Kamis, 26 Februari 2009

Transparansi perhitungan DBH Migas

Naskah ini disusun berdasarkan wawancara tertulis dengan Majalah Energi Antarnusa yang diterbitkan oleh Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM), yang kemudian dimuat dalam Laporan Khusus, Edisi 04 Januari 2008, dengan judul pokok “Departemen Keuangan Menjawab”. Paparan berikut ini menampilkan terlebih dahulu sub judul yang mewakili substansi pertanyaan agar pembaca dapat lebih mudah memahami permasalahan yang ditanyakan.

Terdapat 7 (tujuh) sub judul yaitu:
1. Dana Bagi Hasil Migas - grant atau revenue sharing?
2. Transparansi Perhitungan DBH Migas Vs perhitungan DAU dan DAK
3. Rekonsiliasi PNBP/DBH Migas sebagai alat transparansi
4. Perhitungan PNBP Migas dan DBH Migas oleh 2 unit yang berbeda, swemakin baikkah:.
5. Rakyat tidak ikut menanggung Subsidi BBm, benarkah?
6. Pengunaan dana Cost Recovery
7. Tantang Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM)

(1)
Dana Bagi Hasil Migas – grant atau revenue sharing.

PERTANYAAN:
Eksistensi filosofi dari apa yang disebut dengan bagi hasil pusat dan daerah khusus untuk migas, apakah itu grand atau real share? Kita ingin tahu menurut Bapak filosofinya itu seperti apa?

JAWABAN:
Secara normative terdapat dua pengertian dana bagi hasil (DBH) yang satu sama lain saling melengkapi. DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu. Definisi yang pertama setelah rangkaian kalimat tersebut masih ditambahkan dengan frase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, sedangkan definisi yang kedua ditambahkan dengan frase dengan memperhatikan potensi daerah penghasil

Pertanyaan khusus untuk migas apakah itu grant atau real share, kiranya perlu diluruskan, bahwa DBH secara harafiah sudah jelas adalah dana bagi hasil, baik untuk migas maupun sumber daya alam (SDA) lainnya sama – dana bagi hasil. Pengertian dana bagi hasil dicerminkan dari frase “yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu”. Prinsipnya adalah memperhatikan daerah penghasil atau by origin , bahwa daerah yang menghasilkan SDA (atau daerah penghasil) mendapatkan porsi yang lebih besar dari pada daerah yang bukan penghasil dan pembagiannya berdasarkan realisasi penerimaan dari sektor SDA yang disetorkan oleh kontraktor.

Dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, DBH adalah salah satu instrument dana perimbangan dalam rangka perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah agar bersama-sama dengan dana perimbangan yang lain dapat digunakan oleh daerah untuk mendanai sebagian kewenangan yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah (money follows fuction).

DBH dimaksudkan untuk mengurangi baik vertical imbalance (kesenjangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah) mapun horizontal imbalance (kesnjangan antar daerah). Vertical imbalance diwujudkan dengan pembagian dengan porsi yang wajar antara pemerintah pusat dengan daerah penghasil, sedangkan horizontal imbalance diwujudkan dengan pembagian secara merata bagi daerah bukan penghasil yang berada di dalam wilayah provinsi yang sama dengan daerah penghasil.

Pembagian dengan porsi pemerintah yang lebih besar dari porsi daerah dapat dipahami karena pemerintah harus mendanai kewajiban dan kewenangan yang lebih besar yang tidak dapat dilimpahkan kepada daerah antara lain di sektor pertahanan, sektor keamanan, sektor keuangan dan moneter (antara lain membayar utang dalam maupun luar negeri), sektor hukum dan peradilan, dan sektor agama.

(2) Transparansi perhitungan DBH Migas vs perhitujngan DAU dan DAK

PERTANYAAN:
Terkait dengan transparansi, apakah yang tidak transparan hanya khusus bagi hasil migas saja, mengingat hitung-hitungannya yang rumit, bagaimana dengan perhitungan dana perimbagan yang lain seperti DAU dan DAK?

JAWABAN:
Adanya pendapat bahwa terjadi perhitungan yang tidak transparan dalam DBH Migas tidak relevan jika dikaitkan dengan perhitungan yang rumit, apalagi dalam zaman dengan teknologi informasi yang tinggi hampir tidak ada yang rumit. Transparansi lebih relevan dihubungkan dengan keterbukaan dalam perhitungan, yang ditandai dengan (a) penetapan porsi yang wajar untuk masing-masing pihak yang telah disepakati dalam peraturan perundang-undangan, (b) kewajiban untuk melaksanakan rekonsiliasi untuk menghitung penerimaan dari setoran SDA antara pemerintah pusat dengan daerah sebelum maupun sesudah melakukan pembagian dana, (c) data setoran disediakan oleh institusi yang berwenang, yaitu pihak yang menerima dan menatausahakan setoran (yang mewakili fungsi kas Negara), pihak yang akan menerima pembagian (pemerintah pusat dan daerah), dan data dari pihak yang melaksanakan setoran. Hasil perhitungan DBH SDA adalah obyek audit oleh BPK dan Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan

Perhitungan DAU didasarkan pada data yang disediakan oleh lembaga pemerintah yang berwenang melaksanakan fungsi statistik. Departemen Keuangan melakukan perhitungan DAU berdasarkan data masing-masing daerah yang disediakan oleh BPS, Departemen Dalam Negeri bersama Bakosurtanal, dan Departemen Keuangan sendiri, bahkan data dari daerah sendiri yang sudah diaudit oleh BPK. Pemerintah melakukan perhitungan berdasarkan fornula DAU yang telah ditetapkan dengan undang-undang dan peraturan pemerintah, serta kebijakan tahunan yang disepakati antara pemerintah dengan DPR dalam rangka pembahasan RUU APBN. Seperti yang terjadi dalam perhitungan DBH SDA Hasil perhitungan DAU adalah obyek audit oleh BPK dan Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan.

Sebagai analogi dengan perhitungan yang dilakukan dalam DBH SDA dan DAU, dalam perhitungan DAK-pun pemerintah melaksanakan dengan mekanisme yang jelas dan terbuka berdasarkan data yang disediakan oleh lembaga yang berwenang menyediakan data statistik, serta data teknis yang disediakan oleh kementerian/ lembaga yang terkait dengan pengelolaan DAK.

(3)
Rekonsiliasi PNBP/DBH Migas sebagai alat transparansi

PERTANYAAN :
Bagaimana Bapak mensiasati agar transparansi dalam bagi hasil ini dapat dikontrol, karena peran Bapak ada di ujung dari rangkaian perhitungan bagi hasil, apakah menurut Bapak rapat rekonsiliasi dirasa sudah cukup ?

JAWABAN :
Dari uraian sebelumnya sudah cukup jelas bahwa kedudukan Departemen Keuangan yang diwakili oleh DJPK adalah sebagai Unit Pengguna Data yang disediakan oleh lembaga pemerintah yang berwenang. Mekanisme rekonsiliasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor SDA adalah salah satu mekanisme pengendalian transparansi. Selama ini pembahasan yang dihadiri hampir semua stakeholders setiap triwulan barangkali dinilai inefficient, time consuming, maupun energy consuming, oleh karena itu mulai tahun 2008 DPR bersama pemerintah telah menyepakati bahwa penyaluran DBH SDA dapat dilakukan dengan pentahapan Triwulan I 20%, Triwulan II 20% dari alokasi DBH SDA masing-masing daerah yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK), keduanya tanpa didahului dengan rekonsiliasi PNBP SDA, baru Triwulan III dan Triwulan IV masing-masing melalui mekanisme rekonsiliasi sebelum dilakukan penyaluran, dengan memperhitungkan penyaluran yang sudah dilakukan pada triwulan sebelumnya.

Langkah penyederhanaan ini disamping akan memberikan kepastian pemasukan dana ke rekening Kas Daerah juga akan memberikan kesempatan bagi penyedia data untuk menyiapkan data dengan waktu yang lebih longgar, sehingga kualitas rapat rekonsiliasi akan menjadi meningkat. Rapat rekonsiliasi ini akan lebih meningkat kalitasnya dan cukup dapat dipakai untuk perhitungan DBH SDA sepanjang semua stakeholders yang berkompeten menyediakan data dapat secara jernih dan terbuka saling mengkoreksi dan melengkapi data, sehingga DJPK sebagai pengguna data untuk melakukan pembagian dapat mempertanggungjawabkan tugasnya yang merupakan ujung dari mekanisme rekonsiliasi.

Perlu kiranya dikemukakan kembali bahwa penyaluran DBH SDA bukan merupakan tahap akhir dari rekonsiliasi karena proses rekonsiliasi juga akan diaudit oleh Inpektorat Jenderal Departemen Keuangan, dan pada kesempatan yang berbeda juga oleh BPK. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa rekonsiliasi adalah salah satu cara untuk mewujudkan transparansi.

Transparansi juga diwujudkan dengan mengakomodasikan setiap dokumen setoran tahun lalu yang baru dapat diidentifikasi peruntukannya atau daerah penghasilnya dalam tahun berjalan, sehingga hak daerah yang belum dipenuhi pada tahun lalu tetap dapat dibayarkan dalam tahun berjalan. Demikian juga apabila terbukti adanya kekurangan salur atau kesalahan salur selalu dapat dikoreksi pada tahun berikutnya, bahkan kalaupun belum tersedia anggarannya dalam APBN tahun berjalan, maka diupayakan untuk mendapatkan persetujuan DPR pada pembahasan APBN-Perubahan.

(4) Perhitungan PNBP Migas dan DBH Migas oleh 2 Unit yang berbeda, semakin baik kah?

PERTANYAAN :
Sebagaimana diketahui sejak tahun 2007, penyaluran DBH SDA Migas dilaksanakan oleh Ditjen Perimbangan Keuangan, sementara perhitungan DBH SDA Migas tersebut sampai memperoleh hasil PNBP masih tetap dilaksanakan oleh Dit. PNBP Ditjen Anggaran. Menurut Bapak apakah cara ini lebih baik atau malah kemunduran. Mohon pendapat Bapak.

JAWABAN :
Tahun 2007 adalah masa transisi pelaksanaan tugas DJPK yang merupakan unit yang terpisah dari Direktorat Jenderal Anggaran (DJA). Ide dari pemisahan ini antara lain adalah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan transparansi. DJA yang diwakili oleh Direktorat PNBP berwenang atas kebijakan PNBP dan penyediaan data perkiraan PNBP termasuk PNBP SDA, Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB) berwenang terhadap penerimaan setoran PNBP dan penyediaan data realisasi PNBP, sedangkan DJPK yang diwakili oleh Direktorat Dana Perimbangan diberi kewenangan untuk membagi dana kepada daerah sesuai ketentuan.

Sebagai unit yang mengemban tugas baru, proses pembelajaran tentu harus dilalui. Kekurangan yang terlihat sejak proses rekonsiliasi Triwulan I sampai dengan penyaluran DBH SDA Triwulan IV adalah dalam rangka proses pembelajaran tersebut. Namun saya melihat perkembangan yang semakin membaik dalam pelayanan penyaluran DBH-SDA. Target yang kelihatan sederhana namun cukup sulit dilaksanakan adalah melakukan penyaluran sebanyak 4 kali (4 triwulan) dalam tahun 2007, dan ini sudah dilaksanakan dengan cukup baik, apabila dibandingkan dengan sebelumnya. Dibandingkan dengan masalah menyiapkan SDM di DJPK dalam memahami DBH SDA, masalah koordinasi antar stakeholder jauh lebih sulit. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila salah satu butir kebijakan dalam DBH SDA yang dimuat dalam Laporan Panitia Kerja Belanja Ke Daerah dalam rangka Pembahasan RUU-APBN 2008 adalah meningkatkan koordinasi antar unit yang terkait.

Secara bertahap pola kerja tersebut tentu akan dilaksanakan dengan lebih baik. Hal yang sama terjadi juga dalam penerimaan perpajakan. Selama ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melaksanakan kebijakan perpajakan dan penyediakan data perkiraan pajak, DJPB melakukan penerimaan setoran / realisasi pajak melalui Kas Negara, sedangkan DJPK akan melakukan pembagian pajak kepada daerah. Dengan mekanisme check and balance seperti ini akan menjadi lebih baik dengan dukungan standar operasi dan prosedur (SOP) yang telah disusun dan dilaksanakan dengan baik.

(5) Daerah tidak ikut menanggung subsidi BBM? Benarkah?

PERTANYAAN :
Komentar Bapak tentang pendapat atau paradigma dari sebagian orang yang mengatakan bahwa daerah tidak ikut menanggung subsidi BBM, bagaimana?

JAWABAN :
Menurut pendapat saya semua rakyat Indonesia yang membayar pajak turut menanggung Subsidi BBM, karena pendapatan negara sebagian besar masih didukung dari penerimaan sektor perpajakan. Sebagian dari penerimaan tersebut untuk membiayai subsidi BBM. Oleh karena itu daerah yang turut dengan aktif mengintensifkan penerimaan perpajakan akan memberikan sumbangan terhadap subsidi BBM, terlebih lagi daerah yang juga penghasil SDA memberikan andil yang besar dalam pendapatan negara.

Dalam APBN 2007 terlihat bahwa Penerimaan Perpajakan masih mendominasi Penerimaan Dalam Negeri dengan 71,3% atau sebesar 65,4% dari seluruh Belanja Negara. Dalam APBN 2007 tercatat bahwa keseluruhan subsidi (diantaranya adalah Subsidi BBM) mengambil porsi 14% dari Belanja Negara. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa semua rakyat yang membayar pajak dan daerah yang mendorong peningkatan penerimaan perpajakan turut menanggung subsidi BBM, yang merupakan bagian dari Belanja Negara.

(6) Penggunaan dana Cost Recovery

PERTANYAAN:
Pendapat Bapak tentang penggunaan dana cost recovery.

JAWABAN:
Yang dapat saya sampaikan adalah bahwa DJPK tidak menerima laporan tentang penggunaan dana cost recovery perusahaan migas dan tidak berwenang melakukan evaluasi. Kiranya kita semua maklum bahwa permasalahan cost recovery ini bukan semata-mata persoalan Departemen Keuangan, melainkan masalah semua kementerian/lembaga yang terkait dengan pengelolaan minyak dan gas bumi – masalah pemerintah bahkan juga menjadi permasalah lembaga legislatif. Oleh karena itu penyelesaiannya tidak cukup hanya oleh Departemen Keuangan, melainkan seluruh kementerian/lembaga yang terkait.

(7) Tentang Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM)

PERTANYAAN:
Apa pendapat Bapak tentang keberadaan FKDPM?

JAWABAN:
Saya sangat percaya bahwa FKDPM dibentuk dengan niat dan tujuan yang baik untuk kemaslahatan daerah, khususnya daerah penghasil migas. Niat dan tujuan yang mulia dari FKDPM bisa terwujud jika FKDPM secara proporsional dapat memandang permasalahan bukan saja dari persepsi daerah penghasil namun juga dari persepsi pemerintah pusat memandang permasalahan DBH SDA Migas, sehingga keberadaan FKDPM dapat menjembatani antara kebutuhan dan hak daerah dengan kewajiban pemerintah pusat kepada daerah.

Pemahaman yang lebih mendalam terhadap pengetahuan dan peraturan perundangan terkait dengan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal akan membuat FKDPM sebagai suatu lembaga konsultasi yang bukan hanya akan mendapatkan kepercayaan dari daerah penghasil, melainkan juga akan mendapatkan perhatian dari pemerintah jika mampu menyampaikan informasi dan aspirasi daerah penghasil secara proporsional dan wise.


Senin, 23 Februari 2009

Realisasi DBH SDA yang merosot dan pengaruhnya terhadap APBD

Dari 3 komponen Dana Perimbangan, DBH adalah komponen yang paling memberikan pengaruh tidak menentu terhadap APBD. DAU sudah menjadi angka final pada saat APBN ditetapkan, demikian juga DAK. Dua komponen dana perimbangan tersebut dicatat sebagai pendapatan dalam APBD sebagai fixed revenue. DBH yang sampai tahun 2009 terdiri dari 4 subkomponen - pertambangan umum, kehutanan, perikanan, dan migas, menjadi non-fixed revenue karena pencatatan pendapatan dalam APBD masih sebagai perkiraan, yang menjadi fixed revenue berdasarkan realisasi PNBP-nya. Realisasi PNBP sangat tergantung dari tarip/harga, nilai tukar rupiah terhadap valas, dan produksi. Realisasi PNBP/DBH bisa lebih tinggi dari perkiraan namun juga bisa sebaliknya.


Kita ambil satu komponen DBH yang dalam beberapa tahun terakhir selalu lebih rendah dari perkiraannya, yaitu DBH Perikanan. Berbeda dengan sifat DBH lainnya, DBH ini cukup unik, (1) tidak kenal daerah penghasil yang spesifik, dan (2) dibagi rata kepada semua daerah kabupaten/kota. Karena sifatnya inilah barangkali departemen teknis merasa tidak memiliki "greget" untuk meningkatkan PNBP, antara lain hampir karena tidak ada daerah yang "mengejar" data PNBP/DBH karena daerah tidak ikut memiliki. Hal ini berbeda dengan DBH yang lain dimana status daerah penghasil menjadikan suatu daerah sangat ingin tahu hasil yang akan dibagi.

Data tahun 2006 sd 2009 menunjukkan bahwa target PNBP Perikanan merosot gradually dari Rp250 M (100%) ke Rp200 M (80%) menjadi Rp 150 M (60%), yang lebih menyedihkan lagi pencapaian realisasi PNBP-nya merosot tajam dari Rp200 (100%) hanya tercapai Rp197 M (78,8%), tahun berikutnya menurun hanya mencapai Rp116 M (46,3%), selanjutnya turun lagi menjadi Rp78 M (39,2%). DBH Perikanan adalah porsi 80% dari realisasi PNBP-nya. Pada tahun 2008 dari pagu DBH sebesar Rp160 M hanya tercapai Rp 63 M, padahal menurut ketentuan DBH triwulan I dan II harus disalurkan 40% atau Rp 64 M sebelum terlihat berapa realisasi PNBP-nya. Akibatnya terjadi kelebihan salur sebesar sekitar Rp1,3 M atau sekitar Rp5 juta per daerah. Boro-boro impas atara pagu DBH dengan realisasinya malah utang !. Apakah kondisi seperti ini akan dibiarkan terus?. B agaimana tanggungjawab departemen tehnis terkait ?.

Kondisi ini terjadi juga pada realisasi DBH SDA Pertambangan Umum, secara keseluruhan DBH Pertambangan Umum kelihatan tidak terlalu banyak mengalami penurunan, namun rincian DBH per daerah terlihat perencanaan yang kurang baik. DBH di beberapa daerah menunjukkan lebih salur karena perkiraan per daerah yang terlalu optimis. Pola penyaluran transfer triwulan I dan triwulan II masing-masing 20% tanpa melihat realisasi juga turut andil dalam menciptakan lebih salur atau utang daerah. Tujuan yang semula dimaksudkan untuk memihal kepada daerah dalam arti memberikan kepastian waktu dan besaran masuknya pendapatan ternyata belum menunjukkan hasil yang diharapkan.

Dilain pihak peran daerah agar dapat membantu dalam perencanaan dan pencapaian target PNBP belum ditanggapi semua daerah dengan cukup wajar. Kepercayaan daerah bahwa mereka mempunyai peran rupanya belum tumbuh. Peran daerah sebaiknya diawali dengan hubungan yang baik antara pemerintah daerah dengan pada kontraktor pertambangan umum. HUbungan ini akan membantu pemerintah daerah mendapatkan akses untuk data rencana produksi, mendapatkan copy dokumen setoran landrent maupun royalty. Terlebih lagi apabila pemerintah provinsi berperan aktif menkoordinasikan hubungan yang harmonis antara kabupaten/kota di wilayahnya dengan para kontraktor/pengusaha pertambangunan umum. Informasi yang diperoleh dari koordinasi ini akan sangat bermafaat bagi Dep ESDM dalam merencanakan PNBP/DBH pertambangan Umum per daerah.

Barangkali kita boleh berasumsi bahwa daerah yang memnyampaikan hasil koordinasi tersebut kepada Dep ESDM mestinya terhindar dari lebih salur, karena perencanaan yang lebih baik berdasarkan data yang dapat dipercaya. Seyogyanya kita buktikan.



Hakekat Dana Perimbangan

Membagi-bagi dana transfer ke daerah, dapat diibaratkan sebagai orang tua yang membagikan penghasilannya kepada anak-anaknya. Kita taruh misalnya sebuah rumah tangga dengan 5 anak, anak sulung sudah bekerja sudah menikah dan tentunya berpenghasilan sendiri, anak kedua sudah bekerja belum menikah masih tinggal serumah dengan orang tuanya, anak ketiga masih kuliah, anak keempat duduk di kelas 3 SMA, dan si bungsu belajar di SMP.
DBH Pajak
Kepada anak sulung orang tua tidak perlu memberikan dana, ini adalah representasi dari daerah yang beruntung mempunyai kapasitas fiskal yang baik, seperti Prov DKI, Kab Bengkalis, Kab Siak, Kab Indragiri Hilir (ketiganya di wilayah Prov Riau), dan Kab Kutai Kertanegara (Prov Kaltim), yang pada tahun 2009 tidak mendapatkan DAU. Daerah-daerah tersebut telah mandiri dengan kemampuan keuangan yang berasal dari DBH Pajak dan DBH SDA. Bahkan karena benar-benar sudah kuat posisi keuangannya maka DAK-pun tidak perlu dialokasikan di sebagian dari daerah-daerah tersebut.

Anak kedua sudah bekerja, namun karena sebagai pegawai baru penghasilannya sebesar Rp 3 juta sebulan hanya cukup untuk makan dan transpor. Dia belum mampu sewa kamar diluar, padahal dia ingin meningkatkan pendidikannya untuk persiapan memperoleh posisi yang lebih baik di kantornya, maka orang tuanya berbaik hati mendanai sekolahnya dan masih memberikan ruang di rumahnya. Anak kedua ini adalah reprentasi dari daerah yang mempunyai kemampuan keuangan yang sekedar cukup, maka kepadanya diberikan sedikit DAU untuk kebutuhan pribadinya, dan diberikan juga DAK bidang pendidikan.

Kita tentu sudah menduga anak ketiga, keempat, dan kelima akan mendapat apa dan berapa?. dari aspek penghasilan yang menunjukkan kemampuan keuangan, ketiganya tidak mempunyai kemampuan keuangan. Ketiga anak terswebut merepresentasikan daerah yang kemampuan keuangannnya benar-benar sangat tergantung dari dana perimbangan, oleh karena itu diberikan DAU yang cukup besar untuk kebutuhan dasarnya-sandang, pangan, dan papan. Anak ketiga tentu memerlukan pendanaan yang lebih besar, kepadanya diberikan DAK yang lebih besar dari adaik-adiknya, si bungsu tentunya mendapatkan DAK yang lebih kecil.

Dari analogi tersebut dapat ditunjukkan bahwa penghasilan itu setara dengan anugerah Allah yang diberikan kepada daerah melalui sumber daya alam yang ada, demikian juga sumber daya pajak, dan PAD kalau dua anak yang berpenghasilan tersebut masih mau kerja lembur untuk menambah penghasilan. Dari perumpamaan tersebut kiranya menjadi jelas bahwa pengalokasian dana perimbangan tidak dapat melihat komponen-komponen secara terpisah, melainkan harus dikalkulasi secara bersama-sama.

Berbahagialah menjadi anak sulung dan anak kedua, dan bersyukurlan karena telah lebih dahulu mendapatkan anugerah Allah yang menyebabkan kemampuan keuangannya lebih dari adik-adiknya. Bukan malah iri dengan kepada adik-adiknya bahkan mengkritik orang tuanya karena dianggap berlaku tidak adil. Keadilan adalah memberikan kepada yang membutuhkan apa yang menjadi haknya, namun hak tersebut harus ditakar dengan timbangan proporsi, formula, dan kriteriayang konsist en. Proporsi adalah gambaran dari dana bagi hasil (DBH), formula adalah takaran dana alokasi umum (DAU), dan kriteria adalah ukuran dana alokasi khusus (DAK).

Jakarta, Ruang Sidang Panitia Anggaran DPR, sambil dengerin Menteri Keuangan memaparkan "Mengatasi Dampak Krisis Global melalui Stimulus Fiskal APBN 2009" Jam 21.10 wib.

Senin, 16 Februari 2009

Problematika Pemekaran Daerah

Problematika Pemekaran Daerah dalam Sistem Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah

Wafatnya Ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara pada unjuk rasa untuk mendorong terwujudnya Wilayah Tapanuli sebagai provinsi ter pisah dari Prov Sumatera Utara, adalah peristiwa tragis anarkhis yang menodai maksud baik dari pemekaran daerah. UU no 5 tahun 1975 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah mengamanatkan visi awal dari otonomi daerah, yaitu dari aspek politik pemekaran daerah harus mempertinggi semangat dan mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara, dan dari aspek sosial ekonomi pemekaran daerah harus mempertinggi /meningkatkan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Mencermati pelaksanaan pemekaran daerah beberapa tahun terakhir terlihat kecenderungan terjadi pergeseran persepsi baik dari aspek politis maupun aspek sosial ekonomi. Dari aspek politis banyak orang mengejar jabatan dan kekuasaan. Desentralisasi politik diterjemahkan sebagai pembentukan lebih banyak DPRD, disinilah kesempatan untuk menjadi pejabat legislatif. Pada aspek sosial ekonomi nampak pula pergeseran pemahaman, desentralisasi ekonomi diterjemahkan dengan kesempatan untuk mendapatkan alokasi dana dari Pemerintah Pusat untuk mendanai pelaksanaan desentralisasi kewenangan.

Banyaknya alokasi dana dari Pemerintah Pusat ke daerah ( yang sekarang disebut sebagai Transfer ke Daerah) memang dapat diartikan akan lebih memakmurkan rakyat, namun pertanyaannya apakah juga sudah memberdayakan masyarakat?. Apakah dengan semakin banyaknya pejabat perwakilan rakyat daerah dan semakin banyaknya pejabat eksekutif daerah akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat?. Apakah semakiin banyak alokasi ke daerah sudah dibarengi dengan upaya untuk mengelola dengan lebih baik?.

Paparan berikut ini mencoba menunjukkan problematika pemekaran daerah khususnya dalam hubungannya dengan sistem perimbangan keuangan (transfer ke daerah) dan sistem pengalihan /pembantuan kewenangan (asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan). Paparan ini pernah disampaikan oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dalam beberapa kesempatan antara lain Semiloka Nasional Grand Strategi Penataan Daerah di Indonesia tanggal 18 Desember 2008, Pembahasan Problematika Pemekaran Daerah di Dewan Pertimbangan Presiden tanggal 16 Februari 2009. Sebagian materi bahkan disampaikan oleh Menteri Keuangan dalam Sidang DPOD tanggal 11 Juni 2008 di Jakarta.

Paparan tersebut antara lain menggambarkan:
(1) Perkembangan jumlah daerah ; (2) Dampak pemekaran terhadap Dana Perimbangan -DBH, DAU, dan DAK; (3) Dampak pemekaran terhadap alokasi anggaran kementerian/lembaga baik instansi vertikal maupun dalam rangka asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan; dan (4) Beberapa permasalahan lain dari pemekaran daerah.

Silahkan Klik disini apabila anda berminat. Kami juga mengundang diskusi dan komentar anda.


Sabtu, 14 Februari 2009

Merancang DAK "yang lain"

Pendahuluan.

Naskah ini disusun berdasarkan pertanyaan yang diajukan Tim Bappenas dalam rangka merancang “DAK ke Depan” . Jawaban yang saya sampaikan berdasarkan pemahaman setelah lebih dari dua tahun mencoba mempelajari DAK sebagaimana dimaksud dalam UU No 33 Th 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dan PP No 55 Th 2005 tentang Dana Perimbangan. Pada prinsipnya saya berpendapat bahwa sebelum merancang DAK “yang lain”, sebaiknya menjawab pertanyaan (1) adakah yang salah dengan definisi existing DAK, jika “ya” – seyogyanya dedifinisikan dulu DAK yang dikehendaki; (2) adakah masalah yang serius dengan existing DAK, jika “ya” – pada segmen yang mana masalah tersebut ada – perencanaan, pengalokasian, penganggaran, pelaksanaan, atau monitoring/evaluasi/pengawasan-nya, atau semuanya?. Silahkan komentar anda terhadap jawaban saya, atau pendapat anda akan DAK “yang lain” tersebut (sebaiknya tidak disebut sebagai “The Future DAK” kalau dua pertanyaan tersebut belum terjawab.

Pertanyaan nomor 1:
Bagaimana pendapat anda dalam kaitannya DAK, dengan DAU, dan DBH sebagai satu kesatuan pertimbangan dalam alokasi dana dan kegiatan ke daerah?\

Jawaban:

Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya kira ada baiknya memahami terlebih dahulu hakekat dari masing-masing jenis dana perimbangan. DBH diberikan kepada daerah dengan besaran persentase tertentu berdasarkan realisasi penyetoran ke kas negara sebagai penghargaan atas usaha manusia mengelola pajak maka DBH Pajak diberikan kepada daerah penghasil pajak dengan persentase lebih besar, baru kemudian kepada daerah tetangganya dengan cluster provinsi (termasuk provinsi).

Berbeda dengan DBH SDA diberikan kepada daerah dengan persentase lebih besar kepada daerah penghasil karena anugerah Tuhan kepada daerah tersebut. DAU diberikan kepada daerah sebagai instrumen pemerataan. Apa yang harus diratakan kalau bukan pendapatan dari DBH (karena umumnya PAD kecil porsinya dalam APBD) dibandingkan dengan kebutuhannya. Pemahaman ini perlu sebelum menyentuh DAK, karena fungsi DAK untuk membantu keuangan daerah, dan wujud intervensi Pemerintah terkait dengan prioritas nasional. Kalau tidak memahami hal tersebut orang akan membicarakan DAK lepas dari pakem-nya. Keterkaitan antara DAK dengan dana perimbangan lainnya masih perlu, sepanjang UU No 33/2004 masih berlaku. Saya juga sependapat dengan kemungkinan “DAK” yang lain sepanjang kriterianya dirumuskan terlebih dahulu, jangan dengan kriteria “ad hoc”. Kriteria tersebut tentu harus berlaku konsisten dalam penetapan daerah penerima, perhitungan besaran, dan kriteria lain yang menunjukkan prinsip keadilan

Pertanyaan Nomor 2 :

Bagaimana pendapat anda dalam kaitannya dengan besaran alokasi DAK?, perlukah besaran DAK ditingkatkan dan dikaitkan secara langsung sebagai proporsi tertentu dari besaran APBN (missal 2,5 % dari DAU) atau sebagai proporsi dari DAU (misal 25 % dari besaran DAU)?

Jawaban:

Pertanyaan ini kelihatannya ada yang salah, yang tertulis 2,5% dari DAU (sekarang saja sudah lebih 10%) atau 25% dari DAU?. (barangkali 2,5% dari APBN). Sebenarnya saya kurang sependapat kalau APBN dikapling-kapling, coba kita bayangkan anggaran pendidikan 20%, DAU 26%, dana otonomi khusus 2% dari DAU, kemungkinan akan muncul bayar utang sekian persen, bayar gaji sekian persen, suatu saat bukan tidak mungkin akan ada yang tidak kebagian persentase. Untuk saat sekarang ini bahkan ke depan melaksanakan Pasal 108 UU No 33/2004 secara konsekuen akan menjadi prospek yang sangat menjanjikan bagi besaran DAK. Mohon maaf kalau saya ambil contoh Bantuan Operasional Sekolah (BOS), yang labelnya lebih politis dari pada pendekatan sistem penganggaran, demikian juga PNPM. Satu pertanyaan saja, kegiatannya kewenangan siapa?. Kalau semua kegiatan yang menjadi kewenangan daerah, dilaksanakan oleh daerah dan didanai dari DAK, saya kira mengkapling APBN untuk DAK tidak perlu.

Pertanyaan Nomor 3:

Bagaimana keterkaitan Prioritas atau kegiatan DAK dengan misi/prioritas kegiatan dalam RPJM sebagai landasan kebijakan jangka menengah?

Jawaban:

Sudah seharusnya perencanaan DAK baik mengenai penetapan bidang DAK maupun besaran DAK adalah bagian dari RPJM dan RKP. RKP setiap tahunnya ditetapkan dengan PP, namun RKP yang diacu dalam penyusunan / penetapan APBN adalah RKP yang telah dibahas dan disetujui DPR. Proses politik inilah yang kemudian mengakibatkan perencanaan DAK tidak selalu sesuai dengan keinginan Pemerintah.
Kebijakan pendanaan DAK dalam jangka menengah ada baiknya dilihat dalam perspektif pendanaan transfer secara keseluruhan. Untuk itu filosofi Dana Perimbangan sebagai satu kesatuan yang utuh harus diimplementasikan dalam kebijakan penyusunan RKP secara konsisten dan proporsional. Dengan demikian, tanggung jawab pencapaian prioritas nasional menjadi tanggung jawab bersama antara pusat dan daerah.
Sampai sekarang belum ada ketentuan bagaimana sebenarnya mengkaitkan prioritas nasional dalam DAK. Bagaimana mengawal prioritas nasional supaya kegiatan DAK dilaksanakan di daerah dengan tepat. Sangat sempit tentunya kalau mengawalnya pada level kegiatan, dengan cara memberikan petunjuk untuk apa DAK harus digunakan, memang ini yang paling mudah dilaksanakan, tapi terkadang secara teknis tidak sesuai dengan kebutuhan daerah.

Pertanyaan Nomor 4:

Bagaimana pendapat anda berkaitan DAK dikelola dengan pendekatan Pengeluaran Jangka Menengah atau MTEF?

Jawaban:

Penganggaran dan pelaksanaan kegiatan DAK adalah wilayah APBD, memberlakukan DAK dengan pendekatan MTEF berarti memberlakukan MTEF hampir diseluruh Indonesia. Tolong pertimbangkan pertanyaan ini, apakah kita sudah memulai pendekatan MTEF pada penganggaran kementerian/lembaga yang hanya ada di Jakarta?. Apakah MTEF akan diberlakukan pada penganggaran per bidang, sedangkan MTEF lebih nyata kalau dikaitkan dengan kegiatan tertentu dengan output yang terukur?. Jadi pendapat saya sebaiknya tidak mengkaitkan dulu dengan MTEF, melihat apakah DAK sudah dilaksanakan sesuai persepsi Pemerintah Pusat saja , belum mampu, demikian juga apakah MTEF sudah dilaksanakan secara baik pada apenganggaran K/L?.

Pertanyaan Nomor 5:
Bagaimana pemdapatan anda keterkaitan bidang/kegiatan DAK dengan Fokus/Kegiatan Pokok di Prioritas Nasional RKP dan dalam memberikan Kontribusi terhadap pencapaian sasaran nasional?


Jawaban:
Berkaitan dengan pertanyaan nomor 3, sebaiknya memang segera ditetapkan bagaimana mengkaitkan DAK dengan prioritas nasional secara lebih sistematis dan konsisiten. Sekarang ini kalau ada program tertentu dicantumkan dalam RKP, contohnya pada saat menetapkan DAK Keluarga Berencana, maka menjadi sah kalau mebentuk bidang DAK seperti program yang sudah termuat dalam RKP. Apakah cara seperti ini sudah dianggap benar?. Bisa saja dianggap kurang tepat karena justru akan memberikan peluang untuk memperluas bidang-bidang DAK dengan alasan programnya sudah tercantum dalam RKP.

Pertanyaan Nomor 6:
Bagaimana dengan pemilihan bidang yang kegiatannya sudah menjadi urusan daerah (sudah didesentralisasi) è Referensi: PP38/2007, bidang apa yang sebaiknya diprioritaskan yang menjadi urusan wajib bagi daerah (idealnya yang sudah memiliki SPM)?

Jawaban:
Mengkaitkan DAK dengan SPM menurut saya justru akan menghambat pelaksanaan DAK. Kalau DAK dijadikan alat untuk mendorong K/L menyusun DAK juga tidak relevan, karena DAK berurusan dengan daerah sedang SPM berurusan dengan K/L. K/L terkait dengan DAK adalah
dalam rangka mengawal prioritas nasional, sampai sekarang ini cara yang dipakai adalah masing-masing K/L yang sektornya sesuai dengan bidang DAK yang diminta untuk menyusun petunjuk teknis DAK. PP 38/2007 sudah menunjukkan kewenangan daerah, sudah semestinya peraturan itu dilaksanakan, antara lain untuk menentukan bidang DAK, tapi juga harus konsekuen tidak ada lagi kewenangan daerah yang dilaksanakan pusat.

Pertanyaan Nomor 7:
Perlukah diberlakukan ketentuan bahwa setiap transfer DAK sebaiknya di lengkapi dengan Implisit atau eksplisit kontrak antara pemerintah pemberi dan penerima sebagai bagian performace based budgeting?

Jawaban :
Sejak APBN 2008 kita sudah menegaskan bahwa transfer berbeda dengan belanja, oleh karena itu dalam I-Account 2008 pada bagian Belanja tertulis Belanja Pemerintah Pusat, dan Transfer ke Daerah. Kalau kita sudah menetapkan DAK sebagai transfer maka tanggungjawab belanja ada di Daerah. Belanja artinya setiap pengeluaran anggaran disertai dengan bukti pengeluaran yang terdiri dari SPM, SP2D, dan kuitansi, termasuk didalamnya kontrak yang menjadi tanggung jawab Pengguna Anggaran Belanja. Transfer artinya setiap pengeluaran dibuktikan dengan bukti transfer yang terdiri dari SPM dan SP2D yang menjadi tanggung jawab Pengguna Anggaran Transfer . Pelaksanaan belanja dari anggaran transfer adalah daerah, oleh karena itu kontrak hanya ada di daerah. Saya kuatir pertanyaan ini memberi kesan bahwa jika tidak dilengkapi kontrak (implisit/eksplisit) maka pelaksanaan DAK bukan bagian dari performance based budgeting. Padahal apa artinya kontrak kalau didalamnya tidak menggambarkan secara jelas output yang hendak dicapai dari setiap pengeluaran . Pendeknya dimanapun terjadinya belanja maka disitulah prinsip anggaran kinerja dapat dilaksanakan. Kalau ingin melihat pencapaian kinerja DAK secara riil adalah dengan meminta BPKP untuk melakukan audit.

Pertanyaan Nomor 8:
Perlukah peran provinsi sebagai wakil pemerintah ditingkatkan untuk menyediakan pelayanan bagi masyarakat di wilayahnya namun dengan kewenangan menyesuaikan dengan kondisi daerah?

Jawaban:
Prinsip pelaksanaan anggaran yang sekarang ini saya kira sudah baik. Dekonsentrasi artinya gubernur sebagai kepala wilayah provinsi sebagai wakil pemerintah melaksanakan kewenangan pusat dan anggaran pusat di daerah. Menteri/pimpinan lembaga sebagai Pengguna anggaran tentu sudah memperhatikan kebutuhan dan kondisi wilayah provinsi. Tugas pembantuan artinya bupati/walikota sebagai kepala daerah membantu Pemerintah Pusat melaksanakan kegiatan dan anggaran yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat di daerah, inipun tentu sudah memperhatikan kondisi daerah. Misalnya Pemerintah ingin menyelenggarakan Festifal ternak nasional di daerah. Daerah yang pilih tentunya daerah yang memang memilih peternakan sebagai kegiatan unggulannya. Desentralisasi artinya guberbur/bupati/walikota melaksanakan kewenangan daerah dengan pendanaan dari APBD. Sumber APBD dari PAD dan transfer ke Daerah. Jadi apa yang tersurat dan tersirat dari pertanyaan ini hemat saya sudah dilaksanakan dalam sistem pelaksanaan anggaran kita.

Pertanyaan Nomor 9:
Bagimana pendapatan anda bahwa untuk mendorong kompetisi antar daerah, tidak semua daerah akan mendapatkan DAK?

Jawaban:
Pertanyaan baliknya “DAK” yang mana yang dimaksud disini. Kalau DAK yang ditetapkan dalam UU No 33/2004 tidak ada kaitannya dengan kompetisi. Kiranya perlu saya tegaskan kalau mengkaitkan opsi pendanaan dengan kompetisi, dengan sumber dari pinjaman/hibah luar negeri, dengan reward dan punishment, dan/atau dengan maksud-maksud lain diluar definisi DAK sebaiknya tidak dalam bentuk DAK, silahkan dalam bentuk lain yang tidak tertutup kemungkinannya, yang penting jelas kriteria dan dasar hukumnya atau silahkan merevisi UU No 33/2004 lebih dahulu.

Pertanyaan Nomor 10:
Bagaimana pendapat anda untuk mengurangi jumlah daerah penerima DAK terutama program yang skala kecil karena program skala kecil akan berpengaruh minimal terhadap tujuan nasional namun berpotensi mahal dalam biaya administrasi?

Jawaban:
Mengurangi daerah penerima DAK dapat dilakukan dengan penetapan kriteria – kriteria umum, atau khusus, atau teknis. Tetapkan kriterianya, sepakati nilai indeks masing-masing kriteria untuk menyaring daerah penerima, laksanakan secara konsisiten. Misalnya kalau indeks dengan nilai 1 masih dianggap menghasilkan daerah yang cukup banyak, maka perlu dicari nilai indeks fiskal yang optimal dan akan menhasilkan daerah yang lebih sedikit. Mengkaitkan jumlah daerah penerima DAK dengan mengurangi program skala kecil tidak ada relevansinya. Sekali lagi saya tegaskan bahwa penetapan daerah, penetapan besar DAK per daerah adalah masalah kriteria DAK, seyogyanya hakekat DAK benar-benar dipahami untuk merencanakan DAK masa depan supaya tidak terjebak pada idealisme demi sesuatu yang baru tapi tidak memiliki aspek legalitas, kecuali memang harus merevisi undang-undang terkait terlebih dahulu.

Pertanyaan Nomor 11:
Bagaimana pendapatan anda bila dilakukan reformulasi DAK yang lebih transparan. Memiliki akuntabilitas publik dan tidak mudah terintervensi secara politik?

Jawaban:
Reformulasi DAK saya sependapat, tapi persiapkan dahulu aspek legalitasnya kalau harus lain dari DAK yang ditetapkan UU. Reformulasi tidak dalam rangka transparansi karena sampai sekarang yang saya paham bahwa penetapan daerah dan perhitungannya sudah transparan. Meskipun ada intervensi politik penetapan daerah dan perhitungannya tetap harus transparan., karena kriteria yang disyaratkan tetap dilaksanakan secara konsisten dan akuntabel. Reformulasi lebih kepada upaya untuk memperbaiki kriteria agar dapat menggambarkan kondisi daerah dengan lebih akurat. Jika kriteria disempurnakan dan dilaksanakan secara konsisiten maka akan menunjukkan akurasi, transparansi, dan akuntabilitas publik. Kalau kita sadari bahwa APBN adalah produk politik maka menghindari intervensi poltik sungguh sangat sukar, apalagi berhubungan dengan daerah yang wakil-wakilnya ada di DPR.

Pertanyaan Nomor 12:
Bagimana pendapatan anda jika formula dalam alokasi perhitungan bobot DAK dihilangkan, namun tetap diperlukan dalam pengukuran kapasitas fiskal, aspek khusus dan teknis dalam penentuan daerah ?

Jawaban
Saya kira perlu diluruskan lebih dahulu, bicara formula bukan dalam kaitannya dengan DAK, melainkan DAU. DAK kaitannya dengan kriteria, lebih lanjut lagi DBH kaitannya dengan persentase tertentu. Hal yang kelihatan sepele ini justru akan menunjukkan apakah hakekat DAU, DAK, dan DBH itu dipahami atau belum. Sudah saya singgung dalam jawaban pertanyaan nomor 9 silahkan kriteria (sekali lagi kriteria DAK) di-reformulasi, tujuannya adalah agar dapat menggambarkan daerah penerima yang lebih memerlukan sesuai dengan kondisi daerah (aspek khusus dan aspek teknis) dan ke:mampuan keuangan daerah. Perlu diingatkan kembali bahwa DAK sifatnya membantu daerah tertentu, jangan lupa aspek legalitasnya.

Perta nyaan Nomor 13:
Apakah anda setuju jika keberadaan dana pendamping ditiadakan dan diganti dikatagorisasi daerahnya dan kesepakatan persyaratan output atau outcome yang menjadi tujuan yang telah ditetapkan bersama ?

Jawaban:
Selama ini dana pendamping dikeluhkan banyak daerah. Ibaratnya dana pendamping ambil dari saku kiri masuk saku kanan, dari DAU dan DBH masuk pendamping DAK. Dana pendamping lebih digambarkan sebagai commitment funds bukan dalam rangka matching grant. Persepsi terhadap dana pendamping ini sebagian dibentuk dari petunjuk teknis yang tidak seragam bahkan sampai pada cara pencantuman dalam dokumen anggaran di daerah – DPA, sehingga menjadi kelihatan sulit. Salah satu cara mempermudah penjelasan dana pendamping misalnya dengan memberi catatan dalam DPA à misalnya Rehabilitasi Puskesmas Rp 2 miliar (catatan : 90% dari DAK). Cara ini akan efektif karena simple, tujuan tercapai, mudah dimonitor, dan outputnya sangat jelas, tidak perlu dirinci antara output DAK dan out dana pendamping. Pendapat saya tentang meniadakan dana pendamping lebih pada administrasi keuangan yang kurang efisien, dan pertimbangan kemampuan keuangan daerah. Tidak begitu relevan antara meniadakan dana pendamping dikaitkan dengan output atau outcome, dengan atau tanpa dana pendamping setiap kegiatan dan darimanapun anggarannya maka output dan outcome harus dinyatakan.

Pertanyaan Nomor 14:
Apakah anda setuju dengan membagi plafon alokasi DAK menjadi bagian untuk program-program dalam bidang yang menjadi tugas wajib dan tugas tambahan?

Jawaban:
Saya lebih setuju kalau DAK tidak perlu dikapling-kapling, yang penting bidangnya adalah prioritas nasional dan kegiatannya dibutuhkan daerah. Perlu dingatkan bahwa DAK adalah dana desentralisasi, kalau diarah-arahkan lebih ketat sebaiknya tidak disebut DAK, lalu apa bedanya dengan dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan. Sekali lagi saya ingatkan bahwa DAK adalah untuk membantu daerah setelah mendapatkan DBH dan DAU. Yang dibantu adalah daerah tertentu, bagaimana menentukan daerah tertentu, silahkan kalau mau direformulasi. Penetapan bidang adalah perwujudan dari prioritas nasional. Apakah program wajib dan program tambahan adalah cara yang lebih baik menterjemahkan kebutuhan dan kondisi daerah? Tentunya perlu argumentasi yang cukup baik dari yang ada sekarang.

Pertanyaan Nomor 15:
Apakah anda setuju untuk melakukan penyederhanaan jenis-jenis Bidang yang diberi alokasi DAK, seperti:

a) Penentuan Prioritas bidang didasarkan kepada komitmen alokasi antar tahun (misal: minimal 2 tahun)

Jawaban a)
Saya menjadi agak bingung kaitannya dengan pertanyaan nomor 3 yang mengkaitkan DAK dengan RPJM. Kalau RPJM sudah ada, sudah pula dijabarkan dalam RKP. Lalu dimana letak komitmen DAK ini. Saya lebih sependapat pada upaya untuk perencanaan jangka menengah, jangka pendek/tahunan untuk penganggaran K/L sekaligus untuk penganggaran DAK, program prioritas nasional dalam anggaran K/L adalah bidang prioritas dalam anggaran DAK.

b) Seleksi kriteria bidang bisa didasarkan kepada
i. Bidang-bidang yang merupakan pelayanan dasar utama seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.
ii. Bidang yang akan memberikan dampak terbesar atas
1. Nilai tambah ekonomi
2. Kualitas sumber daya manusia
3. Kesejahteraan masyarakat
4. Daya saing daerah
iii. Bidang-bidang yang telah mempunyai standar pelayanan minimal sebagai acuan kesepakatan kontrak output/otcome
iv. Memperhatikan letak dan kondisi geografi daerah calon penerima

Jawaban b):
Komponen-komponen tersebut diatas bagus, tapi saya kurang sependapat dengan butir iii, karena akan tumpang tindih dengan butir i. Kewenangan apa yang saat ini akan dan sudah terwujud SPM-nya?. Apakah SPM yang sudah ada akan dilaksanakan daerah. SPM itu ideal tapi seberapa banyak SPM yang akan ditetapkan dalam beberapa tahun mendatang?

Catatan tambahan:

Sebelum mengakhiri jawaban saya, sekali lagi ingin saya sampaikan bahwa menyiapkan DAK ke depan perlu dipertimbangkan, Pertama, tentukan perannya diantara dana perimbangan yang lain. Apakah DAK masih berperan “membantu”?. Kedua, menentukan kriteria penetapan daerah penerima, apakah semua daerah apakah daerah tertentu, daerah tertentu yang bagaimana agar menunjukkan prinsip keadilan, menentukan kondisi dan karakteristik daerah secara akurat menjadi penting untuk menggambarkan beban fiskal daerah, misalnya membedakan indeks wilayah antara daerah yang mempunyai panjang perbatasan dengan negara lain yang panjang dengan yang lebih pensdek. Ketiga, tentukan kriteria perhitungan besaran per daerah per bidang. Keempat, tentukan data teknisnya untuk mendukung perhitungan. Kelima, Siapkan aspek legalitasnya. Keenam, laksanakan secara konsisten. Sedangkan potensi yang cukup besar untuk menentukan besaran DAK Nasional adalah dengan melaksanakan Pasal 108 UU No 33/2004. Adapun besaran per bidangnya berdasarkan seberapa tinggi level bidang di dalam urutan prioritas nasional, semakin tinggi levelnya semakin besar alokasinya.

Selasa, 10 Februari 2009

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT)

Mulai tahun anggaran 2008 Pemerintah melaksanakan pembagian hasil cukai hasil tembakau dengan nomenklatur Dana Alokasi Cukai Hasil Tembakau (DA-CHT), tahun 2009 nomoenklatur tersebut berubah menjadi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT). DA-CHT dan DBH-CHT adalah pelaksanaan dari UU No 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas UU No 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Setelah penetapan tahun 2007 DPR menghendaki agar ketentuan tentang DBH Cukai dalam UU tersebut dilaksanakan mulai tahun 2008 sebagai masa transisi. Porsi cukai yang dibagikan kedaerah adalah 2% dari realisasi cukai hasil tembakau, namun dalam masa transisi dialokasikan sebesar Rp. 2 miliar yang dialokasikan kepada 5 provinsi penghasil cukai. Sejak tahun 2009 ketentuan tentang bagi hasil dilaksanakan sehingga dalam APBN 2009 dilaokasikan sebesar Rp 925 miliar, yang berarti 450% dari alokasi tahun 2008.

Klik disini untuk mengunduh presentasi powerpoint topik tersebut diatas.

Transfer Ke Daerah dengan New Design

Oleh : Pramudjo, Direktur Dana Perimbangan, DJPK

Pelaksanaan desentralisasi fiskal dalam rangka otonomi daerah menunjukkan setapak lagi kemajuan mulai tahun 2008. Kemajuan tersebut diawali dengan perubahan nomenklatur Belanja Ke Daerah dalam I-Account APBN 2008 menjadi Transfer Ke Daerah. Sedangkan latar belakang perubahan tersebut antara lain adalah untuk mewujudkan ketentuan dalam Undang-undang nomor 17 tahun 2003 yang mengamanatkan bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan dikuasakan kepada kementerian/lembaga, sedangkan pengelolaan keuangan daerah oleh Presiden diserahkan kepada gubernur/bupati/ waklikota selaku kepala pemerintahan daerah.

Perubahan nomenklatur tersebut membawa dua konskwensi, pertama, pengertian transfer berbeda dengan belanja, kedua, menegaskan bahwa proses pengalokasian dan penyaluran dana dari pemerintah pusat kepada daerah sifatnya top down. Daerah tidak perlu menyampaikan permintaan atau usulan untuk mendapatkan transfer dana, melainkan dengan data yang berasal dari lembaga yang berwenang di bidang statistik, Pemerintah bersama DPR menetapkan jenis dan besaran transfer untuk setiap provinsi/kabupaten/kota. Menteri Keuangan melaksanakan transfer secara langsung dari Rekening Kas Negera / Bendahara Umum Negara (BUN) di Bank Indonesia (BI) ke rekening Kas Umum Daerah (KUD) yang pada umumnya berada di Bank Pembangunan Daerah (BPD) atau bank umum lainnya di daerah melalui surat perintah membayar (SPM) dan surat perintah pencairan dana (SP2D) untuk melakukan pemindahbukuan dana dari Rekening BUN ke Rekeing KUD.

Berpindahnya kewenangan untuk menyalurkan dana semula oleh Pemerintah daerah (Pemda) menjadi oleh Departemen Keuangan bukan berarti melucuti kewenangan daerah, melainkan mendudukkan pada mekanisme yang sesuai dengan pengelolaan keuangan negara dan keuangan daerah seperti dimaksud dalam UU nomor 17 Tahun 2003. Proses tersebut diatas menunjukkan pola baru (new design) dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang telah ditetapkan dengan peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 04/PMK.07/2008 pada tanggal 28 Januari 2008 . Pengaturan dalam PMK tersebut mengindikasikan efisiensi yang cukup signifikan, meliputi (1) efisiensi dokumen, (2) efisiensi birokrasi, (3) efisiensi waktu dan tenaga, (4) efisiensi sistem informasi, dan (5) efisiensi pelaporan.

Efisiensi dokumen.
Sampai dengan tahun 2007 untuk menyusun melaksanakan penyaluran dana yang bersumber dari Belanja Ke Daerah dalam APBN dibutuhkan dokumen anggaran yang dibuat dan disimpan di kantor pusat Departemen Keuangan, dikirimkan ke 467 daerah selaku KPA, dan digunakan sebagai dasar pembayaran di 178 kantor pelayanan perbendahaan negara (KPPN) selaku pemegang rekening Kas Negara. Dokumen anggaran tersebut meliputi daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA), SPM beserta dokumen pendukungnya, dan SP2D. Dengan transfer new design dapat dihitung tidak kurang dari 88.853 unit dokumen per tahun yang tidak perlu dicetak dan dikirimkan lagi, karena hanya ada satu DIPA, dengan beberapa SPM dan SP2D di kantor pusat Departemen Keuangan.


Efisiensi birokrasi.
Proses birokrasi yang dapat dihemat dari pelaksanaan new design tersebut adalah berkurangnya secara signifikat frekuensi pertemuan antara PNS daerah dengan PNS pusat dalam rangka penyusunan dokumen anggaran berupa rencana definitif DAK (RD-DAK) maupun dalam pengajuan usulan revisi RD-DAK, konsultasi pengajuan SPM dan penyusunan laporan DAK. Tidak kurang dari 13.000 pertemuan tidak perlu dilakukan lagi dengan dilaksanakannya transfer dengan new design.

Efisiensi dana.
Sampai dengan akhir tahun 2007, penyaluran DAU setiap awal bulan melalui BI tidak langsung ke rekening KUD, melainkan melalui bank operasional (BO) kas negara pada H-5, sedangkan mulai Januari 2008 penyaluran DAU yang nilainya tidak kurang dari Rp. 14 triliun sudah dilaksanakan pada tanggal 2 Januari 2008 dengan pemindahbukuan secara langsung dari rekening BUN ke rekening KUD, sehingga DAU tidak perlu overnight di BO. Efisiensi lainnya dapat dihitung dari biaya perjalanan untuk penyusunan RD-DAK dan revisi RD-DAK dari daerah ke ibu kota provinsi, pengajuan SPM dari daerah ke KPPN, rekonsiliasi data DBH-SDA dari daerah ke Jakarta yang semula dilaksanakan empat kali menjadi dua kali dalam setahun. Demikian juga biaya untuk penyusunan dokumen dalam kaitannya dengan efisensi dokumen.

Efisiensi Tenaga dan Waktu
Tenaga yang semula harus disediakan di 451 daerah, 33 Kantor Wilayah DJPB, dan 178 KPPN untuk melakukan pembahasan RD-DAK, memproduksi DIPA-DAU, DIPA-DAK, DIPA-DBH PPh, menyusun SPM-DAU, SPM-DAK, SPM-DBH PPh, dan menerbitkan SP2D-DAU, SP2-DAK, SP2D-DBH PPh dalam pelaksanaan pola baru tidak diperlukan lagi karena DIPA, SPM, dan SP2D cukup diterbitkan di Kantor Pusat Departemen Keuangan. Efisiensi tenaga juga terlihat dari tidak dilaksanakan rekonsiliasi data penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor SDA pada penyaluran DBHSDA Triwulan Pertama dan kedua yang semula setiap penyaluran DBH SDA harus berdasarkan pada hasil rekonsiliasi PNBP-SDA. Sedangkan efisiensi waktu akan terlihat dari kecepatan penyediaan dokumen anggaran yang semula harus memproduksi dokumen yang sangat banyak dibansing dengan dokumen anggaran yang sangat sedikit.

Efisiensi Pelaporan
Pelaporan realisasi Belanja Ke Daerah sampai dengan tahun 2007 hampir mustahil dapat dilaksanakan secara benar menurut kaidah laporan dan akuntansi pemerintah, karena tidak tersedianya dokumen sumber untuk menyusun laporan. Keberadaan dokumen sumber yang berupa SPM tersebar diseluruh daerah sebanyak 434 kabupaten/kota dan 33 provinsi, sedangkan SP2D tersebar di 178 KPPN di seluruh Indonesia. Mengharapkan datangnya laporan dari 451 entitas pelaporan tentu bukan hal yang sepele, karena taruhannya laporan harus tepat waktu dan lengkap dokumen sumbernya. Pola baru tarnsfer menjanjikan tersedianya dokumen sumber ada di Departemen Keuangan, yaitu di DJPK dan DJPBN, sehingga kelengkapan dan akurasi data laporan dapat didukung dengan dokumen sumber yang valid. Demikian juga waktu penyelesaian laporan realisasi transfer dapat terjamin.



Efisiensi Sistem Informasi.
Sistem informasi keuangan daerah yang ada di Departemen Keuangan sampai saat ini terbatas hanya pada data alokasi belanja ke daerah. Data realisasi hampir tidak tersedia kecuali data realisasi yang diminta dari DJPB yang berasal dari 178 KPPN yang belum direkonsiliasi dengan dokumen sumbernya. Pola baru transfer ke daerah akan menjamin tersedianya data realisasi transfer yang didukung dengan dokumen sumber yang tepat waktu dan lengkap seperti yang tersedia untuk bahan pelaporan. Efisiensi dalam sistem informasi akan terwujud juga dari hasil analisis yang dapat dilakukan dengan data yang kurang valid dibandingkan dengan data yang lebih valid.

Dampak Pola Baru Penyaluran Transfer.
Sampai dengan akhir tahun 2007, dana transfer disalurkan ke daerah dalam beberapa nomor rekening bank dengan nama rekening yang sangat bervariasi yang menyulitkan pelaksanaan pemantauan ketersediaan dana di daerah. Pola baru ini akan mendukung program Departemen Keuangan dalam mewujudkan Treasury Singgle Account yang juga akan ditrapkan di daerah. DAU bulan Januari 2008 yang telah secara sukses disalurkan langsung dari Rekening BUN di BI ke Rekening KUD di daerah, telah dilanjutkan setiap bulan yang diikuti transfer lainnya melalui nomor dan nama rekening yang sama dengan nama dan nomor rekening tempat menampung DAU. Dampak dari pola ini, daerah tidak perlu memelihara beberapa rekening di bank, melainkan hanya satu rekening untuk menampung pendapatan yang berasal dari transfer pemerintah pusat.

Dalam pola baru transfer juga diatur bahwa DAK disalurkan dalam tiga tahap yaitu 30%, 30, 30% dan 10%, paling cepat mulai bulan Februari. Penentuan bulan Februari ini dalam kaitannya dengan ketentuan yang mengatur penyelesaian peraturan daerah (Perda) APBD paling lambat Akhir Januari. Selanjutnya diatur bahwa tidak ada penyaluran DAK tahap pertama kecuali daerah sudah menetapkan peraturan daerah (Perda) tentang APBD. Ketentuan ini diharapkan akan mendorong daerah untuk secepatnya menyampaikan Perda APBD ke Departemen Keuangan. Penyaluran DAK tahap kedua sampai dengan keempat disalurkan apabila penyerapan DAK menunjukkan performance yang baik, yaitu apabila dana DAK yang sudah ditransfer ke KUD sebagai pendapatan daerah telah diserap lebih dari 90%. Kinerja penyerapan tersebut ditunjukkan dalam Laporan Pelaksanaan DAK yang dikirimkan ke DJPK Departemen Keuangan setiap saat sisa dana DAK di KUD mencapai angka lebih kecil dari 10%. Pengaturan ini akan mendorong daerah lebih cepat melaksanakan kegiatan DAK hingga sumua dana DAK terserap.

Dorongan terhadap percepatan penyelesaian perda APBD akan berdampak pada pelaksanaan kegiatan pembangunan di daerah lebih awal. Disampjng dasar hakum untuk pelaksanaan kegiatan sudah ditetapkan, biaya yang berasal dari transferpun sudah tersedia di Rekening KUD tanpa harus ditagih. Peristiwa tidak disalurkannya DAK tahun 2007 kepada daerah karena keterlambat pengajuan SPM diharapkan semakin sedikit bahkan tidak terjadi lagi.

Resiko dari Pola Baru Penyaluran Transfer.
Pentingnya risk management dalam pelaksanaan APBN sudah lama disadari. Demikian juga dalam transfer ke daerah, pola baru ini bukan tanpa resiko. Sampai dengan tahun 2007 penyaluran DBH-SDA dilaksanakan secara triwulanan berdasarkan hasil rekonsiliasi PNBP sektor SDA, yaitu dengan mencermati data setoran PNBP-SDA yang ada di Departemen Keuangan, Departemen ESDM, dan BP Migas. Penyaluran DBH-SDA tahun 2008 masih dilakukan secara triwulanan, namun besaran per triwulan diatur dengan pola triwulan pertama dan kedua masing-masing 20% dari pagu perkiraan DBH-SDA per daerah tanpa berdasarkan hasil rekonsiliasi. DBH-SDA Triwulan Ketiga dan Keempat disalurkan setelah dilaksanakan rekonsiliasi data penerimaan setoran PNBP-SDA dari kontraktor, dengan memperhitungkan DBH-SDA yang sudah disalurkan pada triwulan sebelumnya. Resiko yang patut dicermati berkaitan dengan ketersediaan dana di Kas Negara yang berasal dari setoran PNBP-SDA. Apabila dana dalam Kas Negara tidak cukup bearti Pemerintah harus memberikan talangan. Meskipun melihat trend PNBP-SDA tahun 2006 dan sebelumnya angka 40% selama semester pertama cukup aman, namun resiko ini bukan tidak mungkin akan terjadi.

Resiko lain yang layak dicermati adalah pada penyaluran DAK tahap kedua sampai dengan tahap keempat berdasarkan laporan daya serap DAK. Resiko ini berkaitan dengan laporan penyerapan yang kemungkinan sengaja dibuat tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya dengan memperlihatkan daya serap yang tinggi sehingga DAK tahap berikutnya dapat disalurkan. Terjadinya rekayasa laporan masih dimungkinkan meskipun laporan yang disampaikan ke Departemen Keuangan mensyaratkan adanya pakta integritas dari gubernur/bupati/walikota. Pakta integritas yang berupa pernyataan tanggung jawab belanja memuat pernyataan bahwa laporan telah berdasarkan kondisi yang sebebarnya dengan didukung dokumen sumber yang disimpan di pemerintah daerah untuk keperluan administrasi keuangan daerah dan keperluan audit oleh aparat funsional pengawas/pemeriksa (yang dimaksud adalah Badan Pengawas Daerah/Bawasda, Badan Pemeriksa Keuangan/BPK, dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan/BPKP). Meskipun dalam management transfer ini semuanya bersifat formal, namun secara religius dapat dikatakan bahwa diperlukan iman yang kuat dalam setiap penyusunan laporan penyerapan DAK.

Senin, 09 Februari 2009

Specific Grant yang bukan seperti DAK ?

Meluruskan Persepsi Terhadap DAK

Kalau kita bicara Dana Alokasi Khusus (DAK) tentunya DAK yang dimaksud dalam UU No 33/2004 dan PP no 55/2005. Tidak banyak orang yang paham bahwa pengalokasian DAK benar-benar telah berdasarkan data dasar yang mencerminkan kondisi daerah, kondisi infrastruktur , dan kemampuan keuangan daerah. Masalahnya adalah apakah data dasar dimaksud sudah benar menggambarkan kondisi daerah , kondisi infrastruktur, dan a kemampuan keuangan daerah.

Ketidakpahaman tersebut terlihat dari masih banyaknya daerah yang meminta penambahan DAK melalui surat kepada Menteri Keuangan. Bahkan beberapa menit setelah kriteria pengalokasian DAK di-“ketok” sah di DPR, banyak pihak yang menyerbu meja Pemerintah meminta agar DAK daerah tertentu dinaikkan atau daerah tertentu diberikan DAK bidang tertentu. Demikian juga adanya persepsi - bahkan dari kementrian/lembaga (K/L) teknis yang mengawal DAK, bahwa K/L hanya menyusun petunjuk teknis dan data wilayah/teknis, sedangkan besaran alokasi per daerah per bidang oleh Departemen Keuangan.

Saringan pertama untuk menetapkan daerah penerima DAK adalah kemampuan keuangan daerah. Disinilah kriteria umum bekerja. Data kemampuan diperoleh dari realisasi transfer ke daerah (yang terdiri dari DAU dan DBH), data realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan data realisasi Gaji PNSD. Data tersebut umumnya sudah dipakai untuk menghitung DAU tahun sebelumnya. Data inilah yang kemudian membuktikan keterkaitan yang sangat erat antara DBH, DAU, dengan DAK, dalam arti penetapan daerah penerima DAK sangat tergantung dari besar kecilnya DBH dan DAU. DAU tidak tergantung dari DAK melainkan dari DBH, DBH tidak tergantung dari DAU dan DAK.

Saringan kedua masih dalam rangka menetapkan daerah penerima DAK. Daerah yang tidak lolos pada saringan pertama dinilai dengan kondisi wilayah, Pada tahap ini dipakai kriteria khusus – hanya daerah yang memiliki kekhususan tertentu yang akan tertolong . Data khususnya disediakan oleh K/L yang berwenang menyediakan data untuk perhitungan dana perimbangan. Kekhususan itu antara lain daerah tertinggal, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah rawan bencana, seluruh wilayah Papua dan papua Barat. Data kriteria khusus tersebut memiliki aspek legalitas yang jelas berupa keputusan presiden bahkan undang-undang.
The Final Filter adalah kondisi infrastruktur tertentu sebagai implementasi dari amanat bahwa kegiatan DAK harus bersifat fisik. Data kondisi infrastruktur yang disediakan K/L melalui keputusan menteri dipakai sebagaimana adanya. Daerah calon penerima yang kondisi puskesmasnya banyak yang rusak tentu akan mendapatkan DAK bidang kesehatan. Demikian juga untuk infrastruktur yang lain seperti sekolah dasar, jalan, pasar, dan infrastruktur lainnya sesuai bidang-bidang DAK.

What’s next , mengukur besaran DAK setelah daerah mendapatkan predikat sebagai penerima DAK?. Disamping untuk menentukan kelayakan suatu daerah untuk mendapatkan DAK, kriteria umum dipakai juga untuk menetapkan besaran DAK, melalui penggunaan indeks fiskal. Kriteria khusus berpengaruh pada besaran DAK. Argumentasinya adalah dari semua calon penerima DAK memiliki jumlah jenis kekhususan yang berbeda. Suatu daerah memiliki satu kekhususan, sedangkan yang lain dimungkinkan mempunyai tiga atau empat kekhususan. Daerah dengan lebih banyak kekhususan dimungkinkan menerima lebih besar. Indikator ini kemudia disebut sebagai indeks kewilayahan.

Pekerjaan menghitung DAK belum selesai. Daerah bisa mempunyai jenis infrastruktur dan banya k item yang jumlahnya berbeda. Suatu daerah bisa meiliki jenis infrastruktur delapan atau sembilan bahkan lebih, masing-masing infrastruktur dengan jumlah item yang banyak juga. Daerah lain mempunyai jumlah jenis dan item infrastruktur yang lebih sedikit. Untuk membedakan kondisi ini dikenal dengan indeks teknis. Penggabungan antara indeks kewilayahan dan indeks teknis melahirkan indeks fiskal netto untuk masing-masing bidang. The final calculation adalah memperhitungka indeks dengan ketersediaan dana pada masing-masing bidang, kemudian menjumlahkan perolehan per bidang yang menghasilkan DAK suatu daerah.
Alokasi Khusus yang bukan seperti DAK

Jika dicermati data yang digunakan untuk masing-masing kriteria dapat dilihat – jelas indenpendensinya, dan kuat aspek legalitasnya, yang perlu dipertanyakan adalah akurasi datanya. Aspek independensinya dijamin dari penyedia datanya. Pihak yang menghitung alokasi per daerah per bidang bukannya pihak yang menyususn data. Data kemampuan keuangan adalah data yang audited oleh BPK, sudah digunakan untuk menghitung dana perimbangan lainnya. Data kekhususan daerah disediakan oleh lembaga yang berwenang dengan aspek legalitas peraturan/keputusan menteri/pimpina lembaga, peraturan/keputusan presiden, bahkan undang-undang.

Berbagai pemikiran dilontarkan untuk menyusun DAK Ke Depan. Seberapa jauh ke depannya?. Mulai dari sumber pendanaan diasumsikan bisa dari hibah atau pinjaman luar negeri. Dipikirkan pula sebagai sarana untuk mewujudkan reward and punishment. DAK diikaitkan dengan upaya untuk membantu daerah tertentu. The Future DAK seperti itu sah-sah saja. Pertanyaannya adalah - itukah DAK yang dikehendaki oleh UU tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerinhahan Daerah saat ini?. Marilah kita cermati satu per satu kemungkinannya.

Pendanaan dari hibah atau bantuan luar negeri dimungkikan sepanjang donor atau lender tidak intervensi pada pengalokasian per daerah. Jika ada intervensi sama dengan mengabaikan kriteria umum. Bagaimana dengan intervensi untuk mengarah membesarkan bidang tertentu. Untuk urusan ini tidak ada ketentuan yang membatasi, kecuali apabila diasumsikan bahwa bidang yang paling banyak alokasinya adalah bidang yang memiliki prioritas nasional paling tinggi.

Adakah urusan reward and pusihment relevan dengan DAK?. Menetapkan kelayakan daerah tidak terlepas dari melaksanakan batasan DAK “untuk membantu daerah tertentu”. Penetapan daerah sebagai reward adalah sebagai wujud dari penghargaan atas kesuksesan daerah di bidang tertentu, misalnya ketepatan penyelesaian APBD, meningkatkan IPM, mendongkrak PDRB, atau sukses melaksanakan program tertentu yang dicanangkan pemerintah pusat, sedangkan punishmen adalah sebaliknya – kurang sukses. Persepsi terhadap kata “membantu” umumnya dikaitkan dengan frase “perlu dibantu”. Siapakah yang perlu dibantu, saat ini diterjemahkan sebagai daerah kurang beruntung dalam kemampuan keuangan. Jika persepsi ini dipertahankan maka DAK sebagai reward menjadi tidak relevan, karena bukan tidak mungkin daerah yang “tidak perlu dibantu” akan mendapatkan DAK.

DAK yang dikaitkan dengan daerah tertentu sejak awal, sungguh menciderai definisi DAK. Pemilihan daerah pasti akan dipertanyakan bahkan tidak menutup kemungkinan dengan kecurigaan, apalagi jika sumber pendanaannya dari hibah atau pinjaman luar negeri. Sentiment buruk terhadap negara atau lembaga asing tertentu bukan tidak mungkin akan muncu l. Justru upaya inilah yang akan penuh dengan unsur subyektifitas yang berlindung dalam bermacam intrik argumentasi –kemauan politik dan disepakati dalam undang-undang APBN. Mereka yang mengukur DAK dengan nurani pasti akan merasakan ketidak adilan. Sudah adakah wujud alokasi seperti ini?, apakah akan diteruskan praktek seperti ini?.

Lalu bagaimanakah wujud alokasi khusus atau specific grant ke depan. Ia adalah bukan DAK seperti yang diamanatkan dalam UU Perimbangan Keuangan saat ini. Mungkinkah itu ada, sangat mungkin bahkan sangat mulia, sepanjang alokasi tersebut didefinisikan seperti yang dikehendaki, dengan tetap menjunjung tinggi keadilan dan transparansi, termasuk menggambarkan tujuan tertentu dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi fiskal. Satu hal yang lebih penting lagi DAK Baru tersebut harusnya lebih baik dari DAK saat ini. Menemukan kekurangan yang sangat mendasar pada DAK saat ini dan memperbaikinya.

Pertanyaan “seberapa jauh ke depannya” menjadi sangat relevan disini. Jawaban yang paling mudah adalah pada saat peraturan mengenai DAK direvisi, diperbarui, atau diganti. Bagaimana prospek mengganti ketentuan DAK dimaksud?. Kita perlu melihat kenyataan, berapa banyak daerah yang nyaman dengan skema DAK saat ini, taruhlah porsi sangat pesimisnya lebih dari 55% tidak mempermasalahkan. Jika diasumsikan persentase ini mencerminkan juga suara di DPR, karena DPR membawa suara daerah (dengan catatan apabila para wakil rakyat benar-benar paham alokasi yang didefinisikan), maka agak sulit bermimpi tentang DAK ke Depan.

Bagaimana kemudian mewujudkan alokasi dengan unsur-unsur – pendanaan di-support dari hibah/pinjaman luar negeri, sebagai reward and punisment, mendorong program tertentu, atau dikaitkan maksud-maksud yang lain, tanpa mengubah ketentuan DAK?. Seyogyanya tidak disebut DAK, tidak masuk kategori dana perimbangan atau bahkan transfer ke daerah. Nasehat inipun tidak berlaku jikalau alokasi itu diperuntukkan bagi pendanaan kegiatan yang sudah menjadi kewenangan daerah. Oleh karena itu wajib hukumnya memahami DAK bersama dana perimbangan yang menjadi saudara kandungnya, dan mengenali alokasi lainnya yang menjadi saudara tirinya – dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan. Tidaklah benar menyama-artikan antara saudara kandung dengan saudara tiri. Selamat merencanakan DAK ke Depan !.

Kota Tangerang, Minggu, 01 Februari 2009, 23.30 wib.
Pramudjo, Direktur Dana Perimbangan.
Tulisan ini adalah pendapat pribadi tidak mencerminkan kebijakan institusi. Dikirimkan ke Media Komunikasi Keuangan dan Media Peka.




File: (1) Doc/Lifebook/Specific Grant yang bukan seperti DAK , (2) Pramudjo/WD/-idem-