapat 4 (empat) type daerah tingkat provinsi dalam kaitannya dengan DBH CHT, yaitu (1) Daerah Penghasil Cukai, seperti Kota Kediri, Kabupaten Kudus; (2) Daerah Penghasil Tembakau, seperti beberapa kabupaten di Jawa Timur dan di Nusa Tenggara Barat, (3) Daerah Penghasilk Cukai dan Tembakau, dan (4) adalah daerah tingkat kabupaten/kota sebagai Daerah Bukan Penghasil Cukai dan Bukan Penghasil Tembakau.
Dengan adanya type-type daerah tersebut maka pembagian DBH CHT yang semula hanya mendasarkan pada besaran penerimaan CHT per daerah, menjadi lebih rumit perhitungannya. Indikator yang digunakan sebagai dasar pembagian per daerah harus mempertimbangkan karakteristik dari type-type daerah tersebut. Selain besaran penerimaan CHT khususnya bagi daerah penghasil cukai, jumlah produksi tembakau (dalam ton) juga digunakan untuk menghitung bagian daerah penghasil tembakau. Demikian juga indikator lain yang relevan dengan type-type daerah tersebut, antara lain data kerugian negara dari hasil penindakan terhadap cukai ilegal.
(Tulisan ini belum selesai, masih akan dilanjutkan, mohon maaf, tunggu sebentar ya)

Jumat, 13 November 2009

Setiap Daerah Mempunyai "Cetakannya" Masing-masing

Dana Perimbangan yang terdiri dari 3 komponen, yaitu DBH, DAU, dan DAK sampai dengan tahun 2007 memunculkan isu bahwa besaran dana per daerahnya dapat diatur sesuai ”kedekatan daerah dengan Pemerintah Pusat”. Sampai dengan tahun 2007 isu ini diperkuat dengan ketentuan bahwa DAU suatu daerah tidak bisa lebih kecil dari DAU tahun 2005. Dengan berbekal ketentuan tersebut oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab memanfaatkannya dengan menjanjikan kepada daerah bahwa DAU-nya akan lebih besar dari DAU tahun sebelumnya. Pejabat daerah yang tidak paham perhitungan DAU umumnya percaya dengan janji tersebut sehingga bersedia untuk menyediakan sejumlah dana untuk “mengurus DAU”. Image Departemen Keuangan menjadi kurang baik dengan olah sejumlah oknum ini.

Formula DAU dalam UU No 33 Tahun 2004 menjamin bahwa setiap daerah mempunyai “cetakannya masing-masing untuk menakar dana perimbangan”. DAU dengan Alokasi dasar, kebutuhan fiskal, dan kapasitas fiskal. DAK dengan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis, sedangkan DBH dengan persentase tertentu dari realisasi PNP dan PNBP yang dibagihasilkan kepada daerah. Memanupulasi perhitungan dana perimbangan dapat dilakukan dengan memanipulasi data dasar formula, kriteria, maupun realisasi dan persentase. Hal ini hampir tidak mungkin dilakukan oleh petugas perhitungan DAU, hal ini terbukti dari audit BPK yang tidak menemukan adanya penyimpangan secara sengaja dari perhitungan DAU, DAK, maupun DBH.

Sampai dengan tahun 2007, kenaikan DAU suatu daerah dikaitkan dengan jasa oknum yang berhubungan dengan Pemerintah Pusat untuk membuat DAU meningkat dengan imbalan tertentu. Praktek seperti ini tidak berlaku lagi pada tahun 2008 dan 2009 dan seterusnya, karena penerapan formula DAU secara murni akan berakibat DAU suatu daerah lebih kecil dari tahun sebelumnya. Disamping itu sosialisasi yang dilakukan dengan lebih transparan dapat dipahami oleh daerah, antara lain dengan (1) membuka perhitungan DAU dan DAK suatu daerah kepada daerah yang membutuhkan penjelasan, (2) menjelaskan secara gamblang kepada daerah yang merasa DAU dan DAKnya lebih kecil dari DAU dan DAK daerah tetangganya, (3) menegaskan bahwa data perhitungan DAU disediakan oleh instansi independent penyedia data dasar DAU, (4) data dasar dan cara perhitungan DAK setiap daerah diaudit oleh aparat internal Depkeu (Itjen) dan BPK. Kesimpulannya adalah bahwa “Daerah sudah mempunyai cetakannya maisng-masing untuk menakar DAU dan DAK”, bahwa “kedekatan daerah dengan pejabat Departemen Keuangan tidak mempengaruhi besaran DAU”.
Penggunaan aplikasi komputer yang selalu dikembangkan dan ditingkatkan akurasinya terakhir dengan nama “Dynamic Model” memungkinkan perhitungan DAU per daerah tidak dapat direkayasa secara manual. Aplikasi DAU ini telah digunakan dalam pembahasan DAU di rapat transfer ke daerah dengan DPR, yang memungkinkan hasil perhitungan DAU yang lebih cepat dan akurat. Untuk menjaga kesahihan perhitungan, setiap simulasi perubahan data dasar dalam formula DAU selalu dikerjakan oleh lebih dari satu orang, bahkan oleh empat orang. Hasil perhitungan akan dianggap benar dan akurat apabila perhitungan yang dillakukan oleh empat orang tersebut menghasilkan angka yang sama persis. (Naskah ini ditulis dalam rangka penyusunan Laporan Kinerja Departemen Keuangan -LKDK Tahun 2004-2009 yang dimuat pada Bagian Depan Bab VI).

Jalan Menuju Kuasa Pengguna Aanggaran (KPA) Transfer Ke Daerah

UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara membawa perubahan terhadap sistem pengelolaan keuangan negara. Perubahan yang mendasar antara lain adalah hubungan antar pengelola keuangan yang semula lebih dengan structural approach menjadi fungsional approach. Pengelola keuangan dengan susunan mulai dari PA, KPA, PPK, dan bendahara pengeluaran tidak harus ditetapkan berdasarkan pendekatan struktural justru menjadi kekuatan dalam pengelolaan keuangan. Suatu kemajuan yang sangat berarti dalam sistem pengelolaan keuangan adalah kewajiban bagi PA/KPA untuk menyusun laporan realisasi anggaran (LRA), sehingga mandat yang diberikan oleh PA (menteri) kepada KPA (a.l. unit eslon I) menjadikan pengelolaan keuangan menjadi semakin komprehensif, mulai dari penunjukkan KPA sampai dengan penyusunan LRA.
Pada saat DJPK ditunjuk sebagai Penyusun LRA, saat itu DJPK tidak serta merta menerima dan melaksanakannya, melainkan meminta syarat bahwa agar tugas tersebut dapat dilaksanakan maka DJPK harus menjadi KPA Transfer ke Daerah. Sebagai KPA DJPK harus mempunyai DIPA Transfer, menerbitkan SPM, menatausahakan SP2D, baru kemudian dapat menyusun LRA. Dampak dari syarat tersebut antara lain (1) Tidak ada DIPA transfer selain yang konsepnya diajukan DPJK dan disahkan oleh DJPB, (2) Tidak ada SPM transfer selain yang diajukan oleh DJPK kepada DJPB, (3) Tidak ada SP2D Transfer yang diterbitkan DJPB selain atas SPM yang diterbitkan DJPK, dan (4) Tidak ada LRA yang dapat disusun dengan benar sebelum SPM dan SP2D Trabfer tersedia dengan tepat waktu, tepat dokumen, dan tepat jumlah realisasi anggaran.
Implikasi dari pesyaratan tersebut antara lain (a) tidak ada DIPA Transfer yang disahkan di daerah (oleh Kanwil DJPB, melainkan oleh DJPB, (b) tidak ada pembahasan Rencana Definitif (RD) anggaran Transfer Ke Daerah khususnya DAK dan spesifik grant lainnya oleh Kanwil DJPB, karena proses DAK telah diintegrasikan dalm mekanisme APBD, (c) tidak ada SPM yang diterbitkan oleh pejabat pemerintah daerah, dan diajukan kepada KPPN setempat, melainkan oleh DPJK, (d) dan tidak ada SP2D yang diterbitkan oleh KPPN setempat, melainkan oleh DJPB. Perubahan ini tidak serta merta dipahami oleh daerah
Persiapan untuk melaksanakan tugas sebagai KPA dimulai dengan pengumpulan nomor rekening kas daerah yang dianggap sebagai kunci dari suksesnya penyaluran Transfer Ke Daerah. Pada waktu itu rata-rata daerah memiliki 10 nomor rekening bahkan lebih untuk menampung dana transfer, sedangkan yang diperlukan hanya satu nomor saja. Pengetahuan tentang pengelolaan sistem perbendaharaan ternyata sangat membantu dengan ditemukannya di Direktorat Sistem Perbendahaan DJPB suatu aplikasi SP2D di KPPN yang memuat seluruh nomor rekening bank penampung DAU pada BPD dan bank umum lainnya. Selanjutnya DJPK memanfaatkan data nomor rekening bank tersebut dengan meminta Bank Indonesia (BI) untuk mengkonfirmasikannya kepada BPD dan bank umum lainnya dalam suatu rapat di BI. Hasil dari rapat koordinasi tersebut cukup menggembirakan dengan terkumpulnya seluruh nomor reking bank penampung DAU.
Penyaluran perdana DAU bulan Januari pada tanggal 2 Januari 2008 sungguh sangat menggembirakan. Kekhawatiran besar bahwa akan terjadi kelambatan penerimaan DAU di daerah, yang akan berdampak keterlambatan pembayaran gaji PNSD ternyata tidak terjadi. Kekhawatiran tersebut sebenarnya cukup wajar karena pelaksanaan penyaluran bersamaan dengan kegiatan tutup tahun buku pada semua bank dan tutup tahun anggaran, dan adanya ketentuan bahwa dana yang disalurkan adalah dana tahun anggaran berjalan (tahun 2008). Dari 484 daerah yang menerima penyaluran DAU atau Dana Penyeimbang DAU, hanya 4 daerah yang mengalami permasalahan, karena kesalahan nomor rekening pada saat pemindahbukuan.
Kesuksesan ini adalah hasil dari koordinasi berbagai pihak yang terkait antara lain, Dit. Sistem Perbendaharaan-DJPB, Dit PKN-DJPB, BPD, bank umum pemerintah lainnya, dan BI, meskipun dalam upaya koordinasi tersebut terjadi beberapa friksi, antara lain kesulitan penyediaan data nomor rekening sebelum ditemukannya data di Dit SP-DJPB. Tanggapan lisan dari beberapa bank umum terhadap penyaluran langsung dari Kas Negara di BI ke Kas daerah, tanpa melalui BO I di daerah (yang diijinkan mengendap satu dua hari sebelum dialihkan ke kas daerah). Selanjutnya dapat dikatakan bahwa Pelaksanaan tugas DJPK sebagai KPA dengan opini WDP dan WTP adalah salah satu pencapaian terbaik setelah reformasi birokrasi di DJPK. (Naskah ini ditulis dalam rangka penyusunan Laporan Kinerja Departemen Keuangan -LKDK Tahun 2004-2009 yang dimuat pada Bagian Depan Bab VI).