Jumat, 13 November 2009
Setiap Daerah Mempunyai "Cetakannya" Masing-masing
Formula DAU dalam UU No 33 Tahun 2004 menjamin bahwa setiap daerah mempunyai “cetakannya masing-masing untuk menakar dana perimbangan”. DAU dengan Alokasi dasar, kebutuhan fiskal, dan kapasitas fiskal. DAK dengan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis, sedangkan DBH dengan persentase tertentu dari realisasi PNP dan PNBP yang dibagihasilkan kepada daerah. Memanupulasi perhitungan dana perimbangan dapat dilakukan dengan memanipulasi data dasar formula, kriteria, maupun realisasi dan persentase. Hal ini hampir tidak mungkin dilakukan oleh petugas perhitungan DAU, hal ini terbukti dari audit BPK yang tidak menemukan adanya penyimpangan secara sengaja dari perhitungan DAU, DAK, maupun DBH.
Sampai dengan tahun 2007, kenaikan DAU suatu daerah dikaitkan dengan jasa oknum yang berhubungan dengan Pemerintah Pusat untuk membuat DAU meningkat dengan imbalan tertentu. Praktek seperti ini tidak berlaku lagi pada tahun 2008 dan 2009 dan seterusnya, karena penerapan formula DAU secara murni akan berakibat DAU suatu daerah lebih kecil dari tahun sebelumnya. Disamping itu sosialisasi yang dilakukan dengan lebih transparan dapat dipahami oleh daerah, antara lain dengan (1) membuka perhitungan DAU dan DAK suatu daerah kepada daerah yang membutuhkan penjelasan, (2) menjelaskan secara gamblang kepada daerah yang merasa DAU dan DAKnya lebih kecil dari DAU dan DAK daerah tetangganya, (3) menegaskan bahwa data perhitungan DAU disediakan oleh instansi independent penyedia data dasar DAU, (4) data dasar dan cara perhitungan DAK setiap daerah diaudit oleh aparat internal Depkeu (Itjen) dan BPK. Kesimpulannya adalah bahwa “Daerah sudah mempunyai cetakannya maisng-masing untuk menakar DAU dan DAK”, bahwa “kedekatan daerah dengan pejabat Departemen Keuangan tidak mempengaruhi besaran DAU”.
Penggunaan aplikasi komputer yang selalu dikembangkan dan ditingkatkan akurasinya terakhir dengan nama “Dynamic Model” memungkinkan perhitungan DAU per daerah tidak dapat direkayasa secara manual. Aplikasi DAU ini telah digunakan dalam pembahasan DAU di rapat transfer ke daerah dengan DPR, yang memungkinkan hasil perhitungan DAU yang lebih cepat dan akurat. Untuk menjaga kesahihan perhitungan, setiap simulasi perubahan data dasar dalam formula DAU selalu dikerjakan oleh lebih dari satu orang, bahkan oleh empat orang. Hasil perhitungan akan dianggap benar dan akurat apabila perhitungan yang dillakukan oleh empat orang tersebut menghasilkan angka yang sama persis. (Naskah ini ditulis dalam rangka penyusunan Laporan Kinerja Departemen Keuangan -LKDK Tahun 2004-2009 yang dimuat pada Bagian Depan Bab VI).
Jalan Menuju Kuasa Pengguna Aanggaran (KPA) Transfer Ke Daerah
Pada saat DJPK ditunjuk sebagai Penyusun LRA, saat itu DJPK tidak serta merta menerima dan melaksanakannya, melainkan meminta syarat bahwa agar tugas tersebut dapat dilaksanakan maka DJPK harus menjadi KPA Transfer ke Daerah. Sebagai KPA DJPK harus mempunyai DIPA Transfer, menerbitkan SPM, menatausahakan SP2D, baru kemudian dapat menyusun LRA. Dampak dari syarat tersebut antara lain (1) Tidak ada DIPA transfer selain yang konsepnya diajukan DPJK dan disahkan oleh DJPB, (2) Tidak ada SPM transfer selain yang diajukan oleh DJPK kepada DJPB, (3) Tidak ada SP2D Transfer yang diterbitkan DJPB selain atas SPM yang diterbitkan DJPK, dan (4) Tidak ada LRA yang dapat disusun dengan benar sebelum SPM dan SP2D Trabfer tersedia dengan tepat waktu, tepat dokumen, dan tepat jumlah realisasi anggaran.
Implikasi dari pesyaratan tersebut antara lain (a) tidak ada DIPA Transfer yang disahkan di daerah (oleh Kanwil DJPB, melainkan oleh DJPB, (b) tidak ada pembahasan Rencana Definitif (RD) anggaran Transfer Ke Daerah khususnya DAK dan spesifik grant lainnya oleh Kanwil DJPB, karena proses DAK telah diintegrasikan dalm mekanisme APBD, (c) tidak ada SPM yang diterbitkan oleh pejabat pemerintah daerah, dan diajukan kepada KPPN setempat, melainkan oleh DPJK, (d) dan tidak ada SP2D yang diterbitkan oleh KPPN setempat, melainkan oleh DJPB. Perubahan ini tidak serta merta dipahami oleh daerah
Persiapan untuk melaksanakan tugas sebagai KPA dimulai dengan pengumpulan nomor rekening kas daerah yang dianggap sebagai kunci dari suksesnya penyaluran Transfer Ke Daerah. Pada waktu itu rata-rata daerah memiliki 10 nomor rekening bahkan lebih untuk menampung dana transfer, sedangkan yang diperlukan hanya satu nomor saja. Pengetahuan tentang pengelolaan sistem perbendaharaan ternyata sangat membantu dengan ditemukannya di Direktorat Sistem Perbendahaan DJPB suatu aplikasi SP2D di KPPN yang memuat seluruh nomor rekening bank penampung DAU pada BPD dan bank umum lainnya. Selanjutnya DJPK memanfaatkan data nomor rekening bank tersebut dengan meminta Bank Indonesia (BI) untuk mengkonfirmasikannya kepada BPD dan bank umum lainnya dalam suatu rapat di BI. Hasil dari rapat koordinasi tersebut cukup menggembirakan dengan terkumpulnya seluruh nomor reking bank penampung DAU.
Penyaluran perdana DAU bulan Januari pada tanggal 2 Januari 2008 sungguh sangat menggembirakan. Kekhawatiran besar bahwa akan terjadi kelambatan penerimaan DAU di daerah, yang akan berdampak keterlambatan pembayaran gaji PNSD ternyata tidak terjadi. Kekhawatiran tersebut sebenarnya cukup wajar karena pelaksanaan penyaluran bersamaan dengan kegiatan tutup tahun buku pada semua bank dan tutup tahun anggaran, dan adanya ketentuan bahwa dana yang disalurkan adalah dana tahun anggaran berjalan (tahun 2008). Dari 484 daerah yang menerima penyaluran DAU atau Dana Penyeimbang DAU, hanya 4 daerah yang mengalami permasalahan, karena kesalahan nomor rekening pada saat pemindahbukuan.
Kesuksesan ini adalah hasil dari koordinasi berbagai pihak yang terkait antara lain, Dit. Sistem Perbendaharaan-DJPB, Dit PKN-DJPB, BPD, bank umum pemerintah lainnya, dan BI, meskipun dalam upaya koordinasi tersebut terjadi beberapa friksi, antara lain kesulitan penyediaan data nomor rekening sebelum ditemukannya data di Dit SP-DJPB. Tanggapan lisan dari beberapa bank umum terhadap penyaluran langsung dari Kas Negara di BI ke Kas daerah, tanpa melalui BO I di daerah (yang diijinkan mengendap satu dua hari sebelum dialihkan ke kas daerah). Selanjutnya dapat dikatakan bahwa Pelaksanaan tugas DJPK sebagai KPA dengan opini WDP dan WTP adalah salah satu pencapaian terbaik setelah reformasi birokrasi di DJPK. (Naskah ini ditulis dalam rangka penyusunan Laporan Kinerja Departemen Keuangan -LKDK Tahun 2004-2009 yang dimuat pada Bagian Depan Bab VI).
Penghargaan dan Hadiah Uang untuk Kota Kupang
Pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan secara diam-diam dalam tahun 2009 ini telah melakukan penilaian terhadap kinerja keuangan daerah dan kinerja ekonomi serta kesejahteraan yang dicapai semua daerah dalam kurun waktu tiga tahun sebelumnya. Berdasarkan penilaian tersebut Kota Kupang bersama dengan 9 daerah provinsi dan 44 daerah kabupaten/kota lainnya mendapatkan predikat sebagai daerah berprestasi.
Kriteria Kinerja Keuangan meliputi : (1) penetapan APBD yang tepat waktu, (2) kenaikan pendapatan asli daerah (PAD) diatas rata-rata nasional, dan (3)pendapat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) dengan kualifikasi wajar dengan pengecualian (WDP) atau wajar tanpa pengecualian (WTP), dan (4) kapasitas fiskal dibawa rata-rata nasional namun indeks pembangunan IPM diatas rata-rata nasional. Sedangkan Kinerja ekonomi dan kesejahteraan meliputi : (1) peningkatan pertumbuhan ekonomi lokal diatas rata-rata nasional, (2) penurunan angka inflasi daerah, (3) penurunan angka kemiskinan, dan (4) penurunan angka pengangguran yang lebih baik dari rata-rata penurunan secara nasional.
Penyelesaian APBD 2009 dinilai tepat waktu apabila APBD telah ditetapkan sebelum berakhirnya tahun anggaran alias paling lambat tanggal 31 Desember 2008 . Penilaian ini tidak terbatas pada APBD tahun 2009, melainkan juga mengenai APBD dua tahun sebelumnya yaitiu APBN 2007 dan APBD 2008. Daerah yang berhasil tepat waktu tiga tahun berturut-turut akan mendapatkan bobot nillai yang lebih tinggi dari pada dua tahun berturut-turut atau hanya satu tahun.
Penilaian terhadap kinerja PAD dilakukan terhadap upaya untuk selalu meningkatkan PAD yang terlihat dari persentase kenaikan PAD diatas rata-rata nasional. Daerah yang mempunyai bobot nilai yang tinggi apabila secara progressif PAD meningkat diatas rata-rata nasional, bahkan persentase peningkatkan tahun terakhir diatas pencapaian sebelumnya.
Penilaian kinerja tersebut dilakukan terhadap 524 daerah provinsi/kabupaten/kota dari aspek kinerja keuangan dan kinerja ekonomi secara terpisah. Selanjutnya dilakukan penggabungan nilai dan pembobotan selayaknya menetapkan indeks prestasi mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi. Hasil penilaian dapat menunjukkan ranking 1 sampai dengan ranking 524. Suatu daerah dapat unggul dalam dua kinerja yaitu keuangan dan ekonomi, bisa juga unggul hanya dalam satu kinerja, keuangan atau ekonomi saja, namun akumulasinya tetap menunjukkan indeks prestasi yang lebih tinggi dibandingkan daerah lain.
Dari kriteria kinerja keuangan Kota Kupang menunjukkan prestasinya dengan tetap mempertahankan kualifikasi WDP atas LKPD-nya, IPM tinggi, meskipun APBD belum tepat waktu dan kenaikan PAD belum melampaui rata-rata nasional. Dari kinerja ekonomi dan kesejahteraan pertumbuhan ekonomi meningkat secara progresif diatas rata-rata nasional. Angka kemiskinan dan pengangguran turun lebih baik dari rata-rata nasional, bahkan angka inflasi lokal menurun secara progressif lebih baik dari rata-rata nasional.
Menteri Keuangan dalam sambutannya menyampaikan bahwa penghargaan ini sebagai wujud apresiasi kepada daerah yang telah menunjukkan prestasinya. Selain itu juga memberikan ucapan selamat kepada 54 daerah yang dinyatakan berprestasi tersebut. Selanjutnya mengajak agar prestasi tersebut dipertahankan bahkan ditingkatkan oleh daerah penerima penghargaan, demikian juga mendorong daerah lain untuk berbuat yang sama. Selain itu disampaikan pula bahwa selain diberikan penghargaan , akan diberikan dana insentif yang berkisar antara Rp 18 miliar sampai Rp 38 miliar, sesuai dengan ranking prestasinya, suatu jumlah yang tidak sedikit untuk tambahan pendapatan APBD. Secara nasional dana insentif daerah tersebut dalam APBN 2010 mencapai lebih dari Rp 1,2 triliun.
Kebijakan ini menunjukkan bahwa Pemerintah tidak hanya dapat memberikan sanksi atau punishment kepada daerah, namun juga bisa memberikan penghargaan atau reward yang dapat dipandang sebagai salah satu upaya Pemerintah bersama DPRRI untuk mendorong mewujudkan clean government dan good governance, yang diharapkan akan menjadi tradisi baru mulai tahun 2010. (Tulisan ini dimuat dalam Harian Umum Timor Express tgl 11/11/2009)
Rabu, 16 September 2009
Kamis, 16 Juli 2009
Formula DAU - Perkembangan Bobot
Lihat Tabel Perkembangan klik di sini
DAU sebagai equalization grant selalu diupayakan dari tahun ke tahun agar dapat menunjukkan indikasi pemerataan yang paling baik. Instrumen yang dipakai adalah Williamson Index (WI) dengan angka yang semakin mendekati nol yang dianggap semakin baik atau semakin merata. Dalam Tabel terlampir dapat dilihat WI dari tahun 2006 s/d 2009 yang diperoleh dari penerapan Formula dengan bobot-bobot tertentu untuk setiap komponen formula. Pembobotan pada komponen Alokasi Dasar, Kebutuhan Fiskal, dan Kapasitas Fiskal adalah upaya untuk mendapatkan pemerataan yang paling baik yang ditunjukkan dari WI yang dicapai.
Idealnya dari tahun ke tahun WI semakin kecil, namun kondisi ini sulit dicapai karena banyaknya variabel yang berubah dari formula DAU, bahkan semua komponen tidak ada yang konstan. Jumlah daerah penerima DAU bertambah sejalan dengan ditetapkannya penambahan daerah pemekaran atau daerah otonom baru (DOB), besaran DAU Nasional berubah, Besaran belanja gaji PNSD meningkat, semua item kebutuhan fiskal berubah, demikian juga item dari kapasitas fiskal, termasuk juga perubahan pada total belanja daerah. Oleh karena itu WI suatu tahun tidak dikaitkan dengan WI tahun sebelumnya, melainkan yang lebih penting adalah WI terbaik pada tahun yang bersangkutan, meskipun juga belum tentu ditunjukkan dengan angka indeks yang paling rendah.
Pembahasan alokasi DAU nasional maupun per daerah tidak sekedar dengan financial approach, melainkan juga political approach. Penetapan formula DAU yang digunakan untuk membagi besaran DAU Nasional selama ini selain WI-nya relatif rendah, juga pertimbangan lainnya seperti (1) daerah yang mengalami penurunan DAU dibanding tahun lalu relatif sedikit, (2) peningkatan dan penurunan DAU suatu daerah tidak signifikan dibanding DAU tahun sebelumnya.
Kamis, 26 Februari 2009
Transparansi perhitungan DBH Migas
(1) Dana Bagi Hasil Migas – grant atau revenue sharing.
PERTANYAAN:
Eksistensi filosofi dari apa yang disebut dengan bagi hasil pusat dan daerah khusus untuk migas, apakah itu grand atau real share? Kita ingin tahu menurut Bapak filosofinya itu seperti apa?
JAWABAN:
Secara normative terdapat dua pengertian dana bagi hasil (DBH) yang satu sama lain saling melengkapi. DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu. Definisi yang pertama setelah rangkaian kalimat tersebut masih ditambahkan dengan frase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, sedangkan definisi yang kedua ditambahkan dengan frase dengan memperhatikan potensi daerah penghasil
Pertanyaan khusus untuk migas apakah itu grant atau real share, kiranya perlu diluruskan, bahwa DBH secara harafiah sudah jelas adalah dana bagi hasil, baik untuk migas maupun sumber daya alam (SDA) lainnya sama – dana bagi hasil. Pengertian dana bagi hasil dicerminkan dari frase “yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu”. Prinsipnya adalah memperhatikan daerah penghasil atau by origin , bahwa daerah yang menghasilkan SDA (atau daerah penghasil) mendapatkan porsi yang lebih besar dari pada daerah yang bukan penghasil dan pembagiannya berdasarkan realisasi penerimaan dari sektor SDA yang disetorkan oleh kontraktor.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, DBH adalah salah satu instrument dana perimbangan dalam rangka perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah agar bersama-sama dengan dana perimbangan yang lain dapat digunakan oleh daerah untuk mendanai sebagian kewenangan yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah (money follows fuction).
DBH dimaksudkan untuk mengurangi baik vertical imbalance (kesenjangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah) mapun horizontal imbalance (kesnjangan antar daerah). Vertical imbalance diwujudkan dengan pembagian dengan porsi yang wajar antara pemerintah pusat dengan daerah penghasil, sedangkan horizontal imbalance diwujudkan dengan pembagian secara merata bagi daerah bukan penghasil yang berada di dalam wilayah provinsi yang sama dengan daerah penghasil.
Pembagian dengan porsi pemerintah yang lebih besar dari porsi daerah dapat dipahami karena pemerintah harus mendanai kewajiban dan kewenangan yang lebih besar yang tidak dapat dilimpahkan kepada daerah antara lain di sektor pertahanan, sektor keamanan, sektor keuangan dan moneter (antara lain membayar utang dalam maupun luar negeri), sektor hukum dan peradilan, dan sektor agama.
(2) Transparansi perhitungan DBH Migas vs perhitujngan DAU dan DAK
PERTANYAAN:
Terkait dengan transparansi, apakah yang tidak transparan hanya khusus bagi hasil migas saja, mengingat hitung-hitungannya yang rumit, bagaimana dengan perhitungan dana perimbagan yang lain seperti DAU dan DAK?
JAWABAN:
Adanya pendapat bahwa terjadi perhitungan yang tidak transparan dalam DBH Migas tidak relevan jika dikaitkan dengan perhitungan yang rumit, apalagi dalam zaman dengan teknologi informasi yang tinggi hampir tidak ada yang rumit. Transparansi lebih relevan dihubungkan dengan keterbukaan dalam perhitungan, yang ditandai dengan (a) penetapan porsi yang wajar untuk masing-masing pihak yang telah disepakati dalam peraturan perundang-undangan, (b) kewajiban untuk melaksanakan rekonsiliasi untuk menghitung penerimaan dari setoran SDA antara pemerintah pusat dengan daerah sebelum maupun sesudah melakukan pembagian dana, (c) data setoran disediakan oleh institusi yang berwenang, yaitu pihak yang menerima dan menatausahakan setoran (yang mewakili fungsi kas Negara), pihak yang akan menerima pembagian (pemerintah pusat dan daerah), dan data dari pihak yang melaksanakan setoran. Hasil perhitungan DBH SDA adalah obyek audit oleh BPK dan Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan
Perhitungan DAU didasarkan pada data yang disediakan oleh lembaga pemerintah yang berwenang melaksanakan fungsi statistik. Departemen Keuangan melakukan perhitungan DAU berdasarkan data masing-masing daerah yang disediakan oleh BPS, Departemen Dalam Negeri bersama Bakosurtanal, dan Departemen Keuangan sendiri, bahkan data dari daerah sendiri yang sudah diaudit oleh BPK. Pemerintah melakukan perhitungan berdasarkan fornula DAU yang telah ditetapkan dengan undang-undang dan peraturan pemerintah, serta kebijakan tahunan yang disepakati antara pemerintah dengan DPR dalam rangka pembahasan RUU APBN. Seperti yang terjadi dalam perhitungan DBH SDA Hasil perhitungan DAU adalah obyek audit oleh BPK dan Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan.
Sebagai analogi dengan perhitungan yang dilakukan dalam DBH SDA dan DAU, dalam perhitungan DAK-pun pemerintah melaksanakan dengan mekanisme yang jelas dan terbuka berdasarkan data yang disediakan oleh lembaga yang berwenang menyediakan data statistik, serta data teknis yang disediakan oleh kementerian/ lembaga yang terkait dengan pengelolaan DAK.
(3) Rekonsiliasi PNBP/DBH Migas sebagai alat transparansi
PERTANYAAN :
Bagaimana Bapak mensiasati agar transparansi dalam bagi hasil ini dapat dikontrol, karena peran Bapak ada di ujung dari rangkaian perhitungan bagi hasil, apakah menurut Bapak rapat rekonsiliasi dirasa sudah cukup ?
JAWABAN :
Dari uraian sebelumnya sudah cukup jelas bahwa kedudukan Departemen Keuangan yang diwakili oleh DJPK adalah sebagai Unit Pengguna Data yang disediakan oleh lembaga pemerintah yang berwenang. Mekanisme rekonsiliasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor SDA adalah salah satu mekanisme pengendalian transparansi. Selama ini pembahasan yang dihadiri hampir semua stakeholders setiap triwulan barangkali dinilai inefficient, time consuming, maupun energy consuming, oleh karena itu mulai tahun 2008 DPR bersama pemerintah telah menyepakati bahwa penyaluran DBH SDA dapat dilakukan dengan pentahapan Triwulan I 20%, Triwulan II 20% dari alokasi DBH SDA masing-masing daerah yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK), keduanya tanpa didahului dengan rekonsiliasi PNBP SDA, baru Triwulan III dan Triwulan IV masing-masing melalui mekanisme rekonsiliasi sebelum dilakukan penyaluran, dengan memperhitungkan penyaluran yang sudah dilakukan pada triwulan sebelumnya.
Langkah penyederhanaan ini disamping akan memberikan kepastian pemasukan dana ke rekening Kas Daerah juga akan memberikan kesempatan bagi penyedia data untuk menyiapkan data dengan waktu yang lebih longgar, sehingga kualitas rapat rekonsiliasi akan menjadi meningkat. Rapat rekonsiliasi ini akan lebih meningkat kalitasnya dan cukup dapat dipakai untuk perhitungan DBH SDA sepanjang semua stakeholders yang berkompeten menyediakan data dapat secara jernih dan terbuka saling mengkoreksi dan melengkapi data, sehingga DJPK sebagai pengguna data untuk melakukan pembagian dapat mempertanggungjawabkan tugasnya yang merupakan ujung dari mekanisme rekonsiliasi.
Perlu kiranya dikemukakan kembali bahwa penyaluran DBH SDA bukan merupakan tahap akhir dari rekonsiliasi karena proses rekonsiliasi juga akan diaudit oleh Inpektorat Jenderal Departemen Keuangan, dan pada kesempatan yang berbeda juga oleh BPK. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa rekonsiliasi adalah salah satu cara untuk mewujudkan transparansi.
Transparansi juga diwujudkan dengan mengakomodasikan setiap dokumen setoran tahun lalu yang baru dapat diidentifikasi peruntukannya atau daerah penghasilnya dalam tahun berjalan, sehingga hak daerah yang belum dipenuhi pada tahun lalu tetap dapat dibayarkan dalam tahun berjalan. Demikian juga apabila terbukti adanya kekurangan salur atau kesalahan salur selalu dapat dikoreksi pada tahun berikutnya, bahkan kalaupun belum tersedia anggarannya dalam APBN tahun berjalan, maka diupayakan untuk mendapatkan persetujuan DPR pada pembahasan APBN-Perubahan.
(4) Perhitungan PNBP Migas dan DBH Migas oleh 2 Unit yang berbeda, semakin baik kah?
PERTANYAAN :
Sebagaimana diketahui sejak tahun 2007, penyaluran DBH SDA Migas dilaksanakan oleh Ditjen Perimbangan Keuangan, sementara perhitungan DBH SDA Migas tersebut sampai memperoleh hasil PNBP masih tetap dilaksanakan oleh Dit. PNBP Ditjen Anggaran. Menurut Bapak apakah cara ini lebih baik atau malah kemunduran. Mohon pendapat Bapak.
JAWABAN :
Tahun 2007 adalah masa transisi pelaksanaan tugas DJPK yang merupakan unit yang terpisah dari Direktorat Jenderal Anggaran (DJA). Ide dari pemisahan ini antara lain adalah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan transparansi. DJA yang diwakili oleh Direktorat PNBP berwenang atas kebijakan PNBP dan penyediaan data perkiraan PNBP termasuk PNBP SDA, Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB) berwenang terhadap penerimaan setoran PNBP dan penyediaan data realisasi PNBP, sedangkan DJPK yang diwakili oleh Direktorat Dana Perimbangan diberi kewenangan untuk membagi dana kepada daerah sesuai ketentuan.
Sebagai unit yang mengemban tugas baru, proses pembelajaran tentu harus dilalui. Kekurangan yang terlihat sejak proses rekonsiliasi Triwulan I sampai dengan penyaluran DBH SDA Triwulan IV adalah dalam rangka proses pembelajaran tersebut. Namun saya melihat perkembangan yang semakin membaik dalam pelayanan penyaluran DBH-SDA. Target yang kelihatan sederhana namun cukup sulit dilaksanakan adalah melakukan penyaluran sebanyak 4 kali (4 triwulan) dalam tahun 2007, dan ini sudah dilaksanakan dengan cukup baik, apabila dibandingkan dengan sebelumnya. Dibandingkan dengan masalah menyiapkan SDM di DJPK dalam memahami DBH SDA, masalah koordinasi antar stakeholder jauh lebih sulit. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila salah satu butir kebijakan dalam DBH SDA yang dimuat dalam Laporan Panitia Kerja Belanja Ke Daerah dalam rangka Pembahasan RUU-APBN 2008 adalah meningkatkan koordinasi antar unit yang terkait.
Secara bertahap pola kerja tersebut tentu akan dilaksanakan dengan lebih baik. Hal yang sama terjadi juga dalam penerimaan perpajakan. Selama ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melaksanakan kebijakan perpajakan dan penyediakan data perkiraan pajak, DJPB melakukan penerimaan setoran / realisasi pajak melalui Kas Negara, sedangkan DJPK akan melakukan pembagian pajak kepada daerah. Dengan mekanisme check and balance seperti ini akan menjadi lebih baik dengan dukungan standar operasi dan prosedur (SOP) yang telah disusun dan dilaksanakan dengan baik.
(5) Daerah tidak ikut menanggung subsidi BBM? Benarkah?
PERTANYAAN :
Komentar Bapak tentang pendapat atau paradigma dari sebagian orang yang mengatakan bahwa daerah tidak ikut menanggung subsidi BBM, bagaimana?
JAWABAN :
Menurut pendapat saya semua rakyat Indonesia yang membayar pajak turut menanggung Subsidi BBM, karena pendapatan negara sebagian besar masih didukung dari penerimaan sektor perpajakan. Sebagian dari penerimaan tersebut untuk membiayai subsidi BBM. Oleh karena itu daerah yang turut dengan aktif mengintensifkan penerimaan perpajakan akan memberikan sumbangan terhadap subsidi BBM, terlebih lagi daerah yang juga penghasil SDA memberikan andil yang besar dalam pendapatan negara.
Dalam APBN 2007 terlihat bahwa Penerimaan Perpajakan masih mendominasi Penerimaan Dalam Negeri dengan 71,3% atau sebesar 65,4% dari seluruh Belanja Negara. Dalam APBN 2007 tercatat bahwa keseluruhan subsidi (diantaranya adalah Subsidi BBM) mengambil porsi 14% dari Belanja Negara. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa semua rakyat yang membayar pajak dan daerah yang mendorong peningkatan penerimaan perpajakan turut menanggung subsidi BBM, yang merupakan bagian dari Belanja Negara.
(6) Penggunaan dana Cost Recovery
PERTANYAAN:
Pendapat Bapak tentang penggunaan dana cost recovery.
JAWABAN:
Yang dapat saya sampaikan adalah bahwa DJPK tidak menerima laporan tentang penggunaan dana cost recovery perusahaan migas dan tidak berwenang melakukan evaluasi. Kiranya kita semua maklum bahwa permasalahan cost recovery ini bukan semata-mata persoalan Departemen Keuangan, melainkan masalah semua kementerian/lembaga yang terkait dengan pengelolaan minyak dan gas bumi – masalah pemerintah bahkan juga menjadi permasalah lembaga legislatif. Oleh karena itu penyelesaiannya tidak cukup hanya oleh Departemen Keuangan, melainkan seluruh kementerian/lembaga yang terkait.
(7) Tentang Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM)
PERTANYAAN:
Apa pendapat Bapak tentang keberadaan FKDPM?
JAWABAN:
Saya sangat percaya bahwa FKDPM dibentuk dengan niat dan tujuan yang baik untuk kemaslahatan daerah, khususnya daerah penghasil migas. Niat dan tujuan yang mulia dari FKDPM bisa terwujud jika FKDPM secara proporsional dapat memandang permasalahan bukan saja dari persepsi daerah penghasil namun juga dari persepsi pemerintah pusat memandang permasalahan DBH SDA Migas, sehingga keberadaan FKDPM dapat menjembatani antara kebutuhan dan hak daerah dengan kewajiban pemerintah pusat kepada daerah.
Pemahaman yang lebih mendalam terhadap pengetahuan dan peraturan perundangan terkait dengan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal akan membuat FKDPM sebagai suatu lembaga konsultasi yang bukan hanya akan mendapatkan kepercayaan dari daerah penghasil, melainkan juga akan mendapatkan perhatian dari pemerintah jika mampu menyampaikan informasi dan aspirasi daerah penghasil secara proporsional dan wise.
Senin, 23 Februari 2009
Realisasi DBH SDA yang merosot dan pengaruhnya terhadap APBD
Kita ambil satu komponen DBH yang dalam beberapa tahun terakhir selalu lebih rendah dari perkiraannya, yaitu DBH Perikanan. Berbeda dengan sifat DBH lainnya, DBH ini cukup unik, (1) tidak kenal daerah penghasil yang spesifik, dan (2) dibagi rata kepada semua daerah kabupaten/kota. Karena sifatnya inilah barangkali departemen teknis merasa tidak memiliki "greget" untuk meningkatkan PNBP, antara lain hampir karena tidak ada daerah yang "mengejar" data PNBP/DBH karena daerah tidak ikut memiliki. Hal ini berbeda dengan DBH yang lain dimana status daerah penghasil menjadikan suatu daerah sangat ingin tahu hasil yang akan dibagi.
Data tahun 2006 sd 2009 menunjukkan bahwa target PNBP Perikanan merosot gradually dari Rp250 M (100%) ke Rp200 M (80%) menjadi Rp 150 M (60%), yang lebih menyedihkan lagi pencapaian realisasi PNBP-nya merosot tajam dari Rp200 (100%) hanya tercapai Rp197 M (78,8%), tahun berikutnya menurun hanya mencapai Rp116 M (46,3%), selanjutnya turun lagi menjadi Rp78 M (39,2%). DBH Perikanan adalah porsi 80% dari realisasi PNBP-nya. Pada tahun 2008 dari pagu DBH sebesar Rp160 M hanya tercapai Rp 63 M, padahal menurut ketentuan DBH triwulan I dan II harus disalurkan 40% atau Rp 64 M sebelum terlihat berapa realisasi PNBP-nya. Akibatnya terjadi kelebihan salur sebesar sekitar Rp1,3 M atau sekitar Rp5 juta per daerah. Boro-boro impas atara pagu DBH dengan realisasinya malah utang !. Apakah kondisi seperti ini akan dibiarkan terus?. B agaimana tanggungjawab departemen tehnis terkait ?.
Kondisi ini terjadi juga pada realisasi DBH SDA Pertambangan Umum, secara keseluruhan DBH Pertambangan Umum kelihatan tidak terlalu banyak mengalami penurunan, namun rincian DBH per daerah terlihat perencanaan yang kurang baik. DBH di beberapa daerah menunjukkan lebih salur karena perkiraan per daerah yang terlalu optimis. Pola penyaluran transfer triwulan I dan triwulan II masing-masing 20% tanpa melihat realisasi juga turut andil dalam menciptakan lebih salur atau utang daerah. Tujuan yang semula dimaksudkan untuk memihal kepada daerah dalam arti memberikan kepastian waktu dan besaran masuknya pendapatan ternyata belum menunjukkan hasil yang diharapkan.
Dilain pihak peran daerah agar dapat membantu dalam perencanaan dan pencapaian target PNBP belum ditanggapi semua daerah dengan cukup wajar. Kepercayaan daerah bahwa mereka mempunyai peran rupanya belum tumbuh. Peran daerah sebaiknya diawali dengan hubungan yang baik antara pemerintah daerah dengan pada kontraktor pertambangan umum. HUbungan ini akan membantu pemerintah daerah mendapatkan akses untuk data rencana produksi, mendapatkan copy dokumen setoran landrent maupun royalty. Terlebih lagi apabila pemerintah provinsi berperan aktif menkoordinasikan hubungan yang harmonis antara kabupaten/kota di wilayahnya dengan para kontraktor/pengusaha pertambangunan umum. Informasi yang diperoleh dari koordinasi ini akan sangat bermafaat bagi Dep ESDM dalam merencanakan PNBP/DBH pertambangan Umum per daerah.
Barangkali kita boleh berasumsi bahwa daerah yang memnyampaikan hasil koordinasi tersebut kepada Dep ESDM mestinya terhindar dari lebih salur, karena perencanaan yang lebih baik berdasarkan data yang dapat dipercaya. Seyogyanya kita buktikan.