Jumat, 13 November 2009

Jalan Menuju Kuasa Pengguna Aanggaran (KPA) Transfer Ke Daerah

UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara membawa perubahan terhadap sistem pengelolaan keuangan negara. Perubahan yang mendasar antara lain adalah hubungan antar pengelola keuangan yang semula lebih dengan structural approach menjadi fungsional approach. Pengelola keuangan dengan susunan mulai dari PA, KPA, PPK, dan bendahara pengeluaran tidak harus ditetapkan berdasarkan pendekatan struktural justru menjadi kekuatan dalam pengelolaan keuangan. Suatu kemajuan yang sangat berarti dalam sistem pengelolaan keuangan adalah kewajiban bagi PA/KPA untuk menyusun laporan realisasi anggaran (LRA), sehingga mandat yang diberikan oleh PA (menteri) kepada KPA (a.l. unit eslon I) menjadikan pengelolaan keuangan menjadi semakin komprehensif, mulai dari penunjukkan KPA sampai dengan penyusunan LRA.
Pada saat DJPK ditunjuk sebagai Penyusun LRA, saat itu DJPK tidak serta merta menerima dan melaksanakannya, melainkan meminta syarat bahwa agar tugas tersebut dapat dilaksanakan maka DJPK harus menjadi KPA Transfer ke Daerah. Sebagai KPA DJPK harus mempunyai DIPA Transfer, menerbitkan SPM, menatausahakan SP2D, baru kemudian dapat menyusun LRA. Dampak dari syarat tersebut antara lain (1) Tidak ada DIPA transfer selain yang konsepnya diajukan DPJK dan disahkan oleh DJPB, (2) Tidak ada SPM transfer selain yang diajukan oleh DJPK kepada DJPB, (3) Tidak ada SP2D Transfer yang diterbitkan DJPB selain atas SPM yang diterbitkan DJPK, dan (4) Tidak ada LRA yang dapat disusun dengan benar sebelum SPM dan SP2D Trabfer tersedia dengan tepat waktu, tepat dokumen, dan tepat jumlah realisasi anggaran.
Implikasi dari pesyaratan tersebut antara lain (a) tidak ada DIPA Transfer yang disahkan di daerah (oleh Kanwil DJPB, melainkan oleh DJPB, (b) tidak ada pembahasan Rencana Definitif (RD) anggaran Transfer Ke Daerah khususnya DAK dan spesifik grant lainnya oleh Kanwil DJPB, karena proses DAK telah diintegrasikan dalm mekanisme APBD, (c) tidak ada SPM yang diterbitkan oleh pejabat pemerintah daerah, dan diajukan kepada KPPN setempat, melainkan oleh DPJK, (d) dan tidak ada SP2D yang diterbitkan oleh KPPN setempat, melainkan oleh DJPB. Perubahan ini tidak serta merta dipahami oleh daerah
Persiapan untuk melaksanakan tugas sebagai KPA dimulai dengan pengumpulan nomor rekening kas daerah yang dianggap sebagai kunci dari suksesnya penyaluran Transfer Ke Daerah. Pada waktu itu rata-rata daerah memiliki 10 nomor rekening bahkan lebih untuk menampung dana transfer, sedangkan yang diperlukan hanya satu nomor saja. Pengetahuan tentang pengelolaan sistem perbendaharaan ternyata sangat membantu dengan ditemukannya di Direktorat Sistem Perbendahaan DJPB suatu aplikasi SP2D di KPPN yang memuat seluruh nomor rekening bank penampung DAU pada BPD dan bank umum lainnya. Selanjutnya DJPK memanfaatkan data nomor rekening bank tersebut dengan meminta Bank Indonesia (BI) untuk mengkonfirmasikannya kepada BPD dan bank umum lainnya dalam suatu rapat di BI. Hasil dari rapat koordinasi tersebut cukup menggembirakan dengan terkumpulnya seluruh nomor reking bank penampung DAU.
Penyaluran perdana DAU bulan Januari pada tanggal 2 Januari 2008 sungguh sangat menggembirakan. Kekhawatiran besar bahwa akan terjadi kelambatan penerimaan DAU di daerah, yang akan berdampak keterlambatan pembayaran gaji PNSD ternyata tidak terjadi. Kekhawatiran tersebut sebenarnya cukup wajar karena pelaksanaan penyaluran bersamaan dengan kegiatan tutup tahun buku pada semua bank dan tutup tahun anggaran, dan adanya ketentuan bahwa dana yang disalurkan adalah dana tahun anggaran berjalan (tahun 2008). Dari 484 daerah yang menerima penyaluran DAU atau Dana Penyeimbang DAU, hanya 4 daerah yang mengalami permasalahan, karena kesalahan nomor rekening pada saat pemindahbukuan.
Kesuksesan ini adalah hasil dari koordinasi berbagai pihak yang terkait antara lain, Dit. Sistem Perbendaharaan-DJPB, Dit PKN-DJPB, BPD, bank umum pemerintah lainnya, dan BI, meskipun dalam upaya koordinasi tersebut terjadi beberapa friksi, antara lain kesulitan penyediaan data nomor rekening sebelum ditemukannya data di Dit SP-DJPB. Tanggapan lisan dari beberapa bank umum terhadap penyaluran langsung dari Kas Negara di BI ke Kas daerah, tanpa melalui BO I di daerah (yang diijinkan mengendap satu dua hari sebelum dialihkan ke kas daerah). Selanjutnya dapat dikatakan bahwa Pelaksanaan tugas DJPK sebagai KPA dengan opini WDP dan WTP adalah salah satu pencapaian terbaik setelah reformasi birokrasi di DJPK. (Naskah ini ditulis dalam rangka penyusunan Laporan Kinerja Departemen Keuangan -LKDK Tahun 2004-2009 yang dimuat pada Bagian Depan Bab VI).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar