Rabu, 28 Maret 2012

APBN-Perubahan 2012, Mengapa Pagu DAU Tidak Berubah?

Pagu DAU Dalam APBN Besaran Pagu DAU Nasional dalam APBN ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto (PDN-Neto). Sejak UU No33 Tahun 2004 dilaksanakan, ketentuan tersebut direalisasikan dengan sangat disiplin, artinya besaran DAU tidak kurang dari 26% dari PDN-Neto. Masalahnya adalah telah terjadi perubahan dalam mendefinisikan PDN-Neto. Pasal 27 UU No33 Tahun 2004 mendefinisikan PDN Neto sebagai pendapatan dalam negeri setelah dikurangi dengan pendapatan yang dibagihasilkan. Frasa ‘pendapatan yang dibagihasilkan’ yang kemudian didefinisikan dalam UU APBN sebagai ‘termasuk subsidi-sudsidi’. Masalah tersebut kemudian dianggap clear karena di kemas dalam UU APBN sebagai UU lex specialist. Hal lain menyangkut besaran Pagu DAU Nasional yang selalu muncul adalah besaran DAU pada saat pembahasan RAPBN-Perubahan, apakah besaran DAU berubah apabila besaran PDN-Neto berubah?. Aspek Legalitas Sejak UU 33 Tahun 2004 diberlakukan, besaran DAU tidak berubah selama satu tahun anggaran, artinya perubahan PDN-Neto dalam APBN-Perubahan tidak menyebabkan perubahan Pagu DAU, dengan data sebagai berikut: Tahun 2005 APBN Rp 88,77T APBNP Rp 88,77T Tahun 2006 APBN Rp145,66T APBNP Rp145,66T Tahun 2007 APBN Rp164,79T APBNP Rp164,79T Tahun 2008 APBN Rp179,51T APBNP Rp179,51T Tahun 2009 APBN Rp186,41T APBNP Rp186,41T Tahun 2010 APBN Rp192,49T APBNP Rp192,49T Tahun 2011 APBN Rp225,53T APBNP Rp225,53T Pasal 27 UU Nomor 33/2004 Ayat (1) menetapkan jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26 persen dari PDN Neto yang ditetapkan dalam APBN. Terminologi APBN dalam pasal ini dapat dikemukakan dalam 2 (dua) penafsiran: 1. APBN sebagai APBN Awal/Induk 2. APBN sebagai APBN Perubahan Apabila terminologi tersebut penafsirannya adalah APBN Awal/Induk maka Pagu DAU dalam APBN Perubahan sebagaimana telah dilaksanakan pada APBN 2005 s/d 2011, sedangkan apabila yang dimaksud adalah APBN Perubahan maka Pagu DAU kemungkinan akan berubah menjadi lebih besar atau lebih kecil tergantung dari besaran PDN-Neto. Namun demikian apabila dicermati Pasal 24 UU 33 Tahun 2004 ternyata undang-undang tersebut membedakan antara terminologi APBN (pada ayat 1) dengan terminologi APBN Perubahan (pada ayat 2), maka seharusnya tidak perlu terdapat 2(dua) penafsiran, melainkan telah menjadi jelas bahwa APBN yang dimaksud dalam Pasal 27 adalah APBN Induk/Awal, artinya DAU pada APBN Perubahan besarannya sama dengan DAU pada APBN Induk/Awal. Dampak Apabila Pagu DAU berubah sesuai dengan perubahan PDN-Neto maka perubahan tersebut akan berdampak pada: a. Pagu Dana Otonomi Khusus (yang perhitungannya 2 x 2% X Pagu DAU Nasional) b. Besaran Anggaran Pendidikan (20% dari belanja APBN) akan berubah sebagai akibat dari perubahan DAU dan Dana Otonomi Khusus. c. Besaran defisit APBN sebagai akibat perubahan belanja yang disebabkan perubahan besaran DAU, Dana Otsus, dan Anggaran Pendidikan.

Jumat, 06 Januari 2012

Kapasitas Fiskal, Satu Nama Banyak Magna ?.

Masalah Bahasa.

Suatu saat datanglah seseorang ke DJPK untuk yang menanyakan “Mengapa kapasitas Fiskal yang digunakan dalam penentuan pinjaman daerah berbeda dengan kapasitas fiskal yang digunakan dalam perhitungan DAK ?”. Pertanyaan ini bisa dikatakan jeli, namun bisa juga dikatakan kurang teliti.

Bahasa Inggris Fiscal Capacity diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, paling tidak ke dalam dua terminologi yaitu Kemampuan Keuangan dan Kapasitas Fiskal. Sayangnya, sejauh ini saya dengar lebih banyak orang yang menyebut “kapasitas fiskal” termasuk untuk menyebut “kemampuan keuangan daerah”. Masalah bahasa inilah yang kemudian merancukan arti dari terminologi masing-masing.
Pendekatan aspek hukum.

Kejelasan arti dari setiap terminologi dapat didekati dari aspek hukum (peraturan perundangan yang memuat terminologi tersebut). Pendekatan ini yang kemudian dapat digunakan sebagai acuan bagaimana sebaiknya menyebut terminologi yang benar. Tingkatan peraturan perundangan yang bisa ditelusuri adalah mulai dari undang-undang (UU), peraturan pemerintah (PP), sampai pada peraturan Menteri Keuangan (PMK), sebagai berikut:
1. Kapasitas Fiskal untuk DAU didasarkan pada Pasal 27 (3) dan 28 (3) UU No 33 Tahun 2004 dan PP No55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan
2. Kemampuan Keuangan Daerah untuk perhitungan DAK dimuat dalam Pasal 40 (2) UU no33 Tahun 2004 dan Penjelasannya dan PP no55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan
3. Kapasitas Fiskal yang digunakan dalam pinjamkan daerah didasarkan pada Pasal 1 PMK Nomor 73/PMK.02/2006 tentang Peta Kapasitas Fiskal Dalam Rangka Penerusan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah Kepada Daerah Dalam Bentuk Hibah.
4. Kemampuan Fiskal Daerah yang digunakan dalam perencanaan pendanaan urusan bersama untuk penanggulangan kemiskinan untuk tahun 2012 telah ditetapkan dengan PMK No 66/PMK.07/2011 tentang Indeks Fiskal dan Kemiskinan Daerah Dalam Rangka Perencanaan Pendanaan Urusan Bersama untuk Penanggulangan Kemiskinan Tahun 2012.
Untuk menjelaskan perbedaan diantara keempat terminologi tersebut perlu dibedakan dalam penyebutannya, yaitu (1) Kapasitas Fiskal untuk DAU, (2) Kapasitas Fiskal untuk DAK yang seharusnya disebut sebagai Kemampuan Keuangan Daerah, (3) Kapasitas Fiskal untuk Pinjaman Daerah, dan (4) Kemampuan Fiskal untuk pendanaan urusan bersama.
Kapasitas Fiskal untuk DAU
Dana Alokasi Umum (DAU) dalam sistem perimbangan keuangan yang diatur dalam UU No33 Tahun 2004 yang mengamanatkan bahwa DAU suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Selanjutnya terminologi Kapasitas Fiskal dimuat dalam 2 pasal sebagai berikut:
• Pasal 27 (3) “Celah Fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah”
• Pasal 28 (3) “Kapasitas Fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil”

Kemampuan Keuangan Daerah untuk DAK.
Dalam perhitungan DAK dikenal menggunakan 3 (tiga) kriteria yaitu Kriteria Umum, Kriteria Khusus, dan Kriteria Teknis. Kapasitas Fiskal untuk keperluan perhitungan DAK per daerah digunakan dalam hubungannya dengan penentuan Kriteria Umum (KU)*. KU adalah penjumlahan dari PAD, DAU, DBH Pajak, dan DBH SDA dikurangi DBH Dana Reboisasi, dikurangi Belanja Pegawai.
UU No33 Tahun 2004 mengamanatkan dalam Pasal 40 sebagai berikut:
(1) Pemerintah menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis.
(2) Kriteria Umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD

Selanjutnya PP No55 Tahun 2005 pada Pasal 55 mengatur sebagai berikut:
(1) Kriteria umum dirumuskan berdasarkan kemampuan keuangan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah.
(2) Kemampuan keuangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung melalui indeks fiskal netto

Rumus yang biasa digunakan mengukur kriteria umum yang mencerminkan kemampuan keuangan daerah adalah sebagai berikut: KU = PAD + DAU + (DBH – DBH DR) – Belanja Gaji PNSD

Kapasitas Fiskal untuk Pinjaman Daerah

Kapasitas Fiskal untuk Pinjaman Daerah adalah rasio antara penjumlahan PAD, DBH, DAU, Lain-lain Pendapatan Daerah dikurangi Belanja Pegawai dengan jumlah penduduk miskin, dengan formula :
KF (untuk Pinjaman Daerah) = {PAD + DBH + DAU + Lain-lain Pendapatan) – Belanja Pegawai Daerah} : Jumlah Penduduk Miskin.
Rumusan tersebut didasarkan pada pengaturan dalam PP No 73/PMK.02/2006 sebagai berikut:

Pasal 1 mengatur :
(1) Kapasitas Fiskal adalah gambaran kemampuan keuangan Daerah yang dicerminkan melalui pendapatan daerah (tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat, dana pinjaman lama, dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu) dikurangi dengan belanja pegawai, dan dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin.
(2) Peta Kapasitas Fiskal adalah pengelompokan Daerah berdasarkan kapasitas fiskal menjadi empat kelompok yaitu Daerah berkapasitas fiskal sangat tinggi, tinggi, sedang, dan rendah.

Pasal 3 mengatur :
(1) Peta Kapasitas Fiskal dibentuk melalui 2 (dua) tahap yaitu:
a. penghitungan kapasitas fiskal masing-masing Daerah provinsi danDaerah kabupaten/kota;
b. penghitungan indeks kapasitas fiskal Daerah provinsi dan kabupaten/kota.
(2) Penghitungan kapasitas fiskal masing-masing Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, didasarkan pada formula (tersebut diatas)

Kemampuan Fiskal untuk Pendanaan Urusan Bersama

Terminologi Kemampuan Fiskal Daerah ditetapkan dalam rangka pelaksanaan PMK Nomor 168/PMK.07/2009 tentang Pendoman Pendanaan Urusan Bersama Pusat dan Daerah untuk Penanggulangan Kemiskinan. Pelaksanaan untuk tahun 2012 dituangkan dalam PMK No 66/PMK.07/2011 tentang Indeks Fiskal dan Kemiskinan Daerah Dalam Rangka Perencanaan Pendanaan Urusan Bersama untuk Penanggulangan Kemiskinan Tahun 2012.
Pada Pasal 1 butir 9 dirumuskan bahwa Kemampuan Fiskal Daerah (KFD) adalah kemampuan keuangan daerah dan dana transfer ke daerah dikurangi belanja pegawai negeri sipil daerah. Selanjutnya pada Pasal 3 (3) mengatur bahwa data kemampuan keuangan daerah adalah pendapatan asli daerah dan pendapatan lain-lain yang sah. Sedfangkan pada Pasal 3 (4) mengatus bahwa data dana transfer ke daerah terdiri dari DBH, DAU, dan penyesuaian dan dana otonomi khusus.

Kesimpulan

Dari 4 (empat) terminologi tersebut ternyata setiap terminologi mempunyai tujuan yang berbeda. Kapasitas Fiskal hanya digunakan dalam rangka DAU dan Pinjaman/hibah, sedangkan selebihnya menggunakan istilah yang berbeda.

Minggu, 01 Januari 2012

Aspek Legalitas Anggaran Transfer Ke Daerah

Upaya continuous improvement.

Perkembangan pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia menunjukkan segmen-segmen perubahan yang signifikan sejak tahun 2008. Perubahan nomenklatur “Belanja Ke Daerah” menjadi “Transfer Ke Daerah” mendorong keinginan untuk transparansi dan akuntabilitas dari pengelolaan anggaran Transfer Ke Daerah. Keinginan itu diwujudkan dengan upaya yang berkelanjutan (continuous improvement) dari penyaluran anggaran Transfer Ke Daerah dengan setiap tahun melakukan penyempurnaan terhadap peraturan mengenai penyaluran anggaran transfer ke daerah. Sejak 2008 sampai dengan 2011 telah digunakan 3 peraturan Menteri Keuangan (PMK), dan untuk tahun 2012 telah disusun PMK yang keempat untuk pelaksanaan dan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran transfer ke daerah, yang menyempurnakan peraturan-peraturan sebelumnya dan menggantikannya.

Bersamaam dengan penyusunan PMK yang keempat tersebut telah pula disusun PMK tentang penatausahaan dan pembayaran dana bagi hasil (DBH) PBB Migas untuk mendukung transparansi dan akuntabilitas pengelolaan PBB Migas dari mulai perencanaan, penganggaran, penyiapan dokumen pemungutan, sampai dengan pembayaran/penyaluran DBH kepada daerah. Upaya lainnya yang sedang dirintis adalah penyusunan PMK mengenai Pengelolaan Anggaran Transfer Ke Daerah yang direncanakan akan menggabungkan semua PMK mengenai transfer ke daerah, sehingga dalam satu peraturan dapat dimuat seluruh proses pengelolaan anggaran transfer ke daerah.

Upaya-upaya tersebut merupakan keinginan Pemerintah untuk melakukan pengelolaan anggaran transfer ke daerah dengan lebih baik di dalam lingkungan Pemerintah. Pertanyaan yang selama ini selalu muncul dalam pengelolaan Anggaran Transfer Ke Daerah antara lain apakah aspek legalitas dalam anggaran Transfer Ke Daerah tersebut telah ditegakkan dan dilaksanakan sebagaimana mestinya sehingga jelas terwujud transparansi dan akuntabilitasnya.

Landasan Hukum Transfer ke Daerah.

Pelaksanaan anggaran transfer ke daerah tidak cukup didasarkan pada UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, melainkan terdapat peraturan perundangan lain yang mendasari pengelolaan anggaran transfer ke daerah yaitu: (1) Peraturan yang ditetapkan untuk melaksanakan desentralisasi fiskal dalam rangka otonomi daerah, yaitu UU No 33 Tahun 2004 , (2) Peraturan lain yang berdampak pada alokasi kepada daerah, dan (3) UU APBN yang mengamanatkan adanya aokasi kepada daerah.

1. UU No 33 Tahun 2004

Undang-undang ini secara jelas mengatur alokasi kepada daerah yang bersumber dari APBN melalui Dana Perimbangan yang terdiri dari (a) dana bagi hasil/DBH, (b) dana alokasi umum/DAU, dan (c) dana alokasi khusus/DAK. UU ini mengamanatkan dialokasikan dana perimbangan berdasarkan persentase tertentu untuk DBH, formula yang baku untuk DAU, dan kriteria yang jelas untuk DAK. Pelaksanaan persentase, formula, dan kriteria selama ini telah dilaksanakan secara transparan dan akuntabel melalui mekanisme yang demokratis di dalam sidang parlemen, sehingga dapat dengan jelas diterangkan argumentasi setiap alokasi kepada daerah.

2. UU yang berdampak pada alokasi kepada daerah.

Praktek hukum di Indonersia masih menunjukkan pengaturan yang debateable, terutama pengaturan yang menyangkut bidang fiskal nasional, pertanyaan spesifiknya adalah : “apakah undang-undang mengenai bidang tertentu dapat mengatur bidang keuangan sehingga berdampak fiskal secara nasional”.

a. UU Otonomi Khusus.

Kenyataan tersebut terlihat pada UU mengenai Otonomi Khusus Prov Papua, Prov Papua Barat, dan Prov Aceh, yaitu UU No 21/2001 jo UU No 35/2008 dan UU No 11/2006 yang mengamanatkan adanya alokasi kepada daerah otonomi khusus sebesar 2% dari Pagu DAU Nasional. Khusus untuk Prov Papua dan Prov Papua Barat bahkan mengamanatkan adanya tambahan dana di luar dana Otonomi Khusus yaitu untuk dana infrastruktur. Dana-dana tersebut selanjutnya dikemas dalam Dana Otonomi Khusus.

b. UU Sistem Pendidikan Nasional

UU ini dimaksudkan mengatur sistem pendidiksn nasional, namun di dalamnya mengatur juga pemberian tambahan penghasilan diluar gaji standar nasional kepada guru termasuk guru-guru yang berstatus PNS yang bekerja di daerah yang gajinya bersumber dari APBD. Demikian juga pengaturan mengenai pemberian dana dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/kota kepada satuan pendidikan dalam bentuk hibah. Dari pengaturan-pengaturan tersebut kemudian dikenal adanya Dana Tunjangan Profesi Guru, Dana Tambahan penghasilan Guru untuk guru yang belum bersertifikasi, dan dana bantuan operasional sekolah (BOS). Karena guru dan pedidikan dasar sudah menjadi kewenangan daerah maka timbullah alokasi kepada daerah. Dana-dana tersebut selanjutnya masuk dalam Dana Penyesuaian.

c. UU Cukai.

UU ini terkait dengan masalah keuangan negara tapi bukan masalah desentralisasi fiskal. UU ini mengatur mengenai pengelolaan cukai, yang merupakan penyempurnaan dari UU Cukai sebelumnya. UU yang ditetapkan dengan nomor 39 Tahun 2007 ini menambahkan pengaturan mengenai bagi hasil khusus dari cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 2% dari perolehan cukai hasil tembakau secara nasional kepada daerah penghasil cukai hasil tembakau yang sebelumnya tidak pernah diatur. DDBH CHT selanjutnya dimasukkan dalam kelompok DBH Pajak. UU No39/2007 mengamanatkan penggunaan secara terarah DBH CHT ini pada lima kegiatan utama yang berkaitan dengan industri hasil tembakau, baik kegiatan yang mendukung industri hasil tembakau maupun dampaknya.

3. UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

UU APBN ditetapkan setiap yahun setelah melalui perencanaan dan pembahasan yang sistematis dalam waktu yang cukup panjang. Pemerintah menurunkan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dari Rencana Kerja Jangka Menengah (RPJM),. Dalam RKP Pemerintah merencanakan kebijakan yang akan dilaksanakan dalam tahun yang akan datang dan didanai dari APBN.

Dalam hal Transfer Ke Daerah terdapat dua kelompok dana yang alokasi kepada daerah didasarkan pada UU APBN, yaitu:

a. Dana yang ditetapkan melalui mekanisme perencanaan.

Komponen-komponen Anggaran Transfer Ke Daerah yang dimuat dalam RKP berdasarkan peraturan perundangan sebagaimana telah diuraikan diatas. Namun demikian Pemerintah masih memiliki peluang untuk merencanakan alokasi ke daerah yang tidak berdasarkan pada peraturan perudangan seperti telah diuraikan diatas, melainkan akan ditetapkan dalam UU APBN. Contoh dari dana ini adalah Dana Insentif Daerah (DID) yang mulai dimuat dalam APBN tahun 2010. Setelah RKP dibahas dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR, maka disusunlah nota keuangan (NK) dan RAPBN. DID tersebut dimuat dalam NK dan RAPBN yang menjadi bahan pembahasan dengan DPR sampai ditetapkan. DID yang telah disepakati selanjutnya dimasukkan dalam kelompok Dana Penyesuaian.

b. Dana yang muncul sebagai dinamika dalam pembahasan APBN.

Asumsi makro dan pendapatan negara yang direncanakan Pemerintah pada saat pembahasan dengan DPR dimungkinkan untuk berubah sesuai dengan perkembangan perekonomian dunia. Perubahan tersebut kemudian berpengaruh pada perubahan postur RAPBN. Perubahan yang mungkin terjadi adalah pendapatan menjadi lebih besar sementara belanja tetap, maka akan terjadilah selisih antara pendapatan dengan belanja berupa sejumlah dana yang kemudian dinamakan sebagai dana optimalisasi. Karena munculnya pada saat pembahasan RAPBN maka penggunaannya disepakati pada saat itu juga, artinya penggunaan tersebut tidak melalui mekanisme perencanaan dan penganggaran sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundangan.

Dana optimalisasi yang digunakan untuk kegiatan kementerian/lembaga (K/L) dimungkinkan akan lebih akuntabel sepanjang dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang sudah dimuat dalam rencana kerja dan anggaran K/L (RKA-KL). Sedangkan dalam hal Transfer Ke Daerah juga dimungkinkan akuntabel sepanjang dialokasikan pada komponen yang jelas transparansi dan akuntabilitasnya misalnya DAK. Namun apabila pengalokasiannya tidak mempertimbangkan kriteria yang jelas maka akan diragukan transparansi dan akuntabilitasnya. Contoh adanya dana nini adalah Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) pada APBN 2011, dan Dana Percepatan Pembanguan Infrastruktur Daerah (DPPID) dalam APBN-P 2011, yang keduanya masuk dalam kelompok Dana Penyesuaian.

Kesimpulan.

UU No 33 Tahun 2004 bukan satu-satunya dasar hukum dalam anggaran Transfer Ke Daerah, melainkan terdapat UU lain yang dalam pelaksanaannya berakibat pada alokasi ke daerah. Ini berarti bahwa UU no 33 tahun 2004 tidak cukup menjamin transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia, melainkan diperlukan UU lain. Penggunaan UU lain kemudian menjadi preseden untuk semakin meluasnya alokasi ke daerah dalam APBN yang tidak didasarkan pada UU 33 Tahun 2004. Tantangan Pemerintgah ke depan adalah mewujudkan peraturan perundangan yang memayungi pelaksanaan desentralisasi fiskal secara menyeluruh, transparan, dan akuntabel.

Selasa, 10 Mei 2011

Penghargaan dan Hadiah Uang untuk Provinsi Sumatera Selatan

Pendahuluan

Berbagai cara dilakukan oleh Pemerintah untuk memotivasi pemerintah daerah agar capaian kinerja dalam melaksanakan tugas utamanya yaitu melayani penduduk, mengelola wilayah, dan menyelenggarakan pemerintahan benar-benar optimal. Pemberian Dana Insentif Daerah adalah salah satu cara motivasi yang cukup jitu, bukan hanya atraktif bagi pemerintah daerah tetapi juga bermanfaat langsung bagi masyarakat setempat. Dalam APBN 2011, Dana Insentif Daerah yang besarnya antara Rp 18 milyar sampai dengan Rp 33,8 milyar dikucurkan kepada 60 daerah, yaitu 5 provinsi, 17 kota, dan 38 kabupaten. Provinsi Sumatera Selatan dan kabupaten Lubuk Linggau adalah daerah yang mendapatkan penilaian yang cukup baik dan berhasil mendapatkan dana insentif daerah. Nama daerah penerima dan besaran Dana Insentif Daerah telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61/PMK.07/2011 pada tanggal 28 Maret 2011. Lantas bagaimana sebenarnya Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Selatan dan Kabupaten Lubuk Linggau bisa mendapatkan anugerah tersebut?, dan berapa besar hadiah uang untuk kedua daerah tersebut?

Dana Insentif Daerah (DID)

Program pemberian dana insentif daerah sudah dimulai pada tahun 2010. DID Tahun 2011 adalah program tahun kedua dengan penyediaan anggaran dari APBN 2011 sama dengan anggaran tahun 2010 yaitu 1,3 Triliun. Sedangkan daerah yang memperoleh DID meningkat dari 54 daerah pada tahun 2010 menjadi 60 daerah pada tahun 2011. Tujuan program dana insentif daerah adalah (a) mendorong agar daerah berupaya untuk mengelola keuangannya dengan lebih baik yang ditunjukkan dengan perolehan opini BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), (b) memotivasi daerah agar berupaya untuk selalu menetapkan APBD tepat waktu, dan (c) mendorong agar daerah menggunakan instrumen politik dan instrumen fiskal untuk secara optimal mewujudkan peningkatan pertumbuhan ekonomi lokal dan peningkatan kesejahteraan penduduknya.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka Pemerintah bersama DPR telah bersepakat bahwa DID akan dialokasikan kepada daerah tertentu dengan mempertimbangkan kriteria tertentu. Dalam dokumen kesepakatan dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kriteria tertentu adalah daerah yang berprestasi antara lain daerah yang sudah melaksanakan fungsi pelayanan masyarakat dengan baik dan mendapatkan Opini WTP dan WDP dari BPK atas LKPD, dan daerah yang menetapkan APBD tepat waktu. Oleh karena itu kriteria dan indikator penetapan daerah penerima DID meliputi tiga kriteria kinerja. Kriteria Kinerja yang pertama adalah Kriteria Kinerja Pengelolaan Keuangan yang terdiri dari (a) Opini BPK atas LKPD, (b) Penetapan APBD 2010 tepat waktu, (c) upaya (effort) peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kriteria Kedua adalah Kriteria Kinerja Pendidikan yang terdiri dari indikator (a) Partisipasi Sekolah / Angka Partisipasi Kasar (APK) dan (b) Upaya (effort) peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sedangkan kriteria kinerja ketiga adalah Kriteria Kinerja Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat yang terdiri dari (a) Peningkatan Angka Pertumbuhan Ekonomi lokal, (b) Penurunan Angka Kemiskinan, dan (c) Penurunan Angka Pengangguran.

Dibandingkan dengan penilaian kinerja tahun 2010, penetapan daerah penerima DID tahun 2011 dilakukan dengan cara yang berbeda, yaitu dengan menetapkan indikator opini BPK atas LKPD dan penetapan Perda APBD tepat waktu sebagai kriteria utama, artinya hanya daerah yang memenuhi dua indikator tersebut yang lolos untuk menuju kepada penyaringan berikutnya. Penyaringan tahap pertama menghasilkan 149 daerah dari 524 daerah. Penyaringan tahap berikutnya dengan menggunakan kriteria yang menunjukkan keberhasilan daerah dalam menggunakan instrumen politik dan instrumen fiskal untuk secara optimal mewujudkan peningkatan pertumbuhan ekonomi lokal dan peningkatan kesejahteraan penduduknya. Penyaringan tahap kedua ini menghasilkan 60 dari 149 daerah, diantaranya adalah Provinsi Sumatera Selatan dan Kabupaten Lubuk Linggau. Dari 60 daerah pemenang ternyata 70% atau sebanyak 42 adalah daerah pemenang baru, atau hanya 18 daerah yang berhasil pengulangi prestasi tahun 2010. Hal ini menunjukkan bahwa suatu daerah bisa saja merencanakan melalui effort yang ketat untuk menjadi pemanang namun daerah lain juga memiliki semangat yang sama, sehingga terjadi situasi ketidakpastian dalam DID ini.

Pencapaian Kinerja Provinsi Sumatera Selatan.

Keberhasilan Provinsi Sumatera Selatan ditandai dengan pencapaian opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) selama dua tahun berturut-turut yaitu LKPD 2008 dan LKPD 2009. Dalam hal ketepatan waktu penetapan Perda APBD, Provinsi Sumatera Selatan telah berhasil menetapkan APBD 2010 tepat waktu. Dalam hal PAD, kinerja yang berhasil dicapai adalah kenaikan PAD diatas rata-rata nasional dalam jangka waktu antara tahun 2007 s/d 2009. Prestasi dalam kinerja pendidikan ditunjukkan dengan peningkatan angka partisipasi kasar Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah diatas rata-rata nasional. Kinerja lain yang patut dibanggakan dari Provinsi Sumatera Selatan adalah pencapaian peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang meningkat diatas rata-rata nasional dalam jangka waktu tahun 2007-2008 dan tahun 2008-2009 . Pada aspek upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal juga terlihat meningkat konsisten dalam jangka waktu 2007 s/d 2009.

Penurunan angka kemiskinan, dan penurunan angka pengangguran Provinsi Sumatera Selatan menunjukkan pencapaian yang lebih baik dari rata-rata nasional. Demikian juga dalam hal menggunakan instrumen fiskal untuk kemanfaatan kepada masyarakat, Provinsi Sumatera Selatan menunjukkan prestasi yang tinggi yaitu pada kategori daerah dengan kemampuan keuangan dibawah rata-rata nasional namun sanggup mencapai Indeks Pembangunan Manusia diatas rata-rata nasional. Dari pencapaian-pencapaian tersebut Provinsi Sumatera Selatan berhasil memperoleh predikat daerah berprestasi dengan insentif dana sebesar Rp24,25 Miliar.

Pencapaian Kinerja Kabupaten Lubuk Lingau.

Keberhasilan Kabupaten Lubuk Linggau ditandai dengan pencapaian opini WDP selama dua tahun berturut-turut yaitu LKPD 2008 dan LKPD 2009. Dalam hal ketepatan waktu penetapan Perda APBD, Kabupaten Lubuk Linggau telah berhasil menetapkan APBD 2010 tepat waktu. Sayangnya PAD tidak menunjukkan kenaikan dalam APBD 2009. Komponen PAD ini belum ikut menyumbang kinerja yang lebih bagim bagi pencapaian kinerja secara keseluruhan. Prestasi dalam kinerja pendidikan ditunjukkan dengan peningkatan angka partisipasi kasar Pendidikan Dasar atau Pendidikan Menengah diatas rata-rata nasional. Kinerja lain yang menyumbang diperolehnya DID adalah pencapaian peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang meningkat diatas rata-rata nasional dalam jangka waktu tahun 2007-2009 . Indikator yang patut dibanggakan adalah pada aspek upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal juga terlihat meningkat konsisten dalam jangka waktu 2007 -2008, 2008-2009, dengan peningkatan yang progresif diatas rata-rata Nasional.

Penurunan angka kemiskinan juga lebih besar dari angka penurunan rata-rata Nasional. Sejalan dengan angka peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, terlihat penurunan angka pengangguran menunjukkan pencapaian diatas rata-rata Nasional yang progresif dari tahun 2007-2008 dan 2008-2009. Demikian juga dalam hal menggunakan instrumen fiskal untuk kemanfaatan kepada masyarakat, Kabupaten Lubuk Linggau menunjukkan prestasi yang konsisten yaitu pada kategori daerah dengan kemampuan keuangan di atas rata-rata nasional untuk mencapai Indeks Pembangunan Manusia diatas rata-rata nasional. Dari pencapaian-pencapaian tersebut Kabupaten Lubuk Linggau berhasil memperoleh predikat daerah berprestasi dengan insentif dana sebesar Rp19,06 Miliar.

DID, program pendanaan daerah yang motivatif.

Instrumen politik dan instrumen fiskal dimiliki oleh semua pemerintah daerah namun belum semua daerah dapat memanfaatkannya dengan cukup baik. Hubungan politik antara DPRD dengan eksekutif yang baik dapat ditunjukkan antara lain dengan penyelesaian dan penetapan APBD tepat waktu, yaitu sebelum akhir Desember. Apalagi apabila hubungan yang saling bersinergi tersebut dilakukan secara konsisten selama beberapa waktu berturut-turut yang mengindikasikan adanya motivasi yang terencana. Mempertahankan perolehan opini yang baik dari BPK bukanlah upaya yang ringan melainkan penuh dengan ketekunan untuk bertindak secara akuntabel dan transparan dalam pengelolaan keuangan dan aset daerah.

Meningkatkan PAD dengan dampak yang minimal bebannya terhadap penduduk adalah pencapaian yang cukup bijak, selain pemilihan obyek pendapatan daerah yang tepat juga harus dibarengi dengan intensifikasi dalam pemungutannya, karena jika membebani penduduk maka Perda PAD akan dibatalkan oleh Pemerintah. Peningkatan IPM adalah salah satu janji kepala daerah pada saat kampanye selama proses Pilkada. IPM adalah indeks komposit yang menunjukkan pencapaian daerah di bidang pendidikan, kesehatan dan kemampuan ekonomi masyarakat.

Selamat kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Pemerintah Kabupaten Lubuk Linggau dan seluruh masyarakatnya. Prestasi ini layak dipertahankan dengan effort yang lebih ketat agar tidak tergeser oleh daerah lain. Selaku Wakil Pemerintah Pusat di Daerah, Gubernur Sumatera Selatan semestinya mendorong kabupaten/kota di wilayahnya agar berbuat yang sama atau bahkan lebih agar lebih banyak daerah mendapatkan DID di tahun 2012. (pr@m)

Mecapai Efisiensi Melalui Nilai-Nilai Ethos Kerja Yang Tinggi

Tulisan ini telah dimuat dalam “Buletin Kinerja”, Edisi 8/2011
(Penerbit Pusat Analisis dan Harmonisasi Kebijakan, Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan)

Meluruskan Persepsi, Membangun Image

Keputusan Menteri Keuangan pada tahun 2008 yang menunjuk Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)Transfer ke Daerah (TkD) adalah awal dari suatu cara jitu untuk meluruskan persepsi masyarakat (daerah) terhadap pengelolaan anggaran Transfer Ke Daerah, sekaligus sarana membangun image yang lebih baik terhadap upaya transparansi dan akuntabilitas.
Persepsi masyarakat (daerah) terhadap pengelolaan TkD antara lain dinyatakan dengan ungkapan-ungkapan sebagai berikut:
• Tak ada kenaikan Dana Perimbangan kalau tidak dekat dengan orang Pusat.
• Kementerian/Lembaga hanya memberikan data teknis Dana Alokasi Khusus (DAK), Kementerian Keuangan yang menentukan alokasinya.
• Perhitungan Dana Bagi Hasil (DBH) yang tidak transparan.
• Penyaluran Dana Perimbangan yang selalu terlambat.
• Rekonsiliasi DBH SDA yang dimaksudkan sebagai upaya trarsparansi dan akuntabilitas distribusi DBH SDA dipersepsikan sebagai ajang untuk sekedar mengamini perhitungan DBH yang dilakukan oleh Pusat.
• Laporan keuangan TkD sebagai bagian dari Laporan Keuangan Bagian Anggaran Menteri Keuangan selaku bendahara Umum Negara (BUN) selalu mendapatkan opini desclaimer.

Persepsi masyarakat terhadap pengelolaan Dana Perimbangan telah berhasil dibangun dengan fokus negatif oleh orang-orang yang berusaha mengambil keuntungan finansial dari minimnya informasi dan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan Dana Perimbangan. Yang terjadi kemudian adalah, masyarakat merelakan kepada pihak tertentu sebagian uangnya yang ditanamkan bersama harapannya untuk mendapatkan kenaikan dana perimbangan. Pihak tertentu tersebut adalah “calo” dan uang yang diiklhaskan tersebut adalah “pelicin”, sedangkan yang dimaksud sebagai kenaikan dana perimbangan adalah “omong kosong”.

Yang terjadi sebenarnya adalah bahwa para orang yang tidak bertanggungjawab tersebut secara cerdik memanfaat informasi mengenai kenaikan pagu Dana Perimbangan dalam APBN. Mereka sebenarnya hanya menggunakan gejala umum jika kue yang akan dibagi menjadi lebih besar maka penerima kue akan mendapatkan bagian yang lebih besar. Yang dilakukan kemudian adalah membujuk daerah-daerah dengan kemampuan keuangan rendah bahwa daerah tersebut akan mendapatkan kenaikan dana perimbangan jika diurus.

Dalam beberapa tahun terakhir persepsi masyarakat mulai bergeser ke arah yang membaik melalui sosialisasi intensif dan transparan menjelaskan mengenai mekanisme perhitungan setiap komponen dana perimbangan, menjelaskan dengan membandingkan hasil perhitungan dana perimbangan antar daerah, meyakinkan daerah bahwa data asar perhitungan yang digunakan adalah valid, dan melakukan perubahan mendasar terhadap prosedur penyaluran, adalah beberapa upaya untuk meluruskan persepsi yang sekaligus membangun image.

Merancang New Design, meningkatkan efisiensi.

Penujukan DJPK sebagai KPA-TkD pada tahun 2008 memperjelas konsep Two Steps Spending bagi Anggaran TkD. Anggaran TkD adalah anggaran “milik” daerah yang dititipkan dalam Bagian Anggaran (BA) 070 untuk Dana Perimbangan dan BA 071 untuk Dana Otonomi Khusus dan penyesuaian. Menteri Keuangan /DJPK meminta kepada DJPB untuk menyalurkan anggaran TkD dari Kas Negara ke Kas Daerah, ini adalah first step, dan dilanjutkan dengan second step, yaitu daerah membelanjakan anggarannya melalui pelaksanaan kegiatan dan pencapaian output.

Pelaksanaan mekanisme penyaluran yang kemudian disebut sebagai “New Design” telah menghasilkan opini BPK atas Laporan Keuangan 2008 sebagai WDP untuk laporan BA 071 dan WTP untuk laporan BA 071. Selanjutnya pada 2009 dilakukan penggabungan BA 070 dan BA 071 menjadi BA 999.05, yang memperjelas bahwa BA Transfer ke Daerah adalah bagian dari BA Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN). Melalui perbaikan mekanisme penyaluran TkD yang semula melalui DJPB menjadi melalui KPPN Jakarta II dan penyempurnaan mekanisme penyaluran, maka pada Tahun 2009 Laporan BA 999.0 mendapatkan opini WTP.

Efisiensi dari penyaluran transfer ke daerah, dapat dijelaskan melalui pengelompokan sebagai berikut:
(1). Efisiensi dokumen. Sampai dengan tahun 2007 untuk menyusun melaksanakan penyaluran dana yang bersumber dari Belanja Ke Daerah dalam APBN dibutuhkan dokumen anggaran yang dibuat dan disimpan di kantor pusat Kementerian Keuangan, dikirimkan ke 467 daerah selaku KPA, dan digunakan sebagai dasar pembayaran di 178 kantor pelayanan perbendahaan negara (KPPN) selaku pemegang rekening Kas Negara. Dokumen anggaran tersebut meliputi daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA), SPM beserta dokumen pendukungnya, dan SP2D. Dengan transfer new design dapat dihitung tidak kurang dari 88.853 unit dokumen per tahun yang tidak perlu dicetak dan dikirimkan lagi, karena hanya ada satu DIPA, dengan beberapa SPM dan SP2D di kantor pusat Kementerian Keuangan.
(2). Efisiensi birokrasi. Proses birokrasi yang dapat dihemat dari pelaksanaan new design tersebut adalah berkurangnya secara signifikat frekuensi pertemuan antara PNS daerah dengan PNS pusat dalam rangka penyusunan dokumen anggaran berupa rencana definitif DAK (RD-DAK) maupun dalam pengajuan usulan revisi RD-DAK, konsultasi pengajuan SPM dan penyusunan laporan DAK. Tidak kurang dari 13.000 pertemuan tidak perlu dilakukan lagi dengan dilaksanakannya transfer dengan new design.
(3). Efisiensi dana. Sampai dengan akhir tahun 2007, penyaluran DAU setiap awal bulan melalui BI tidak langsung ke rekening KUD, melainkan melalui bank operasional (BO) kas negara pada H-5, sedangkan mulai Januari 2008 penyaluran DAU yang nilainya tidak kurang dari Rp. 14 triliun sudah dilaksanakan pada tanggal 2 Januari 2008 dengan pemindahbukuan secara langsung dari rekening BUN ke rekening KUD, sehingga DAU tidak perlu overnight di BO. Efisiensi lainnya dapat dihitung dari biaya perjalanan untuk penyusunan RD-DAK dan revisi RD-DAK dari daerah ke ibu kota provinsi, pengajuan SPM dari daerah ke KPPN, rekonsiliasi data DBH-SDA dari daerah ke Jakarta yang semula dilaksanakan empat kali menjadi dua kali dalam setahun. Demikian juga biaya untuk penyusunan dokumen dalam kaitannya dengan efisensi dokumen.
(4). Efisiensi Tenaga dan Waktu. Tenaga yang semula harus disediakan di 451 daerah, 33 Kantor Wilayah DJPB, dan 178 KPPN untuk melakukan pembahasan RD-DAK, memproduksi DIPA-DAU, DIPA-DAK, DIPA-DBH PPh, menyusun SPM-DAU, SPM-DAK, SPM-DBH PPh, dan menerbitkan SP2D-DAU, SP2-DAK, SP2D-DBH PPh dalam pelaksanaan pola baru tidak diperlukan lagi karena DIPA, SPM, dan SP2D cukup diterbitkan di Kantor Pusat Departemen Keuangan. Efisiensi tenaga juga terlihat dari tidak dilaksanakan rekonsiliasi data penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor SDA pada penyaluran DBHSDA Triwulan Pertama dan kedua yang semula setiap penyaluran DBH SDA harus berdasarkan pada hasil rekonsiliasi PNBP-SDA. Sedangkan efisiensi waktu akan terlihat dari kecepatan penyediaan dokumen anggaran yang semula harus memproduksi dokumen yang sangat banyak dibansing dengan dokumen anggaran yang sangat sedikit.
(5).Efisiensi Pelaporan. Pelaporan realisasi Belanja Ke Daerah sampai dengan tahun 2007 hampir mustahil dapat dilaksanakan secara benar menurut kaidah laporan dan akuntansi pemerintah, karena tidak tersedianya dokumen sumber untuk menyusun laporan. Keberadaan dokumen sumber yang berupa SPM tersebar diseluruh daerah sebanyak 434 kabupaten/kota dan 33 provinsi, sedangkan SP2D tersebar di 178 KPPN di seluruh Indonesia. Mengharapkan datangnya laporan dari 451 entitas pelaporan tentu bukan hal yang sepele, karena taruhannya laporan harus tepat waktu dan lengkap dokumen sumbernya. Pola baru tarnsfer menjanjikan tersedianya dokumen sumber ada di Departemen Keuangan, yaitu di DJPK dan DJPBN, sehingga kelengkapan dan akurasi data laporan dapat didukung dengan dokumen sumber yang valid. Demikian juga waktu penyelesaian laporan realisasi transfer dapat terjamin.
(6). Efisiensi Sistem Informasi. Sistem informasi keuangan daerah yang ada di Kementerian Keuangan sampai saat ini terbatas hanya pada data alokasi belanja ke daerah. Data realisasi hampir tidak tersedia kecuali data realisasi yang diminta dari DJPB yang berasal dari 178 KPPN yang belum direkonsiliasi dengan dokumen sumbernya. Pola baru transfer ke daerah akan menjamin tersedianya data realisasi transfer yang didukung dengan dokumen sumber yang tepat waktu dan lengkap seperti yang tersedia untuk bahan pelaporan. Efisiensi dalam sistem informasi akan terwujud juga dari hasil analisis yang dapat dilakukan dengan data yang kurang valid dibandingkan dengan data yang lebih valid.
Selain berdampak positif pada peningkatan kualitas Laporan Keuangan TkD, New Design penyaluran TkD telah menunjukkan dampak yang baik pada aspek lainnya, antara lain:
(a). Mendorong terwujudnya satu rekening Kas Daerah. Sampai dengan akhir tahun 2007, dana perimbangan dan dana transfer lainnya disalurkan ke daerah dalam beberapa nomor rekening bank dengan nama rekening yang sangat bervariasi yang menyulitkan pelaksanaan pemantauan ketersediaan dana di daerah. Pola baru ini mendukung program Kementerian Keuangan dalam mewujudkan Treasury Singgle Account yang juga akan ditrapkan di daerah. Dampak dari pola ini, daerah tidak perlu memelihara beberapa rekening di bank, melainkan hanya satu rekening untuk menampung pendapatan yang berasal dari transfer pemerintah pusat. Setelah berupaya lebih dari dua tahun, maka pada triwulan keempat tahun 2010, semua rekening kas umum daerah telah menggunakan nomenklatur Rekening Kas Umum Daerah sebagaimana dimaksud dalam PP No 39 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Uang Negara dan Uang Daerah.
(b). Percepatan pelaksanaan DAK. Dalam mekanisme penyaluran diatur bahwa DAK semula disalurkan dalam tiga tahap yaitu 30%, 30&, 30% dan 10%, paling cepat mulai bulan Februari. Penentuan bulan Februari ini dalam kaitannya dengan ketentuan yang mengatur penyelesaian peraturan daerah (Perda) APBD paling lambat Akhir Januari. Selanjutnya diatur bahwa tidak ada penyaluran DAK tahap pertama kecuali daerah sudah menetapkan Perda APBD. Ketentuan ini telah mendorong daerah untuk secepatnya menyampaikan Perda APBD ke Kementerian Keuangan. Penyaluran DAK tahap kedua sampai dengan keempat disalurkan apabila penyerapan DAK menunjukkan performance yang baik, yaitu apabila dana DAK yang sudah ditransfer ke KUD sebagai pendapatan daerah telah diserap lebih dari 90%. Kinerja penyerapan tersebut ditunjukkan dalam Laporan Pelaksanaan DAK yang dikirimkan ke DJPK Kementerian Keuangan setiap saat sisa dana DAK di KUD mencapai angka lebih kecil dari 10%. Pengaturan ini akan mendorong daerah lebih cepat melaksanakan kegiatan DAK hingga sumua dana DAK terserap. Keberhasilan New Design penyaluran yang telah berjasil memotivasi pelaksanaan lebih baik DAK mendorong dilakukan perubahan penyaluran DAK yang semuka 4 kali menjadi 3 kali, yaitu 30%, 45%, dan 25%.
(c). Mendorong percepatan penetapan dan pelaksanaan kegiatan APBD . Dorongan terhadap percepatan penyelesaian perda APBD akan berdampak pada pelaksanaan kegiatan pembangunan di daerah lebih awal. Disampjng dasar hukum untuk pelaksanaan kegiatan sudah ditetapkan, biaya yang berasal dari transferpun sudah tersedia di Rekening KUD tanpa harus ditagih. Kesadaran akan betapa pentingnya penetapan Perda APBD tepat waktu dan perolehan opini yang baik atas laporan keuangan mendorong Pemerintah pada tahun 2009 untuk lebih memotivasi daerah dengan penyediaan dana insentif daerah dalam APBN 2010.

Membangun trust, menghilangkan cylo.

Setiap tahun, Anggaran Transfer ke Daerah diupayakan untuk dikelola lebih baik dari tahun sebelumnya baik dari aspek alokasi, penyaluran, dan pertanggungjawaban. Langkah yang telah dilakukan antara lain seb agai berikut:
(1) melalui peningkatan hubungan yang lebih baik dengan institusi yang terkait dengan penyediaan data dasar, data perkiraan, dan data realisasi dana perimbangan, seperti Badan Pusat Statistik, Kem Dalam Negeri, Bappenas, kementerian/lembaga lain yang terkait dengan pengelolaan Dana Perimbangan.

(2) termasuk juga kualitas hubungan yang lebih baik dengan Unit Pengawas Internal Kementerian Keuangan, yaitu Inspektorat Jenderal selaku Unit Pengendali dalam pelaksanaan dan pertanggungjawaban.
(3) Demikian juga hubungan yang semakin baik dengan aparat pengawas internal Pemerintah, yaitu Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam rangka evaluasi kualitas belanja daerah dalam melaksanakan DAK.

(4) Hubungan yang semakin baik dan berkualitas dengan Ditjen Perbendaharaan terlihat dari selalu disempurnakannya ketentuan tentang mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban transfer ke daerah mulai dari PMK 04/2008, PMK 21/2009, dan PMK 126/2010. Peraturan-peraturan tersebut selain kental dengan efisiensi juga kental dengan nuansa motivasi.

(5) Kerjasama yang semakin baik juga dijalin dengan Ditjen Pajak dalam rangka pengelolaan DBH PBB dan BPHTB, termasuk penyelesaian UU No 28/2009 tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) hingga saat ini proses sosialisasi ke pada daerah dilaksanakan secara berdampingan.

(6) Ditjen Bea dan Cukai adalah partner DJPK dalam pengelolaan DBH Cukai Hasil tembakau (CHT) bersama dengan Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Permasalahan di daerah dalam pelaksanaan DBH CHT dipecahkan bersama sehingga DBH CHT benar-benar member manfaat kepada daerah penerimanya.

Hubungan dan kerjasama tersebut diatas dapat berhasil dengan baik karena dilandasi dengan saling percaya

Hasil dari pencapaian efisiensi melalui nilai-nilai ethos kerja yang baik.
a) Dari Kinerja Penyaluran TkD dapat dilihat keberhasilan Konsep New Design sejak tahun 2008, 2009, dan 2010. Dari pendekatan persentasi realisasi menunjukkan bahwa realisasi semua komponen Dana perimbangan telah melebihi dari target yang dijanjikan. Realisasi DBH menunjukkan persentase yang meningkat pada 2010, meskipun terjadi penurunan di 2009. Realisasi DAU konsisten dapat dipertahankan 100%, dan realisasi DAK yang dapat dijaga pada posisi yang optimal.

Realisasi Penyaluran Dana Perimbangan 2008 s/d 2010

No Rupiah Realisasi(Triliun) Persentase Realisasi
2008 2009 2010 2008 2009 2010
1 DBH 77,76 76,13 92,07 100,84 97,63 102,74
2 DAU 179,51 186,41 203,61 100,00 100.00 100,00
3 DAK 21,20 24,70 20,95 98,04 99,55 99,14
4 Jumlah 278,47 287,25 316,64 100,09 99,37 99,69


b) Survey Opini Stakeholder Kementerian Keuangan Bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor terhadap Capaian Kinerja Layanan DJPK dalam Buku Laporan Survey Halaman 146 menyatakan bahwa “ jika dibandingkan tingkat kepuasan responden terhadap layanan DJPK dengan keseluruhan layanan pada Kementerian Keuangan tahun 2010, menunjukkan tingkat kepuasan responden terhadap layanan DJPK lebih tinggi dari tingkat kepuasan secara umum layanan Kementerian Keuangan. Kondisi ini tentunya merupakan capaian positif dari kinerja layanan DJPK yang perlu dipertahankan”.

Tingkat Kepuasan pada Layanan DJPK dan Kementerian Keuangan
Tahun 2010 (Grafik Tingkat Kepuasan Tidak Termuat)


c) Semangat membangun trust dan menghilangkan cylo Nampak jelas menghasilkan Laporan Keuangan Transfer Ke Daerah yang semakin berkualitas. Pada tahun 2009 atas Laporan Keuangan tahun 2008, perolehan Opini WDP pada BA 070 Dana Perimbangan dan WTP untuk BA 071 Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian telah membangun kepercayaan yang tinggi baik internal DJPK maupun kaitannya dengan unit-unit diluar DJPK yang mendukung keberhasilan tersebut. Pada tahun 2010 atas Laporan Keuangan 2009 gabungan antara BA 070 dan BA 071 menjadi BA 999.05 menjadikan konsolidasi laporan yang komprehensif dengan perolehan opini WTP.

Senin, 25 April 2011

Penghargaan dan Hadiah Uang untuk Kota Bitung

Penghargaan dan Hadiah Uang untuk Kota Bitung
Oleh : Pramudjo

(Tulisan ini telah dimuat dalam Rubrik “OPINI” pada surat kabar:
(1) Manado Post, Manado, Senin tgl 18 April 2011, Halaman 8
(2) Harian KOMENTAR, Manado, secara bersambung Senin dan Selasa 18 dan 19 April 2011 Hal. 5

Pendahuluan

Berbagai cara dilakukan oleh Pemerintah untuk memotivasi pemerintah daerah agar capaian kinerja dalam melaksanakan tugas utamanya yaitu melayani penduduk, mengelola wilayah, dan menyelenggarakan pemerintahan benar-benar optimal. Pemberian Dana Insentif Daerah adalah salah satu cara motivasi yang cukup jitu, bukan hanya atraktif bagi pemerintah daerah tetapi juga bermanfaat langsung bagi masyarakat setempat. Dalam APBN 2011, Dana Insentif Daerah yang besarnya antara Rp 18 milyar sampai dengan Rp 33,8 milyar dikucurkan kepada 60 daerah, yaitu 5 provinsi, 17 kota, dan 38 kabupaten.
Kota Bitung Provinsi Sulawesi Utara adalah salah satu daerah yang mendapatkan dana insentif dan berhasil menduduki ranking 40 diantara 55 kabupaten/kota. Nama daerah penerima dan besaran Dana Insentif Daerah telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61/PMK.07/2011 pada tanggal 28 Maret 2011. Lantas bagaimana sebenarnya Pemerintah Daerah Kota Bitung bisa mendapatkan anugerah tersebut?, dan berapa besar hadiah uang untuk Kota Bitung?

Dana Insentif Daerah (DID)

Program pemberian dana insentif daerah sudah dimulai pada tahun 2010. Dana Insentif Daerah Tahun 2011 adalah program tahun kedua dengan penyediaan anggaran dari APBN 2011 sama dengan anggaran tahun 2010 yaitu 1,3 Triliun. Sedangkan daerah yang memperoleh Dana Insentif Daerah meningkat dari 54 daerah pada tahun 2010 menjadi 60 daerah pada tahun 2011. Tujuan program dana insentif daerah adalah (a) mendorong agar daerah berupaya untuk mengelola keuangannya dengan lebih baik yang ditunjukkan dengan perolehan opini BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), (b) memotivasi daerah agar berupaya untuk selalu menetapkan APBD tepat waktu, dan (c) mendorong agar daerah menggunakan instrumen politik dan instrumen fiskal untuk secara optimal mewujudkan peningkatan pertumbuhan ekonomi lokal dan peningkatan kesejahteraan penduduknya.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka Pemerintah bersama DPR telah bersepakat bahwa DID akan dialokasikan kepada daerah tertentu dengan mempertimbangkan kriteria tertentu. Dalam dokumen kesepakatan dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kriteria tertentu adalah daerah yang berprestasi antara lain daerah yang sudah melaksanakan fungsi pelayanan masyarakat dengan baik dan mendapatkan Opini WTP dan WDP dari BPK atas LKPD, dan daerah yang menetapkan APBD tepat waktu. Oleh karena itu kriteria dan indikator penetapan daerah penerima DID meliputi tiga kriteria kinerja. Kriteria Kinerja yang pertama adalah Kriteria Kinerja Pengelolaan Keuangan yang terdiri dari (a) Opini BPK atas LKPD, (b) Penetapan APBD 2010 tepat waktu, (c) upaya (effort) peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kriteria Kedua adalah Kriteria Kinerja Pendidikan yang terdiri dari indikator (a) Partisipasi Sekolah / Angka Partisipasi Kasar (APK) dan (b) Upaya (effort) peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sedangkan kriteria kinerja ketiga adalah Kriteria Kinerja Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat yang terdiri dari (a) Peningkatan Angka Pertumbuhan Ekonomi lokal, (b) Penurunan Angka Kemiskinan, dan (c) Penurunan Angka Pengangguran.

Dibandingkan dengan penilaian kinerja tahun 2010, penetapan daerah penerima DID tahun 2011 dilakukan dengan cara yang berbeda, yaitu dengan menetapkan indikator opini BPK atas LKPD dan penetapan Perda APBD tepat waktu sebagai kriteria utama, artinya hanya daerah yang memenuhi dua indikator tersebut yang lolos untuk menuju kepada penyaringan berikutnya. Penyaringan tahap pertama menghasilkan 149 daerah dari 524 daerah. Penyaringan tahap berikutnya dengan menggunakan kriteria yang menunjukkan keberhasilan daerah dalam menggunakan instrumen politik dan instrumen fiskal untuk secara optimal mewujudkan peningkatan pertumbuhan ekonomi lokal dan peningkatan kesejahteraan penduduknya. Penyaringan tahap kedua ini menghasilkan 60 dari 149 daerah, diantaranya adalah Provinsi Sulawesi Utara yang menduduki ranking pertama dan Kota Bitung.

Pencapaian Kinerja Kota Bitung.

Keberhasilan Kota Bitung ditandai dengan pencapaian opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) selama dua tahun berturut-turut yaitu LKPD 2008 dan LKPD 2009. Dalam hal ketepatan waktu penetapan Perda APBD, Kota Bitung telah mencapainya selama tiga tahun berturut-turut yaitu APBD 2008, 2009, dan 2010. Sayangnya PAD tidak menunjukkan kenaikan dalam APBD 2009. Komponen PAD ini yang menyebabkan kinerja Kota Bitung dinilai tidak lebih baik dari tahun 2010 namun demikian secara keseluruhan masih lebih baik dari daerah lain pada umumnya . Prestasi dalam kinerja pendidikan ditunjukkan dengan peningkatan angka partisipasi kasar murid Sekolah Dasar diatas rata-rata nasional.

Kinerja lain yang patut dibanggakan dari Kota Bitung adalah pencapaian peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang meningkat di tahun 2009 dibanding tahun 2008. Pada aspek upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal juga terlihat meningkat, penurunan angka kemiskinan, dan penurunan angka pengangguran Kota Bitung belum menunjukkan pencapaian yang lebih baik dari rata-rata nasional, namun dalam hal menggunakan instrumen fiskal untuk kemanfaatan kepada masyarakat, Kota Bitung menunjukkan prestasi yang tinggi yaitu pada kategori daerah dengan kemampuan keuangan dibawah rata-rata nasional namun sanggup mencapai Indeks Pembangunan Manusia diatas rata-rata nasional. Dari pencapaian-pencapaian tersebut Kota Bitung berhasil memperoleh predikat daerah berprestasi dengan insentif dana sebesar Rp20,19 Miliar.

DID, program pendanaan daerah yang motivatif.

Instrumen politik dan instrumen fiskal dimiliki oleh semua pemerintah daerah namun belum semua daerah dapat memanfaatkannya dengan cukup baik. Hubungan politik antara DPRD dengan eksekutif yang baik dapat ditunjukkan antara lain dengan penyelesaian dan penetapan APBD tepat waktu, yaitu sebelum akhir Desember. Apalagi apabila hubungan yang saling bersinergi tersebut dilakukan selama jangka waktu berturut-turut yang mengindikasikan adanya motivasi yang terencana.

Mempertahankan perolehan opini yang baik dari BPK bukanlah upaya yang ringan melainkan penuh dengan ketekunan untuk bertindak secara akuntabel dan transparan dalam pengelolaan keuangan dan aset daerah. Meningkatkan PAD dengan dampak yang minimal bebannya terhadap penduduk adalah pencapaian yang cukup bijak, selain pemilihan obyek pendapatan daerah yang tepat juga harus dibarengi dengan intensifikasi dalam pemungutannya, karena jika membebani penduduk maka Perda PAD akan dibatalkan oleh Pemerintah. Peningkatan IPM adalah salah satu janji kepala daerah pada saat kampanye selama proses Pilkada. IPM adalah komposit dari pencapaian daerah di bidang pendidikan, kesehatan dan kemampuan ekonomi masyarakat.

Selamat kepada Pemerintah Daerah Kota Bitung dan seluruh masyarakatnya. Prestasi yang diraih hamper bersamaan dengan dimulainya masa jabatan kedua Walikota Bitung, adalah buah dari hasil kerja keras,kerja cerdas, dan kerja iklhas. Selamat.(pr@m)

Rabu, 29 Desember 2010

Cara Lain Memahami Transfer ke daerah


(Tulisan ini telah dimuat dalam "Media Keuangan" Vol V No 38/Oktober/2010
(Anda dapat menemukan Slide Powerpoint dari Naskah ini di bagian akhir setelah Kesimpulan).

Otonomi Daerah dan Desentralisasi

Otonomi daerah di Indonesia telah dijalankan paling tidak dengan empat desentralisasi, yaitu: (1) desentralisasi politik, yang ditandai dengan pemilihan umum daerah baik untuk kepala daerah maupun untuk anggota DPRD,(2) Desentralisasi kewenangan yang dilaksanakan dengan PP No 38/2008 tentang Pembagian Kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, (3) Desentralisasi Ekonomi yang disepakati dengan pemahaman bahwa pembangunan negara dan bangsa harus dimulai daeri daerah, demikian juga pertumbuhan ekonomi nasional adalah agregat dari pertumbuhan ekonomi daerah, (4) Desentralisasi Fiskal, yang diwujudkan dengan (a) desentralisasi penerimaan melalui pemberian taxing power yang lebih luas kepada daerah. Wujud nyata dari desentralisasi penerimaan adalah dengan ditetapkannya UU No 28 Th 2010 tentang Pajak Daerah dan Retribusi daerah (PDRD) dengan pengalihan PBB dan BPHTB dari pajak pusat menjadi pajak daerah, (b) desentralisasi pengeluaran melalui alokasi Transfer Ke Daerah (TkD). Wujud dari desentralisasi pengeluaran adalah UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dengan Pemerintahan Daerah, dan PP No 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, demikian juga anggaran lain di luar Dana Perimbangan dengan dasar hukum UU APBN untuk melaksanakan kebijakan tertentu dari Pemerintah.

Pada prinsipnya desentralisasi fiskal berupa anggaran transfer ke daerah dimaksudkan untuk penyediaan anggaran bagi keberhasilan ketiga desentralisasi lainnya.

Transfer Ke daerah semakin bervariasi.

Terdapat 19 jenis dana TkD pada tahun 2011 seiring dengan semakin meningkatnya alokasi TkD dalam APBN 2011 secara signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. UU No 33 Tahun 2004 hanya mengamanatkan 3 komponen anggaran ke daerah, yaitu DBH, DAU, dan DAK. DBH telah dijabar menjadi 8 jenis. Lantas apa dasar hukum dari 9 jenis lainnya?. Lima jenis transfer ke daerah lainnya adalah dalam rangka pelaksanaan kebijakan tertentu Pemerintah yaitu otonomi khusus Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat berdasarkan UU No 21 Tahun 2001 dan Otonomi Khusus Provinsi Aceh berdasarkan UU No 11 Tahun 2006. Empat jenis dana lainnya dialokasikan dalam rangka kebijakan tertentu Pemerintah di bidang pendidikan nasional, yaitu (a) Tunjangan Tambahan Pengahasilan Guru PNSD, (b) Tunjangan Profesi Guru, (c) Bantuan Operasional Sekolah /BOS, (d) Dana Insentif Daerah/DID. Empat jenis dana yang terakhir tersebut adalah sebagain dari kewajiban Pemerintah memenuhi anggaran pendidikan dalam APBN sebesar 20%.

Jenis TkD yang semakin banyak dan bervariasi tersebut justru menuai kritik, antara lain dengan pertanyaan “mengapa mesti ada dana-dana lain di luar Dana Perimbangan”. Kebutuhan daerah akan pendanaan dari Pemerintah Pusat ternyata tidak cukup dengan Dana Perimbangan, atau dengan kata lain UU No 33 Tahun 2004 belum mampu menggambarkan kebutuhan pendanaan daerah. Apakan ini bukti dari ketidakmampuan Porsi DBH, formula DAU, dan kriteria DAK. Argumentasi tersebut belum tentu benar, karena mengubah-ubah porsi DBH akan menguntungkan suatu pihak dan pada waktu yang bersamaan akan merugikan pihak lain (pemerintah atau Daerah). Sementara itu, Formula DAU telah mempertimbangan tugas utama dari pemerintah daerah yaitu melayani penduduk, mengelola wilayah, dan menyediakan pendanaan untuk pelayan dan pengelola (yaitu PNSD). Di lain pihak kriteria yang digunakan dalam DAK telah berusaha meyediakan dana bantuan kepada daerah untuk mendanai sarana/prasarana dan infrastruktur yang rusak.

Kritik tersebut akan terus berlangsung sepanjang Grand Design tentang Desentralisasi fiskal belum disepakati. Konsep desentralisasi fiskal dalam Undang-undang No 33 Tahun 2004 baru mengatur secara sempit desentralisasi fiskal khususnya dana perimbangan dengan konsep perimbangan keuangan, belum mengakomodir konsep kebutuhan daerah secara lebih riil.

Dana Perimbangan bukan hadiah dari Pemerintah Pusat.

Persepsi Pemerintah terhadap Dana Perimbangan adalah sesuai dengan nomenklaturnya, yaitu “perimbangan”, yang dimaksudkan sebagai perimbangan antara daerah dengan kemampuan keuangannya lebih besar (umumnya berasal dari dana bagi hasi/DBH pajak maupun sumber daya alam/SDA) dan daerah dengan kemampuan keuangan yang lebih kecil. Daerah dengan kemampuan keuangan lebih tinggi akan mendapatkan DAU dan DAK lebih kecil dari daerah dengan kemampuan keuangan sedang atau rendah. Sebagai ilustrasi, daerah yang sudah mencapai prestasi penyediaan infrastruktur yang sangat baik maka data infrastruktur yang rusak menjadi kecil, dampaknya daerah tersebut akan mendapatkan DAK lebih kecil atau turun dari tahun sebelumnya bahkan mungkin tidak mendapatkan DAK. Demikian juga daerah yang mengalami peningkatan PAD yang signifikan akan meningkatkan kapasitas fiskal maka dimungkinkan DAU-nya lebih kecil dari tahun lalu bahkan bisa tidak mendapatkan DAU, demikian sebaliknya.

Persepsi daerah pada umumnya, kebijakan dana perimbangan akan men-discourage daerah khususnya bagi daerah yang PAD-nya meningkat dan daerah yang membelanjakan anggarannya untuk infrastruktur. PAD yang meningkat tidak mendapatkan insentif malah menjadi faktor pengurang DAU, sedangkan belanja infrastruktur yang berdampak pada insfrastruktur yang rusak menjadi sedikit tidak mendapatkan insentif melainkan mengurangi perolehan DAK pada bidang tertentu.

DBH juga tidak dapat dikatakan sebagai hadiah atau insentif, karena pemberian DBH bukan karena kinerja daerah dan tidak ada prestasi daerah yang dikaitkan dengan DBH. DBH Pajak sangat tergantung dari aparat perpajakan, regulasi perpajakan, wajib pungut pajak, dan wajib pajak. DBH Sumber Daya Alam (SDA) sangat tergantung dari kandungan SDA yang dapat diambil dari bumi dan intensitas ekplorasinya serta harga jual SDA. Kandungan SDA di suatu daerah adalah anugerah Allah swt (boleh dikatakan sebagai hadiah dari Allah bukan dari Pemerintah Pusat), sedangkan realisasi eksplorasi SDA bukan kinerja daerah melainkan lebih kepada pengelola SDA (pengusaha selaku explorer dan Pemerintah sebagai regulator).

Konsep Trilogi Dana Perimbangan

Kemampuan Keuangan suatu daerah pada awalnya dihitung dari capaian prestasi daerah di bidang fiskal yaitu PAD, dan anugerah Allah berupa DBH SDA, serta partisipasi penduduknya dalam pembayaran pajak berupa DBH Pajak. Dari ketiga komponen tersebut grafik kemampuan keuangan daerah terlihat perbedaan kemampuan yang mencolok dalam arti tidak merata atau tidak seimbang antara daerah yang satu dengan yang lain atau terlihat adanya kesenjangan keuangan (fiscal imbalance).

Dengan prinsip equalization instrument dan minimizing fiscal imbalance, DAU dimaksudkan sebagai alat untuk mengurangi kesenjangan fiskal tersebut. Oleh karena itu dalam perhitungan DAU dipertimbangkan kemampuan keuangan daerah dari sumber PAD dan DBH selain mempertimbangkan kebutuhan keuangan daerah berupa kebutuhan untuk melayani penduduk dan kebutuhan untuk mengelola wilayah, serta mempertimbangkan pula aspek keuangan lain berupa kebutuhan pendanaan untuk pelayan penduduk dan pengelola wilayah yaitu pegawai negeri sipil daerah (PNSD). Daerah dengan PAD dan DBH yang tinggi (apalagi telah mampu mendanai kebutuhan keuangan) umumnya DAUnya kecil bahkan dimungkinkan tidak mendapatkan DAU.

Meskipun telah ada DBH dan DAU dimungkinkan terdapat daerah yang masih belum mampu mendanai perbaikan atau pembangunan sarana prasarana dan infrastruktur dari bidang-bidang tertentu yang menjadi prioritas nasional. Dengan alasan tersebut maka diberikanlah dana alokasi khusus (DAK). Oleh karena itu perhitungan DAK per daerah harus mempertimbangkan besaran DBH dan DAU.

Keterkaitan yang sangat erat bahkan tak terpisahkan ini yang kemudian menimbulkan Konsep Trilogi Dana Perimbangan, susunan yang terdiri dari tiga komponen yang saling berhubungan dan tidak terpisahkan untuk mewujudkan thema tertentu. Thema yang dimaksud adalah perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan daerah serta antar Pemerintahan Daerah.

KPA Transfer Ke Daerah mengelola dana sepertiga Belanja APBN

Tahun 2011 merupakan tahun yang bagus bagi dana TkD yang meningkat cukup signifikan. Peningkatan Anggaran TkD ini merupakan implikasi dari peningkatan pendapatan dalam APBN. Meskipun semua belanja adalah fungsi dari pendapatan, namun sebagian besar komponen anggaran TkD sangat erat hubungannya bahkan terkait langsung dengan pendapatan. Dana Alokasi Umum (DAU) dengan alokasi sebesar Rp225,5 Triliun adalah setara dengan 26% Pendapatan Dalam Negeri Neto adalah 17% dari Belanja APBN. Dana Bagi Hasil (DBH) adalah setara dengan persentase tertentu dari Penerimaan Negara Pajak (PNP) dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang dibagi hasilkan adalah 6% dari Belanja APBN. Besaran Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua, provinsi Papua Barat, dan Provinsi Aceh adalah setara dengan 4% dari Pagu DAU atau 0,8% dari Belanja APBN.

DAK adalah komponen TkD yang tidak terkait langsung dengan Pendapatan dalam APBN, demikian juga tidak trkait dengan besaran DBH maupun DAU. Dalam APBN 2011 komponen ini mengalami peningkatan sekitar 20% dari tahun 2010 dengan penambahan 5 bidang baru atau 35% menjadi 19 bidang dengan alokasi mencapai 2% dari belanja APBN. Keempat komponen dana ke daerah tersebut (DBH, DAU, DAK, dan Dana Otsus) mencapai besaran 26,3% dari Belanja APBN. Apabila ditambahkan dengan Dana Penyesuaian akan mencapai sekitar 30%.

KPA Transfer Ke Daerah adalah KPA dengan besaran dana terbesar mencapai hampir sepertiga dari belanja dalam APBN 2011. Namun demikian KPA Transfer berbeda dengan KPA Belanja sebagaimana dilaksanakan oleh kementerian/lembaga (K/L) pada umumnya. KPA K/L bertugas membelanjakan dana, mempertanggungjawabkan, dan melaporkan penggunaan anggaran K/L , berbeda dengan tugas KPA Transfer adalah menyalurkan dana ke Rekening Kas Umum Daerah, sedangkan pembelanjaannya dilakukan oleh daerah. Itulah sebabnya Transfer ke Daerah disebut sebagai two steps spending. Step pertama adalah penyaluran oleh DJPK Kem Keuangan dengan kinerja penyaluran TkD secara optimal, dan step kedua adalah pembelanjaan oleh Daerah dengan ukuran kinerja seperti yang ditetapkan dalam APBD. Pertanggungjabannya dilakukan juga dua tahap, pertama oleh DJPK selaku KPA Transfer dan kedua oleh daerah sebagai KPA belanja yang dilaksanakan di semua daerah.

Transfer Ke daerah : Penyaluran Dana dengan Rasa Efisiensi dan Motivasi

Sejak Tahun 2008 penyaluran Transfer ke Daerah dilakukan secara sentralisasi, dalam arti untuk jumlah penerima transfer yang besar (524 daerah) hanya dilakukan oleh satu unit KPA dan satu bendahara umum negara (BUN) di Kementerian Keuangan. DJPK selaku KPA Transfer Ke Daerah menerbitkan SPM atas DIPA Bagian Anggaran 999.05 dan KPKN Jakarta II selaku BUN menerbitkan SP2D untuk mendistribusikan dana ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) melalui Rekening Kas Umum Negara (RKUN) yang ada di BI (Tahun 2008 dan 2009) dan BRI Cabang Krekot Jakarta (untuk 2010 dan selanjutnya).

Tujuan utama penyaluran Transfer ke Daerah adalah penyampaian dana secara tepat waktu, tepat jumlah dan tepat sasaran penerimanya. Untuk mewujudkan tujuan utama dengan pencapaian kinerja yang semakin baik maka ketentuan mengenai penyaluran selalu dievaluasi dan direvisi dari semula dengan PMK No 04/2008, diubah dengan PMK No 21/2009, dan terakhir diubah dengan PMK No 126/2010. Perubahan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dari pencapaian tujuan utama penyaluran trenasfer ke daerah dan memotivasi daerah dalam pencapaian kinerja tertentu.

Ulasan mengenai efisen yang dicapai dengan mekanisme penyaluran Transfer Ke Daerah telah dimuat dalam bulletin ini beberapa waktu yang lalu, sedangkan motivasi yang dimaksud meliputi; (1) mendorong daerah untuk segera menetapkan Perda APBD tepat waktu, tidak lebih dari akhir tahun anggaran, apabila daerah ingin DAK-nya segera disalurkan dan DAU-nya tidak dilakukan penundaan, serta kinerjanya dicatat sebagai salah satu komponen insentif daerah, (2) memudahkan daerah menyusun cashflow management, dengan ditetapkannya waktu penyaluran dan besaran dananya , (3) mendorong agar penyerapan dana yang lebih tinggi, apabila daerah ingin penyaluran tepat waktu, dengan penyampaiakn laporan penyerapan secara tepat waktu, (4) memotivasi KPA (yaitu DJPK-Kementerian Keuangan) sebagai pemilik indikator kinerja utama (IKU) untuk mengusahakan agar penyaluran transfer ke daerah mencapai porsi yang dijanjikan. (5) mendukung tujuan pemerintah untuk penyusunan laporan keuangan pemerintah pusat dengan opini yang lebih baik, dengan penyediaan dokumen sumber yang lengkap dan besaran yang tepat.

Dana Insentif Daerah (DID) Komponen Transfer sebagai Hadiah.

Dana Perimbangan bukan insentif atau hadiah bagi daerah, namun ada komponen Transfer ke Daerah yang dimaksudkan sebagai insentif atau hadiah bagi daerah karena pencapaian tertentu. DID ini adalah salah satu upaya Pemerintah untuk memotivasi daerah dari aspek yang lain, yaitu kinerja pengelolaan keuangan dan kinerja ekonomi dan kesejahteraan. DID adalah motivator sekaligus insentif.

Semua daerah diukur pencapaian 4 (empat) aspek kinerja pengelolaan keuangan daerah berupa (1) perolehan opini BPK terhadap laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD), (2) kinerja ketepatan waktu penetapan Perda APBD, (3) Kinerja peningkatan PAD, dan (5) kinerja peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM). Aspek kinerja lainnya adalah 4(empat) aspek kinerja ekonomi dan kesejahteraan diukur dari (a) kinerja peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah, (b) kinerja penurunan angka kemiskinan, (c) kinerja penurunan angka pengangguran, dan (d) kinerja penurunan tingkat inflasi lokal.

DID baru pertama kali diluncurkan dalam APBN 2010 sehingga tujuan dari DID belum terlihat dalam tahun 2010, namun gema dari peluncuran DID ini telah mendapatkan repon baik pro maupun kontra. Hasil dari upaya memotivasi daerah diharapkan akan terlihat di tahun 2011, antara lain dengan opini yang lebih baik atas LPKD tahun 2010 hasil audit BPK yang dilaksanakan dalam tahun 2011. Pihak yang pro sependapat bahwa daerah akan termotivasi untuk mendapatkan DID, sementara pihak yang kons menyayangkan adanya dana lain di luar Dana Perimbangan dan menjadikan undang undang APBN sebagai legalisasi untuk menghalalkan segala dana ke daerah.

Kesimpulan

Persepsi Daerah terhadap TkD pada umumnya berbeda dengan persepsi Pemerintah. Kebanyakan daerah tidak peduli bahwa ada daerah lain (mungkin tetangga yang berbatasan) lebih buruk kondisi keuangannya. Argumentasinya, daerah tersebut belum dapat melayani penduduk dan mengelola wilayah dengan baik mengapa diberikan dana perimbangan yang banyak. Sedangkan konsep yang dianut Pemerintah adalah justru daerah yang seperti itu yang harus segera ditingkatkan kemampuannya melalui dana perimbangan agar lebih cepat sejajar dengan daerah lain yang sudah lebih lama melayani penduduk dan mengelola wilayah. Dengan kata lain, belum banyak daerah yang memahami konsep perimbangan antar daerah. Oleh karena itu perlu cara / upaya lain untuk memahamkan semua pihak terhadap konsep TkD khususnya Dana Perimbangan.